Mongabay.co.id

Mengenal Beras Organik dari Simancuang

 

 

 

 

 

 

Hamparan sawah melingkari pemukiman di Jorong Simancuang, Nagari Alam Pauh Duo, Kecamatan Pauh Duo, Solok Selatan, Sumatera Barat.  Sawah-sawah itu ditanam secara organik. Di Simancuang, sumber penghidupan utama warga dari usaha tani padi sawah sejak turun temurun.

Simancuang,  terkenal dengan tradisi turun bersama ke sawah hingga kini rutin mereka lakukan. Mendarahi kepalo banda, namanya. Biasa dua atau tiga hari setelah mandarahi kapalo banda masyarakat mulai bertanam.

Prosesnya, mulai setiap setelah panen padi, tiap-tiap keluarga memberikan 10 sukek padi,yang sama dihargai Rp80.000 kepada pengurus mesjid.

Pengumpulan uang ini dilakukan pada setiap wilayah dan disetorkan kepada satu orang sebagai wakil yang selanjutnya menyerahkan pada pengurus mesjid dan Wali Jorong. Uang ini untuk membeli seperangkat bumbu masak dan satu kerbau.

Tradisi mendarahi kepalo banda sudah sejak 1984, pada awalnya hewan yang disembelih yaitu kambing.Setahun kemudian diganti sapi dan seterusnya setelah delapan kali acara dilakukan penggantian hewan yang disembelih.

Masyarakat bersepakat gunakan kerbau karena tingkat perekonomian makin baik.

Selain kebersamaan dan semangat gotong royong, kegiatan turun ke sawah secara bersama-sama juga dilakukan guna mengusir hama. Berpuluh tahun mereka menerapkan pertanian organik, tidak gunakan pupuk dan pembasmi hama. Hingga di 2015, sebagian besar patani mulai tergiur dengan pupuk buatan yang lebih praktis dan iming-iming hasil panen yang memuaskan.

Ropen, petani organik Simancuang mengatakan, dampak pupuk kimia tanah menjadi lebih gersang dan tidak subur.

“Pupuk buatan sangatlah merugikan, karena tidak hanya menyebabkan menurunnya kualitas tanah juga membebani biaya bertambah,“ katanya.

Secara fisik padi pupuk kimia menunjukkan penampilan baik, seperti warna daun cepat menguning, cepat berbuah dan kelihatan buah lebat dan besar.  Namun beras tidaklah begitu baik, karena lebih cepat basi dan pengeluaran bertambah untuk pembelian pupuk.

Para petani di Simancuang ini tidak perlu pusing pengairan sawah mereka. Hutan Lindung Bukit Karang Hitam yang terjaga mampu mengairi seluruh sawah di jorong ini.

Hutan Karang Hitam mengelilingi Jorong Simancuang, yang berada di lembah dengan perbukitan hijau dan rimbun.

Masyarakat Jorong Simancuang percaya dengan menjaga hutan berarti bisa terselamatkan dari bencana, antara lain longsor dan kekeringan.

Saat ini,  sekeliling kawasan lindung Karang Hitam seluas 580 hektar telah ditetapkan Menteri kehutanan sebagai hutan nagari.

 

Berbondong-bondong mengikuti tradisi mendarahi kepalo banda. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

***

Longsor di Bukit Panjang Karang Hitam sebelah barat jorong pada 90-an, menjadi salah satu titik balik masyarakat menetapkan aturan ketat dalam membuka hutan dan menebang pohon.

Masyarakat sepakat tak boleh menebang kayu dan membuka lahan di Bukit Panjang. Pembukaan lahan hanya boleh di kaki-kaki bukit. Sampai saat ini aturan ini jadi aturan adat. Sejauh ini, aturan ini tidak pernah dilanggar oleh masyarakat Simancuang. Kalaupun ada orang luar yang mencoba menebang pohon di bukit ini, masyarakat Simancuang cepat akan menyetopnya. Daerah-daerah yang bertetangga dengan Simancung juga tahu aturan ini dan turut mematuhi.

“Menyangkut perairan sawah cukup memadai, dan sumber air ini dari hutan lindung Bukit Panjang Karang Hitam. Selama hutan ini terjaga, sumber air untuk sawah kami juga tidak  ada masalah,” katanya.

Pada 2016, KKI Warsi memfasilitasi 29 petani yang membuat Kelompok Tani  Hamparan Bersama Organik, mulai menentang keras kehadiran pupuk kimia. Sebanyak 32 hektar lahan anggota kelompok diubah menjadi percontohan sistem bertani organik.

