Mongabay.co.id

Kekhawatiran Mairawita Ketika Anggrek Sumatera Barat Hadapi Berbagai Ancaman

 

 

 

 

Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis) menyambut dengan kelopak putih terang. Lidah merahnya seperti api. Sebuah penanda kalau anggrek bulan ini sudah melewati beberapa kali persilangan.

Ada juga anggrek bentuk akar udara, akar serabut dan akar berduri di rumah Mairawita, pencinta orchidaceae sekaligus peneliti senior di Biologi Universitas Andalas.

Saya masuk melalui halaman samping rumahnya. Beragam bentuk dan warna dari famili anggrek ini mengelilingi halaman. Ada anggrek dengan akar tertanam di tanah,  ada pula yang tergantung. Mulai dari yang dinamai dendrobium Mufidah JK,  nama istri mantan Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla, tanduk melintir sampai anggrek di tanah Papua.

Halaman samping itu langsung terhubung dengan dapur dan halaman belakang rumah dengan isi penuh anggrek. Sebuah meja bulat di tengah ruangan itu diletakkan anggrek bulan hybrid. Warna merah di tengah bunga itu mencolok sekali seperti lampu neon.

Peneliti hama tanaman ini sudah jatuh hati dengan famili orchidaceae sejak kecil. “Dulu, ibu saya hobi menanam anggrek di rumahnya,” kenang perempuan kelahiran Solok, istri almarhum Marlis Rahman, mantan Wakil Gubernur Sumatera Barat ini.

Awalnya,  Mairawita mengenal tanaman yang sering jadi simbol kesetiaan di Tiongkok ini pada 1982. Ibunya hobi menanam dan menghias rumah dengan bunga-bunga ini. Banyak gantungan berisi tanaman tropis itu di rumahnya.

Pada 1984,  ketika Mairawita baru berkuliah di Universitas Andalas mulailah mengoleksi dan mempelajari tanaman ini dengan lebih intens. Belakangan dia didapuk jadi menjadi ketua Perhimpunan Anggrek Indonesia Sumatera Barat.

Mairawita bilang, Sumbar kaya beragam jenis anggrek. Dia banyak mengoleksi jenis Dendrobium sp. dan sebagian hasil persilangan.

 

Anggrek Bulan hasil persilangan. Foto: Jaka H Baittri/ Mongabay Indonesia

 

Berbagai ancaman

Mairawita mengajak berkeliling di halaman belakang rumahnya yang luas. Halaman belakang pakai atap sebagian transparan. Letak rumahnya tak jauh dari pabrik Semen Padang hingga banyak debu dan cuaca panas rentan merusak tanaman kesayangannya ini. Belum lagi suhu panas tak menentu.

Dia mengatakan,  suhu tinggi membuat serangga lebih cepat bereproduksi. Terlebih dalam perbedaan suhu ada kemungkinan telur serangga menetas dan lahir serangga betina.

“Suhu tinggi akan menetas serangga betina. Sedang di bawah itu akan menetas serangga jantan,” katanya.

Bukan hanya serangga yang merusak tanaman bakteri juga. Dia memperlihatkan perbedaan daun rusak karena bakteri dan hama serangga pada anggrek koleksinya.

Dia bilang, daun rusak karena serangga tampak berlubang-lubang dan sebagian busuk. Sedangkan bakteri menyebabkan daun busuk dari dalam tanpa terlihat lubang-lubang. Daun pun jadi cokelat.

Jurnal biologi mengatakan serangga punya respon spesifik saat berhadapan dengan suhu tinggi atau ekstrem pada masing-masing spesies. Ada yang menunjukkan perilaku merayap, ada yang menghambat perilaku makan, memperpanjang umur dan memengaruhi fekunditas serangga betina lalat buah.

Ini seperti penyampaian Bei Zeng, Wenjing Zhu, Yueguan Fu dan Shihap Zhou dalam jurnal Plos One judul “Influence of high-temperature exposure on the mating, oviposition and thermotaxis of Bactrocera cucurbitae” pada 2018.

