- Ilmuwan menetapkan orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) sebagai spesies baru pada tahun 2017, dan langsung tercatat sebagai kera besar paling langka dan paling terancam dengan kurang dari 800 individu di Indonesia bagian barat.
- IUCN memperkirakan populasi kera turun 83 persen dalam beberapa dekade terakhir, dan spesies ini terus menghadapi ancaman besar akibat hilangnya habitat, tambang emas, pembangkit listrik tenaga air, dan perluasan lahan pertanian.
- Sementara beberapa upaya konservasi menawarkan harapan, para peneliti mengatakan rencana terkoordinasi diperlukan untuk memastikan spesies bertahan hidup.
Saat dinyatakan sebagai temuan spesies baru kera besar dunia di tahun 2017, orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) langsung menjadi perhatian publik dunia. Apalagi dengan data bahwa hanya ada kurang dari 800 individu yang bertahan hidup di sebuah habitat hutan terbatas di Sumatera Utara.
Sebulan setelah pernyataan ini dirilis, IUCN pun menyebutkan bahwa populasi kera ini telah anjlok hingga 83 persen selama 3 generasinya. Penurunan ini disebut karena perburuan, berkonflik dengan manusia, hilangnya habitat, pembangunan industri, dan aktivitas termasuk pertambangan emas dan proyek pembangunan listrik tenaga air (PLTA).
Enam tahun berlalu telah berlalu, namun situasi keterancaman orangutan tapanuli masih belum banyak perubahan.
“[Saat itu] kita berpikir, karena ia spesies baru, maka dunia akan bergerak untuk menyelamatkannya. Namun, sayangnya orangutan tapanuli saat ini masih menghadapi ancaman yang sama seperti tahun 2017,” sebut Amanda Hurowitz, Direktur Kampanye Asia Mighty Earth memberikan penilaiannya.
“Hidup mereka tetap di ambang kepunahan.”
Berapa Populasi Sebenarnya?
Orangutan tapanuli hidup di kawasan hutan Batang Toru, Sumatera Utara, seluas 29.192 hektar atau sekitar setengah kurang dari luas wilayah DKI Jakarta. Habitat mereka terbagi menjadi tiga blok, blok barat menampung sekitar 581 individu, blok timur dengan 162 individu, dan blok selatan dengan 24 individu.
Dalam Dokumen Strategi Rencana Aksi Konservasi Orangutan yang diterbitkan pada 2019 (yang kemudian resmi dicabut Pemerintah Indonesia) diperkirakan jumlah orangutan tapanuli berkisar antara 577 hingga 760 individu. Dalam dokumen tersebut, ilmuwan memproyeksikan 1,2 persen orangutan tapanuli akan hilang dalam satu dekade mendatang.
Pemerintah saat ini sedang melakukan pemutakhiran data orangutan tapanuli lewat proses penilaian populasi dan viabilitas habitat (Population and Habitat Viability Assessment/PHVA). Proses ini terakhir dilakukan pada 2019, namun seperti Dokumen Strategi Rencana Aksi, PHVA pun resmi dicabut oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Hurowitz menduga, jika ada indikasi populasi orangutan tapanuli telah menurun saat ini. “[Ada indikasi], populasinya mungkin semakin menurun,” katanya.
Namun, hal sebaliknya dinyatakan oleh Kepala BKSDA Wilayah Sumatera Utara, Rudianto Saragih Napitu. Dari data pemerintah, dia meyakini jika jumlah orangutan tapanuli bertambah. Indikasinya terlihat dari peningkatan jumlah sarang yang dijumpai.
Perkiraan jumlah populasi orangutan tapanuli memang jadi subyek kontroversial. KLHK bahkan memberikan sanksi kepada peneliti asing yang secara terbuka mempertanyakan klaim pejabat yang menyatakan jika jumlah orangutan meningkat.
Terlepas dari hasil survei yang ada, Hurowitz menyerukan pentingnya pemerintah untuk membuka data populasi orangutan tapanuli kepada publik.
“Untuk menghasilkan rencana perlindungan komprehensif, kita perlu memahami di mana populasi itu berada, dan bagaimana proyek pembangunan yang sedang berlangsung berdampak pada sub-kelompoknya,” katanya.
“Transparansi adalah kunci proses ilmiah.”
Hurowitz mengatakan transparansi dapat dilakukan jika hasil survey dimasukkan ke dalam Database Ape Populations, Environments and Surveys (APES), sebuah portal informasi konservasi penelitian kera besar yang diwadahi oleh IUCN SSC Primate Specialist Group.
