Mongabay.co.id

Kala Nelayan dan Petani Terdampak Perubahan Iklim

 

 

 

Cuaca laut cerah ketika Abu Hurairah turun melaut. Tak lama cuaca berubah dratis “Kami sudah tahu sebelumnya kapan akan turun hujan. Prediksi kami tentang badai biasa selalu tepat, sekarang tidak bisa lagi,” kata nelayan dari Kepulauan Riau ini.

Dia bilang,  cuaca yang tidak menentu membuat hasil tangkapan ikan berkurang.  Saat melaut pun jadi was-was kala cuaca bisa berubah tiba-tiba.

“Biasa musim angin utara berlangsung hingga sekarang,  tidak menentu,” kata Abu.

Meskipun sudah ada aplikasi prakiraan cuaca, namun itu tidak sepenuhnya membantu para nelayan.

Nelayan seperti Abu, maupun masyarakat pesisir paling terdampak perubahan iklim. Bagi nelayan, tangkapan jadi berkurang hingga ancaman risiko tinggi saat melaut karena cuaca tak menentu.

Pesisir laut dan pulau-pulau kecil terus mengalami ancaman bencana iklim. Tak jarang, minimnya pengetahuan membuat banyak korban berjatuhan. Seperti longsor di Pulau Serasan, Natuna, Kepulauan Riau beberapa waktu lalu.

Curah hujan ekstrem selama seminggu membuat bukit di pulau runtuh. Setidaknya 54 orang tertimbun longsor.

Tidak hanya berdampak di daratan pulau, sebagai negara kepulauan, perubahan iklim juga menjadi ancaman serius nelayan di Indonesia, terutama Kepri, provinsi kepulauan.

Hendri, Ketua Aliansi Nelayan Natuna mengatakan, perubahan iklim mengurangi hasil tangkapan nelayan setiap tahun. “Apalagi laut kita terancam dengan keberadaan kapal-kapal asing Vietnam,” katanya. Kedua faktor ini mengurangi hasil tangkapan nelayan setidaknya 40%.

Keluhan nelayan di Kepulauan Riau ini sejalan dengan hasil penelitian Mariam Ulfa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. Penelitian tahun 2018 yang berjudul “Persepsi Masyarakat Nelayan dalam Menghadapi Perubahan Iklim” itu menyebutkan perubahan iklim berdampak pada nelayan.

Beberapa dampak yang ditimbulkan adalah nelayan tidak dapat menentukan musim yang akan terjadi saat melaut. Perubahan iklim membuat kondisi cuaca ekstrem hingga nelayan tak berani melaut.

Tidak hanya mempengaruhi kondisi cuaca, perubahan iklim juga membuat sumber daya perikanan berkurang hingga nelayan harus melaut lebih jauh untuk mendapatkan penghasilan yang sesuai.

Dampak perubahan iklim memaksa nelayan mengalami musim paceklik yang rentan terhadap kemiskinan dan penurunan kesejahteraan.

 

Nelayan tangkap udang di Batam. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Moh Abdi Suhufan, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, mengatakan, pemerintah daerah harus mengambil langkah melindungi nelayan kecil dari perubahan iklim.

Salah satu bentuk perlindungan dengan menyediakan data dan informasi mengenai jenis-jenis kerentanan yang akan dihadapi nelayan kecil. “Sosialisasi lengkap dengan cara mengantisipasinya,” kata Abdi.

Selain itu, katanya, rencana aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim oleh daerah harusada  spesifik bagi kelompok nelayan baik secara lingkungan, sosial dan ekonomi.

“Di pusat harus ada konsolidasi perencanaan dan anggaran yang bersumber dari APBN, donor dan program LSM agar fokus dan sinergis menyasar daerah-daerah rentan dan kantong-kantong nelayan,” katanya.

DFW analisis di Teluk Kolono, Konawe Selatan, dan Sulawesi Tenggara pada 2016. Di sana ditemukan perubahan iklim menyebabkan abrasi garis pantai mundur. “Menyebabkan kerusakan pesisir yang mengancam kawasan permukiman nelayan,” katanya.

Hal yang sama juga terjadi di Kota Kendari. “Kami menerima laporan ada kenaikan air laut yang merembes masuk ke rumah-rumah nelayan di pesisir pantai,” katanya.

Rignolda Djamaludin,  Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, dalam webinar April lalu mengatakan hal sama. Menurut dia, memperhatikan nelayan bukan hanya soal mereka melaut juga pantai tempat tinggal dan tempat menambat kapal di pesisir pantai.

Parid Ridwanuddin,  Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Eksekutif Nasional mengatakan, dampak perubahan iklim mulai dirasakan para nelayan dan masyarakat pesisir termasuk di pulau-pulau kecil.

Fakta terbaru menunjukkan, dampak perubahan iklim menyebabkan bencana tanah longsor di Pulau Serasan, Natuna.