Bei Zeng dan kawan-kawan tak menafikkan kalau perubahan iklim memengaruhi perilaku dan perkembangbiakan serangga yang akhirnya memengaruhi populasi dan ekosistem suatu spesies. Dalam penelitiannya, Bei Zeng pakai suhu tinggi 33, 37, 41 dan 45 derajat Celcius.

Pada 2007,  Perhimpunan Anggrek Indonesia Sumatera Barat mengeluarkan buku Anggrek Spesies Sumatera Barat volume I. Para penulisnya adalah Syamsuardi, Mairawita, Rici Rikardo, Nurainas, Nurbaiti dan Eli Wiratma. Buku ini terbit terbatas.

Dalam buku ini menyebutkan, pengkoleksian dan penjualan anggrek spesies tak terkendali dan ilegal oleh penggemar dan kolektor asing turut memicu percepatan kepunahan tumbuhan ini di alam Sumatera Barat.

Sifat endemik dari beberapa jenis anggrek juga menyebabkan kerentanan menuju kepunahan.

 

Mairawita, peneliti hama di Fakultas Biologi Universitas Andalas. Foto: Jaka H Baittri/ Mongabay Indonesia

 

Deforestasi juga pemicu kepunahan. Dalam buku ini menyebutkan, luas Sumatera Barat 4.289.800 hektar dengan luasan Kawasan hutan sekitar 2.600.286 hektar. Tutupan hutan tersisa 1.847.524 hektar. Kerusakan terjadi seluas 14.438 hektar dan luas penurunan lahan kritis 18.631 hektar.

Syamsuardi dan kawan-kawan mencatat,  ada sekitar 61% lahan merupakan kawasan hutan tetapi tutupan sudah banyak tergerus, penebangan ilegal terus berlangsung hingga mengancam anggrek di alam.

Mairawita mengatakan, perlu pendataan dan riset lanjutan dari buku Anggrek Spesies Sumatera Barat Volume I. Sebab sudah lebih dari 10 tahun volume satu terbit dan sudah waktunya menerbitkan volume II.

Dalam buku ini, pemilihan 30 jenis tanaman bermahkota ini berdasarkan pada pengenalan penulis terhadap jenis dan kelengkapan data yang memadai hingga layak disajikan.

Mereka mencatat beberapa sumber lama yang melaporkan keragaman orchidaceae di Sumatera salah satunya J.J Smith berjudul Enumeration of the Orchidaceae of Sumatra and Neighbouring Island pada 1993. Waktu itu J.J Smith mengumpulkan 986 jenis anggrek alam.

Publikasi selanjutnya oleh Comber dengan judul Orchid of Sumatra tahun 2001. Dia mencatat ada 1.118 jenis anggrek spesies dan 41% endemik Sumatera. Bahkan diperkirakan masih ada 10% lagi belum teridentifikasi hingga tahun itu.

Pada 2001,  Meijer juga melaporkan anggrek ada di Gunung Sago Payakumbuh dengan judul Provisional Checklist of The Flora of Mt. Sago near Pajakumbuh West Sumatra.

Pada buku itu tertulis, Sumatera memiliki iklim dan curah hujan tinggi serta terdistribusi sepanjang tahun. Kondisi ini,  sangat sesuai bagi habitat anggrek. Eksploitasi hutan legal dan ilegal,  merusak hutan yang merupakan habitat anggrek alam.

Sumbar kaya jenis anggrek, katanya, meski begitu penangkaran anggrek di Sumatera Barat baru satu yang masuk daftar Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

“Baru satu. Itu juga baru ada kantong semar. Penangkaran itu justru bagus agar tidak mengambil lagi dari alam,” katanya.

 

Daun anggrek yang terkena hama. Foto: Jaka H Baittri/ Mongabay Indonesia

 

******

Exit mobile version