“Dengan demikian, para ilmuwan dari seluruh dunia dapat berkontribusi dan memberi masukan kepada Pemerintah Indonesia untuk memastikan orangutan Tapanuli tidak semakin terancam punah.”
Lalu apa sebenarnya ancaman bagi keberadaan mereka?
Proyek Pembangunan PLTA
Ancaman utama orangutan berasal dari proyek PLTA yang saat ini sedang dibangun di tengah habitat orangutan di hutan Batang Toru, jelas Hurowitz.
Proyek senilai USD1,6 miliar, -yang merupakan bagian dari Belt and Road Initiative yang didukung Tiongkok, direncanakan mulai beroperasi pada tahun 2022, tetapi kemudian mundur ke tahun 2026 karena pandemi.
Sebuah studi tahun 2021 oleh Riverscope, -yang fokus pada penilaian geospasial tenaga air, memperkirakan proyek tersebut mungkin akan ditunda lebih lanjut hingga tahun 2034 karena tantangan sosial dan lingkungan.
Di antara tantangan lingkungan adalah kekhawatiran jika bendungan PLTA bakal membahayakan pemisahan permanen antara tiga sub-populasi orangutan di blok barat, timur dan selatan. Fragmentasi ini secara dramatis dikhawatirkan akan memutus keragaman gen yang akan berlanjut pada perkawinan sedarah, munculnya penyakit, yang berakhir pada kepunahan di setiap sub-populasi.
PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), pengembang PLTA, menyebut proyek mereka telah memenuhi standar dari International Finance Corporation dari World Bank, termasuk telah mengikuti pedoman konservasi keragaman hayati.
Untuk melindungi orangutan, PT NSHE telah membentuk konsorsium dengan PanEco Foundation, sebuah LSM konservasi yang berbasis di Swiss. Ian Singleton, Direktur Konservasi PanEco mengatakan di tahun 2020, jika dampak proyek akan minimal selama PT NSHE melakukan semua pekerjaan mitigasi yang diperlukan.
Namun, studi di tahun 2021 menyebut bahwa di area proyek PLTA pengerjaan konstruksi proyek telah mengakibatkan hilangnya habitat orangutan potensial. Hutan seluas 371,68 hektar telah dibuka pada tahun 2019. Sekitar 87 hektar dibuka untuk konstruksi permanen, sedang 285 hektar sisanya untuk tujuan konstruksi sementara.
Para peneliti memprediksi pekerjaan konstruksi dan pembukaan hutan akan mengganggu dan mengubah pola perilaku orangutan, -meski dinyatakan mereka dapat kembali ke habitat asli yang dipulihkan, setelah fase konstruksi ini selesai. Namun, koridor hutan perlu dibuat untuk memfasilitasi pergerakan mereka dan membatasi gangguan dari akses manusia yang masuk ke dalam kawaasan.
“Berdasarkan penelitian kami, ada beberapa orangutan di sekitar bendungan PLTA,” ungkap Wanda Kuswanda, peneliti senior Departemen Zoologi Terapan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kepada Mongabay.
“[Karena kegiatan konstruksi] beberapa orangutan sudah mulai berpindah ke hutan yang lebih tinggi.”
Pada tahun 2018, KLHK melaporkan pekerjaan konstruksi proyek telah mendorong sekelompok orangutan keluar dari habitatnya dan muncul ke kebun-kebun warga. Di tahun 2019, orangutan yang terluka parah dan kekurangan gizi dievakuasi di lokasi kebun yang hanya berjarak 2,5 kilometer dari lokasi proyek PLTA.
Pekerjaan konstruksi PLTA saat ini masih berlangsung. Perusahaan BUMN, PT Dahana sedang mengerjakan terowongan utama sepanjang 12,5 km dan terowongan sekunder sepanjang 2,7 km yang akan mengalirkan air dari Sungai Batang Toru ke turbin.
Ledakan dinamit dari pekerjaan ini telah banyak dikeluhkan oleh warga desa sekitar. Mereka pun melaporkan adanya peningkatan penampakan orangutan di kebun dan ladang milik warga, sejak pekerjaan pembangunan bendungan dilakukan.
Pertambangan Emas
Ancaman besar lainnya bagi orangutan adalah tambang emas yang terletak di blok barat habitat orangutan, jelas Hurowitz.
Pertambangan Emas Martabe diakuisisi konglomerat Inggris Jardine Matheson Holdings Ltd. (Jardines) pada 2018 melalui anak perusahaannya di Indonesia, Astra International. Semenjak itu, tambang dioperasikan oleh anak perusahaan Astra International, PT Agincourt Resources.
