- Sejumlah laporan organisasi masyarakat sipil menemukan bahwa program pemerintah Indonesia untuk membangun perkebunan pertanian skala besar di seluruh negeri telah menyebabkan deforestasi.
- Lebih dari 1.500 hektar hutan, termasuk lahan gambut kaya karbon, telah dibuka di provinsi Kalimantan Tengah untuk apa yang disebut proyek food estate.
- Kaoem Telapak mendeteksi 100 hektar deforestasi di kawasan food estate di Sumatera Utara, yang merupakan habitat penting satwa dilindungi.
- Warga desa juga melaporkan peningkatan tingkat keparahan banjir sejak hutan mereka dibabat untuk dijadikan perkebunan pangan.
Proyek food estate disebut telah menyebabkan deforestasi. Analisis spasial baru-baru yang dilakukan oleh Pantau Gambut menemukan lebih dari 1.500 hektar hutan telah dibuka di desa Tewai Baru, kabupaten Gunung Mas.
Sekitar 700 hektar hutan dibuka untuk perkebunan singkong di bawah proyek food estate. Estimasi angka ini mirip dengan yang dilakukan Greenpeace Indonesia pada 2022, yang menyatakan 760 hektar hutan telah di buka di Kabupaten Gunung Mas, sejak November 2020.
“[Area yang dibuka untuk perkebunan singkong] adalah salah satu area dengan tutupan hutan yang bagus, dan merupakan koridor bagi orangutan (Pongo pygmaeus),” jelas Bayu Herinata, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah,seperti dikutip dari BBC Indonesia.
Pantau Gambut juga menemukan bahwa desa Tewai Baru telah dialokasikan untuk program perhutanan sosial pemerintah sejak 2019, yang berarti hutan di sana seharusnya dibiarkan utuh dan dialokasikan untuk dikelola masyarakat.
“Pertanyaannya, mana yang jadi prioritas pemerintah?” sebut Manajer Penelitian Pantau Gambut Agiel Prakoso kepada Mongabay.
Baca juga: Apakah Program ‘Food Estate’ di Kalteng akan Mengulangi Kegagalan Proyek Pangan Sebelumnya?
Rusaknya Lahan Gambut
Analisis Pantau Gambut menemukan bahwa proyek food estate merusak lahan gambut. Padahal lahan gambut adalah ekosistem penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Lahan gambut menyimpan 20 kali karbon lebih banyak dari hutan hujan tropis tanah mineral.
World Resources Institute (WRI) Indonesia mengatakan proyek food estate harus menghindari area dengan lapisan gambut lebih dalam dari 1 meter, karena merupakan penyerap karbon intensif dan juga kurang cocok untuk budidaya tanaman.
WRI menyebut pengelola proyek seharusnya menghindari membuka gambut dengan tutupan hutan primer dan sekunder. Pembukaan vegetasi semacam itu dapat melepaskan 62,25 metrik ton CO2 per hektar per tahun, setara dengan membakar lebih dari 26.000 liter bahan bakar.
Namun, analisis spasial Pantau Gambut, dengan menggunakan data GLAD Alert GFW, menemukan 233 hektar wilayah hutan telah dibuka untuk proyek food estate sepanjang Januari hingga Oktober 2022.
Analisis tersebut menunjukkan 137 hektar hutan rawa gambut sekunder di desa Pilang, dan 96 hektar hutan lindung dengan lapisan gambut sedalam 2-3 meter telah di buka.
“Pemerintah bilang ini [food estate] bukan di lahan gambut, tapi kalau kita lihat [lanskap] secara keseluruhan masih dalam satu kawasan DAS dan satu kawasan hidrologis gambut,” ujar Agiel.
Kementerian Pertanian, yang bertanggung jawab atas beberapa perkebunan pangan, membantah tuduhan deforestasi. Direktur Perluasan Lahan Kementerian, Baginda Siagian, mengatakan proyek food estate di Kalteng sudah melalui perencanaan yang matang.