“Longsor di Natuna karena cuaca ekstrem akibat perubahan iklim, bencana iklim paling banyak menimpa masyarakat pesisir, nelayan, dan pulau-pulau kecil.”

 

Petani perempuan di Distrik Nanded di Maharashtra mengeluhkan penurunan hasil peternakan. Foto: Renuka Kalpana

 

Gelombang panas di India

Tak hanya di Indonesia, India pun alami dampak perubahan iklim. Gelombang panas terjadi dalam dekade terakhir ini, sementara gelombang dingin lebih jarang.

Penelitian terbaru oleh fakultas- fakultas di Universitas Hyderabad (IIT) India, bersama fakultas-fakultas dari Institut Teknologi India dan Departemen Meteorologi India, Departemen Ilmu Pengetahuan Bumi, Kementerian Ilmu Pengetahuan Bumi.

Mereka pakai data suhu maksimum harian dan suhu minimum dari 1970-2019 untuk menyelidiki tren dalam frekuensi hari- hari dengan suhu tinggi yang anomali (disebut sebagai gelombang panas) dan suhu rendah (gelombang dingin) di India. Kondisi itu berdampak pada pertanian, yang hampir 70% dari populasi India.

Cuaca di India tak menentu membuat sebagian petani mengalami gagal panen. Seperti dialami warga Desa Sonapur, India. Hujan badai di desanya akhir Desember 2022 merusak hasil panen.

“Hujan badai tiba-tiba turun, merusak tanaman kacang polong saya yang sudah dibudidayakan di atas lima hektar,” kata Sitabai Sudam Atram, petani dari Desa Sonapur, India.

Tren penurunan produksi pertanian diamati warga desa itu selama enam tahun terakhir. Pertanian lahan kering mereka sudah tidak menghasilkan banyak.

Begitu juga yang terjadi di Bhimrao Maruti Kumare dari Ghogarwadi, India. Warga kecewa produksi kapas hanya tiga setengah kuintal tahun ini dari dua karung benih yang ditaburkan di lahan seluas dua hektar. Mestinya petani bisa mendapatkan 10 kuintal kapas. Hujan turun tidak menentu.

Selain itu, India merupakan produsen gandum dan beras terbesar kedua di dunia. Di beberapa daerah seperti di Haryana, mereka mengalami gangguan kesuburan tanah diduga akibat perubahan iklim.

Sandeep Khanda, petani muda dari Desa Khanda. Enam tahun lalu, masih menggunakan pupuk alami buatan sendiri untuk tanamannya. Beberapa waktu belakangan, terpaksa pakai pupuk beracun.

“Itu harus kami lakukan agar tidak merugi, kalau rugi buruh tani juga terkena dampaknya,” kata Sandeep.

Tidak hanya itu, perubahan iklim juga membuat tradisi festival panen masyarakat India Utara tidak bisa dilaksanakan. Panen tidak berjalan baik akibat hujan ekstrem terjadi beberapa waktu belakangan.

“Tidak ada festival pada 14 April tahun ini karena hasil panen jatuh karena hujan ekstrem,” kata Sandeep.

Sandeep juga aktif di Green Pencil Foundation untuk melawan perubahan iklim. Dia bilang, tren ini terus berlanjut, India akan mengalami pergeseran cepat dari sektor pertanian. Sebagian besar anak-anak muda di wilayahnya telah mulai memilih opsi lain untuk bekerja selain bertani.

Dewan Penelitian Pertanian India (ICAR) melakukan penilaian kerentanan pertanian India terhadap perubahan iklim. Penilaian terhadap 573 distrik pedesaan di India dilakukan, 109 distrik atau 19% berisiko sangat tinggi, 201 distrik berisiko sedang.

 

 

Petani sawit Malaysia

Dampak perubahan iklim juga dialami petani sawit di Malaysia. Ekspor sawit oleh Malaysia terbesar kedua di dunia setelah Indonesia. Dampak perubahan iklim berpengaruh kepada hasil produksi sawit.

Jasman Juraimi, operator perkebunan sawit di Malaysia mengatakan, peningkatan suhu udara mempengaruhi sawit yang menyebabkan produksi buah berkurang. “Ketika cuaca terlalu panas, tidak ada buah yang bisa dipetik,” kata pria 67 tahun itu.

Keuntungan pertanian sawit bisa terdampak sampai 40%. “Kalau suhu terlalu panas, kami tidak bisa memberi pupuk, karena pupuk menghasilkan panas, tidak baik untuk tanaman karena cuaca juga sudah panas,” kata Jasman.

Sekarang dia mengandalkan mitigasi alami untuk membantu mendinginkan tanaman dengan bantuan daun pakis. “Pupuk juga tidak bisa diakses oleh tanaman di tanah yang sangat kering (karena cuaca panas), kalau tidak menggunakan pupuk buah sawit menjadi sedikit, ini yang kami alami sekarang,” keluh Jasman.