Dalam beberapa tahun terakhir, Mighty Earth mendeteksi adanya deforestasi di dalam konsesi pertambangan. Hutan seluas 13 hektar hilang pada tahun 2021, melanjutkan sekitar 100 hektar aktivitas deforestasi selama tahun 2016 hingga 2020.
Menurut Mighty Earth, sebagian besar hutan yang hilang di konsesi Martabe terdeteksi berada di habitat orangutan dan berada di area yang dikategorikan sebagai hutan stok karbon tinggi (HCS). Hilangnya hutan yang terdeteksi, memberi indikasi operator tambang memperluas operasinya di sekitar pabrik pengolahan Martabe.
Menurut dokumen Jardine, deforestasi diperlukan untuk mengembangkan tambang dan fasilitas pengelolaan tailing yang aman. Pada tahun 2022 perusahaan membuka hutan seluas 15 hektar.
Dalam pernyataan perusahaan di Januari 2023, dinyatakan untuk terus mengoperasikan tambang yang aman dan bertanggung jawab, maka perlu mengembangkan lahan tambahan baru, tujuannya untuk pembangunan fasilitas pengelolaan tailing dan jalan akses.
Baru-baru ini PT Agincourt Resources mengumumkan bahwa di tahun 2023 mereka akan mengurangi sekitar 10-20 persen volume produksi emas tambang Martabe dibandingkan tahun sebelumnya. Mereka menyatakan perusahaan akan fokus pada rencana jangka panjang untuk mitigasi dampak lingkungan dan meningkatkan keberlanjutan tambang.
Mengingat rapuhnya ekosistem Batang Toru dan habitat orangutan tapanuli, Hurowitz mengatakan PT Agincourt Resources harusnya berhenti berekspansi sepenuhnya.
“Kami berharap Jardines dan tambangnya akan mengikuti praktik terbaik internasional seperti Prinsip Ekuator, dengan tidak mengembangkan atau mengeksplorasi di area keanekaragaman hayati utama mana pun,” katanya.
Pembukaan Lahan Pertanian
Hurowitz mengatakan ancaman lain dari pembukaan hutan dari warga lokal, seperti kebun tanaman pangan, sawit, dan pisang di blok sebelah timur.
Analisis spasial yang dilakukan peneliti dari Universitas Sumatera Utara menemukan bahwa perluasan perkebunan dan permukiman telah mendorong sebagian besar deforestasi di habitat orangutan dari tahun 2007 hingga 2020.
Selama itu, luas hutan berkurang dari 25.038 hektar menjadi 21.734 hektar. Pada saat yang sama, perkebunan seperti karet dan sawit meningkat dari 1.874 hektar menjadi 5.837 hektar, permukiman warga juga meningkat dari 151 hektar menjadi 249 hektar.
Sebuah studi tahun 2021 yang terbit dalam jurnal PLOS ONE menemukan bahwa pertanian skala kecil dan perburuan akan mendorong populasi orangutan tapanuli semakin menuju kepunahan. Ini pun telah terjadi bahkan sebelum konversi hutan skala industri yang dimulai pada tahun 1970-an.
Ancaman lainnya, adalah rencana pembangunan jalan baru yang akan dilakukan oleh pemerintah di blok timur.
“Jalan akan memisahkan habitat orangutan di blok timur dengan orangutan yang tersisa di Cagar Alam Dolok Sipirok,” ungkap Wanda.
Julius Siregar, Kepala Divisi Konservasi In Situ Yayasan Ekosistem Berkelanjutan (YEL), sebuah LSM konservasi orangutan yang bekerjasama dengan PanEco Foundation, mengatakan berdasarkan rute jalan yang akan di bangun, jalan akan memecah ekosistem hutan.
“Tutupan hutan yang baik akan terbuka,” jelas Julius kepada Mongabay. Tak hanya orangutan, satwa endemik lainnya seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) bakal terancam tempat hidupnya.
Julius mendengar pembangunan jalan itu bisa dimulai paling cepat pada tahun depan.
Upaya Konservasi
Sementara ancaman terus terjadi, masih ada secercah titik terang bagi orangutan tapanuli.
“Saya kira perkembangan upaya konservasi [orangutan tapanuli] sangat pesat dalam lima tahun terakhir, semakin banyak organisasi yang terlibat dalam upaya konservasi,” ungkap Wanda.
Misalnya YEL, organisasi ini memiliki program peningkatan kesadaran masyarakat lokal atas nilai penting konservasi orangutan tapanuli.