Dia mengatakan pemerintah telah melakukan overlay sejumlah peta untuk memastikan bahwa ekosistem yang rentan dan terlindungi seperti kawasan hutan, kubah gambut, dan lahan gambut dalam tidak masuk dalam wilayah sasaran proyek food estate.
“Oleh karena itu, kegiatan food estate tidak mengganggu ekosistem alam dan tidak menyebabkan deforestasi,” jelas Baginda kepada Mongabay.
Baca juga: Food Estate Bukan Jawaban Atasi Persoalan Pangan di Indonesia
Program gagal?
Sejak hutan dibuka, desa Tewai Baru mengalami peningkatan tingkat keparahan banjir. Sigo, Kepala Desa Tewai Baru, menyebut dulu jika air meluap hanya maksimal 50 cm, sekarang bisa mencapai tiga kali lipat.
“Banjir ini merugikan kami. Apalagi kalau banjir di malam hari. Itu waktunya tidur, tapi airnya masuk,” sebut Dion Noel salah seorang warga desa. Rumahnya kebanjiran setelah hujan lebat selama 2 jam.
Hal ini sesuai dengan laporan Greenpeace Indonesia yang menyebut proyek food estate di Tewai Baru, telah mempercepat limpasan air hujan dan menyebabkan banjir karena hilangnya humus berpasir.
Di sisi lain, investigasi oleh Pantau Gambut, Walhi Kalimantan Tengah dan BBC Indonesia pada Maret 2022 dan Februari 2023 menemukan tanaman singkong di Desa Tewai Baru layu, kerdil dan umbinya kecil. Investigasi juga menemukan tujuh ekskavator terbengkalai yang tidak lagi berfungsi.
Baca juga: Menyoal Food Estate di Sumatera Utara
Sementara itu, investigasi lain oleh Kaoem Telapak di proyek food estate yang berlokasi di desa Ria-Ria, Sumatera Utara menyebut sekitar setengah dari perkebunan tanaman pangan di desa ini telah ditinggalkan.
Berdasarkan analisis data spasial Global Forest Watch, dari rencana total seluas 500 hektar, Kaoem Telapak melaporkan bahwa pada Juli 2022, -hutan seluas 100 hektar telah di buka di desa Ulu Merah, Sumatera Utara. Padahal, hutan ini habitat penting bagi harimau sumatera sumatera (Panthera tigris sondaica) dan beruang madu (Helarctos malayanus).
Petani setempat mengatakan kepada Kaoem Telapak bahwa pemerintah membangun saluran irigasi sembarangan, akibatnya, banyak yang tidak berfungsi lagi.
“Jika lahan food estate tidak memberikan hasil yang maksimal, -[atau] bahkan dianggap gagal berdasarkan sejumlah kriteria, maka proyek tersebut harusnya dievaluasi ulang,” tulis Kepala Kehutanan dan Pertanahan ICEL Adrianus Eryan, dalam The Conversation.
“Pemegang izin harus merestorasi lahan dan mengubahnya kembali menjadi hutan yang lebih bermanfaat secara ekologis. Masyarakat sekitar dapat mengelola lahan terlantar untuk mendukung mata pencaharian mereka.”
Baginda kembali membantah tudingan bahwa program tersebut gagal.
“Berdasarkan data yang kami kumpulkan dari lapangan, kegiatan intensifikasi lahan [yang ditargetkan untuk peningkatan hasil] oleh petani sedang berjalan dan memiliki hasil produksi yang cukup baik,” pungkasnya.
Tulisan asli High-carbon peat among 1,500 hectares cleared for Indonesia’s food estate. Artikel ini diterjemahkan oleh Ridzki R Sigit.
***
Foto Utama: Lahan gambut yang dikeringkan di Kalteng. Foto: Rhett A Butler/Mongabay Indonesia