Berbeda lagi dengan cuaca hujan deras. Hujan badai membuat perkebun sawit di Malaysia bisa merugi sampai 100% karena sawit hancur terendam banjir.

Yahya Basiron, juga petani sawit berharap,  pemerintah memperhatikan aspek infrastruktur seperti pembangunan jalan, drainase untuk mengurangi banjir. “Kalau tandan sawit sudah hancur karena banjir, butuh waktu dua tahun untuk menanamnya lagi,” ujar Yahya.

 

Dua nelayan di pesisir Batam menangkap ikan dengan jari di pesisir Tanjung Piayu. Kawasan ini merupakan salah satu gugus pesisir yang masih terjaga. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Melawan dampak perubahan iklim

Perubahan iklim juga menjadi ancaman serius bagi negara yang sumber pangannya terbatas. Salah satunya Singapura. Pemerintah Singapura mencari solusi melawan perubahan iklim ini.

Singapura bergantung negara lain untuk pasokan makanan. Bahkan,  90% makanan negara julukan ‘Singa Putih’ ini impor.

Grace Fu, Menteri Keberlanjutan dan Lingkungan Hidup Singapura, saat berbicara dalam peluncuran Festival Pertanian Lokal baru-baru ini, mengatakan, perubahan iklim memberikan pelajaran kepada setiap hari tentang perlunya ketahanan iklim.

“Kami memutuskan perlu membangun ketahanan pangan di Singapura,” katanya.

Beberapa langkah akan dilakukan Singapura adalah mempersiapkan pangan domestik pada 2030. Setidaknya 30%, atau disebut dengan istilah ‘30×30’.

Kemudian dengan tanaman hidroponik. Hampir di setiap sudut Singapura tidak ada ruang kosong, berubah menjadi hidroponik. Mulai dari area pemukiman, bangunan industri, atap gedung dan lainnya.

Beberapa bulan lalu Singapura baru saja memanen padi Temasek. Padi ini ditanam di lahan vertikal berteknologi tinggi. Jenis padi ini bahkan diyakini tahan terhadap perubahan iklim.

Di Vietnam,  beberapa petani baru menyadari aktivitas pertanian mereka mempercepat terjadinya perubahan iklim. Saat ini,  mereka berupaya mengembangkan pertanian hijau, untuk meninggalkan kebiasaan buruk saat bertani secara konvensional.

Khuat Huu Duong dari komune Xuan Nha Vietnam mengatakan, masa lalu tidak memahami apapun tentang perubahan iklim atau efek rumah kaca. “Kami mengira hal itu hanya terjadi di kota-kota besar,” ujar Khuat.

Dia tidak menyadari bahwa membakar ladang, pemupukan, penggunaan herbisida (bahan kimia untuk mengendalikan tumbuhan pengganggu) dapat mempengaruhi perubahan iklim dunia. “Setelah kami tahu kami tidak membakar lagi untuk membuka lahan pertanian,” katanya.

Dao The Anh,  Wakil Direktur Akademi Ilmu Pertanian Vietnam, mengatakan, pertanian hijau cara mengoptimalkan sumber daya, untuk menghasilkan lebih banyak makanan berkualitas dan berkontribusi lebih sedikit terhadap emisi gas rumah kaca.

Di Laos,  pertanian  tebang dan bakar diduga jadi salah satu pendorong perubahan iklim. Pembukaan lahan di negara ini dengan cara dibakar menyebabkan beberapa titik api kebakaran hutan.

Sektor pertanian adalah pekerjaan dominan penduduk Laos juga sektor ekonomi utama negara ini. Proses pembukaan lahan dengan sistem pembakaran, selain cepat, hasil meninggalkan lapisan nutrisi tebal pada tanah dan bermanfaat bagi tanaman.

Meskipun gunakan praktik itu sudah lama, tetapi dinilai tidak berkelanjutan menurut para ahli dan pemerintah.

”Kami tahu metode tebang dan bakar berbahaya bagi kesehatan. Kami sudah praktikkan lama dan sangat membantu dalam pekerjaan,”  kata petani yang tidak mau namanya disebutkan.

Petani menyadari persoalan itu. Mereka siap mengadopsi cara lain jika dinilai lebih efisien dan efektif.

“Jika ada metode lain yang lebih modern dan lebih baik yang disediakan oleh pihak berwenang, kami pasti akan mengadopsinya.”

 

Desa di hutan Kinwat. Penduduk desasebagian besar bertahan hidup dari hasil hutan dan pertanian. Perubahan iklim berdampak pada mata pencaharian mereka. Foto: Renuka Kalpana

 

*********

Exit mobile version