Pada tahun 2021, YEL membangun pusat pembelajaran di dua desa di Batang Toru. Mereka juga mengembangkan program mata pencaharian alternatif untuk mencegah deforestasi di habitat orangutan. YEL, LSM konservasi lain, dan para pemangku kepentingan lainnya pun sedang melakukan studi untuk membangun koridor yang menghubungkan habitat orangutan yang terfragmentasi.
Sektor swasta, termasuk tambang emas dan bendungan PLTA, juga mulai berkontribusi dalam upaya konservasi.
PT Agincourt Resources, telah merehabilitasi 15,56 hektar lahan hingga 2021, dan tahun ini berencana untuk merehabilitasi 4,7 hektar lagi lokasi penambangan mereka. PT NSHE telah menanami 10 ribu pohon untuk pakan dan tempat bersarang orangutan, termasuk merehabilitasi lahan-lahan yang dibuka.
Pengembang bendungan juga telah membangun jembatan satwa liar arboreal yang memungkinkan orangutan melakukan perjalanan di antara populasi yang terfragmentasi.
Wanda menyebut efektivitas semua upaya konservasi ini masih perlu ditunggu. “Kami belum tahu, apakah ini akan efektif dan apakah bisa memberikan dampak positif bagi orangutan tapanuli atau tidak,” ujarnya.
Hurowitz menyebut meski telah ada upaya konservasi, namun koordinasi dan rencana komprehensif untuk menyatukan semua upaya ini masih kurang.
“Meski sudah ada inisiatif dari beberapa kelompok untuk memulihkan lahan dan membuat perencanaan tingkat lanskap, -juga ada beberapa kelompok yang bekerja dengan komunitas, namun masalahnya belum ada rencana kerja [yang saling terkoordinasi],” katanya.
Jadi bagaimana masa depan orangutan tapanuli?
“Jika upaya-upaya tersebut saling sinkron dengan tujuan yang sama, maka harusnya ada perbaikan bagi orangutan tapanuli,” ungkap Julius. “Jika kita memiliki tujuan yang sama, -dengan dukungan pemerintah daerah dan warga lokal, maka saya yakin semuanya akan menjadi lebih baik.”
Meski demikian, Hurowitz masih tidak yakin jika penurunan populasi dan habitat orangutan akan segera dapat dipulihkan dalam waktu dekat.
“Jika melihat situasinya, orangutan mungkin masih bisa bertahan hidup di dataran tinggi, meski mereka lebih suka dataran rendah. Blok barat tampaknya yang paling layak, dan mungkin itu sub-populasi yang masih bisa bertahan,” sebutnya.
“Namun untuk saat ini, -sesuai apa yang dikatakan para ilmuwan, jika ada lebih dari delapan orang dewasa terbunuh dalam setahun, maka spesies ini akan menuju kepunahan.”
Tulisan asli bahasa Inggris World’s newest great ape faces habitat loss, multiple threats: Will it survive? Artikel ini diterjemahkan oleh Ridzki R Sigit.
Referensi:
Ekologi Orangutan (Pongo tapanuliensis). (2019). Website Kelompok Kerja Pengelolaan Lansekap Batang Toru: https://www.researchgate.net/profile/Dede-Rahman-2/publication/336851911_EKOLOGI_ORANGUTAN_TAPANULI_Pongo_tapanuliensis/links/5db6f75a299bf111d4d7663f/EKOLOGI-ORANGUTAN-TAPANULI-Pongo-tapanuliensis.pdf
Prasetyo, D., Hadiprakarsa, Y., Kuswanda, W., & Sugardjito, J. (2021). Population status of Tapanuli orangutan (Pongo tapanuliensis) within the renewable energy development and its management implications. Forest and Society, 478-493. doi:10.24259/fs.v5i2.13529
Riverscope assessment: Batang Toru, Indonesia. (2021). Retrieved from TMP Systems website: https://riverscope.org/wp-content/uploads/2021/12/Batang-Toru_final_15_12_2021.pdf
M. Asfa, I. A. (2022). Analisis Spasial Deforestasi pada Habitat Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) di Kecamatan Batangtoru Menggunakan Citra Landsat. Retrieved from University of North Sumatra website: https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/48380
Meijaard, E., Ni’matullah, S., Dennis, R., Sherman, J., Onrizal, & Wich, S. A. (2021). The historical range and drivers of decline of the Tapanuli orangutan. PLOS ONE, 16(1), e0238087. doi:10.1371/journal.pone.0238087