Erizal Efendi, Ketua Kelompok Tani Hamparan Bersama Organik mengatakan, proses label organik yang mereka dapatkan membutuhkan waktu lama dan panjang.

“Kita diajarkan menggunakan racun nabati untuk menyemprot hama, dan meninggalkan penggunaan bahan-bahan kimiawi secara total.”

Mereka mendapatkan pelatihan dalam Sekolah Lapang selama 18 bulan secara intensif.  Mulai dari pemanfaatan rumput dan sisa tanaman sebagai penyubur tanah. Sejak setahun lalu, Erinaldi Spesialis Green Ekonomi KKI Warsi mulai mengajak beberapa petani beralih ke pertanian ramah lingkungan.

Dia bilang, pertanian tanpa pupuk kimia ini dapat membuat hasil panen mereka melimpah.

Tanpa pakai pupuk kimia mereka memperoleh hasil panen memuaskan. Semangat kembali ke alam itu mengilhami Edison membuat pupuk buatan dari kotoran jawi (bahasa lokal sapi).

Kabar bahagia datang pada 2018,  Kelompok Tani Hamparan Bersama Organik mendapatkan kesempatan proses sertifikasi organik melalui LSO di Sumatera Barat.  Selama proses,  mereka dipantau selama tiga musim tanam.  Dari 29 anggota lahan sekitar 32 hektar, lulus sertifikasi dan mendapatkan sertifikat organik 19 petani pada hamparan 8,9 hektar.

Beberapa anggota kelompok yang tak lulus sertifikasi menarik diri dari kelompok, dan beberapa tetap bersemangat menerapkan pola pertanian organik dan siap sertifikasi kembali.

Hasil panen sawah organik cukup memuaskan sekitar 4,6 ton sampai 4,8 ton per hektar. Hasil panen sawan non organik maksimal empat ton per hektar.

LPHN Simancuang membentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial Beras Organik yang bantu memasarkan. Pendra Efendi selaku Ketua Kelompok Tani Hamparan Bersama Organik bilang mereka rutin melakukan pencatatan harian.

LPHN Simancuang sebagai Kelompok Pengelola Hutan Nagari membentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Beras Organik. Wadah ini, katanya, untuk mendukung pemasaran beras organik dari Kelompok Tani  Hamparan Bersama Organik.

Mereka juga diawasi Budi, pengawas yang ditunjuk LPHN Simancuang, guna memastikan semua proses organik dengan benar dan tepat.

Ujang, Ketua KUP Padi Organik, setiap panen menerima gabah kering dari anggota, olah menjadi beras, kemas dan jual.

“Kita sudah menerima tiga kali musim panen, dengan hasil 1, 3 ton beras , panen kedua 850 ton beras, dan panen ketiga tahun ini 1,6 ton gabah kering. Panen ini 250 ton beras sudah dipasarkan,” katanya.

 

Beras organik. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Perlu bantuan pemasaran

Upaya para petani ini bukan tanpa kendala. Hingga kini, mereka masih sulit pemasaran beras organik. Orang-orang lokal belum peduli dengan produk organik. Warsi sempat membantu menjualkan malalui pasar online, tetapi tidak memuaskan.

“Keuntungan yang kami ambil di KUPS itu sangat sedikit. Semua ke petani.”

Harga beras organik Rp18.500 per sukek,  sedangkan beras biasa Rp14.000 per sukek. Satu sukek 1,2 kg. Harga jual beras organik juga dikontrol oleh asosiasi pertanian organik.

Sutono, Pundi Sumatera selaku Fasilitator Wilayah Tengah TFCA Sumatera  mengatakan, dari hasil monitoring ada beberapa catatan dari komunitas, antara lain persoalan harga, pasar, dan beberapa peralatan yang dibutuhkan.

“Ada beberapa persoalan internal, dari petani yang tidak lulus sertifikasi tapi sudah bisa diatasi. Mereka tetap menerapkan pertanian organik. Ini perlu dipikirkan juga ke depan soal pengurusan sertifikasinya.”

Selain itu, katanya,  persoalan teknis, seperti pengolahan pasca panen, perlu lantai jemur yang memadai.  “Alat packing dan timbangan, juga dibutuhkan.”

 

Kondisi jorong Simancuang yang dikekelingi Hutan Lindung Bukit Panjang Karang Hitam. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

*******

Exit mobile version