Mongabay.co.id

Upaya Rahman Manik Jaga Primata di Tengah Pakan Hutan Sibaganding Terbatas

 

 

 

 


Sipuntung, adalah monyet ekor panjang dari Sibaganding, Simalungun, Sumatera Utara. Ia  jadi korban tabrak lari pengemudi mobil yang menuju obyek wisata Parapat. Tangan kanan primata usia tiga tahun ini cacat. Kala itu,  Puntung bersama kawan-kawannya sedang mengemis di pinggir jalan.

Setiap hari satwa liar primata dari monyet, beruk, dan si amang mengemis makanan di wisata Sibaganding. Ada saja primata jadi korban tabrak lari, alami luka, cacat, bahkan kematian akibat ulah orang-orang yang tak bertanggung jawab.

Na.. eee.. naa.. eee..”, teriak seorang pria kepada kawanan primata sambil membawa setandan pisang.

Di tengah hutan yang makin terdesak, seorang pria bertekad kuat melindungi satwa liar di Sibaganding. Rahman Manik, namanya. Dia mengambil tugas ayahnya, Umar Manik, yang meninggal pada 2019, untuk melindungi primata liar.

“Mereka itu sudah seperti saudara saya sendiri. Saya sedih ketika mereka berada di jalan mengemis makan. Bukan hanya berbahaya bagi mereka juga pengendara yang melintas,”  katanya.

Manik cerita, awal mula ayahnya marah pada monyet-monyet yang merusak lahan pertaniannya dan berniat meracuni para satwa liar itu. Konon menurut cerita sang ayah, sosok perempuan berbadan bungkuk muncul dalam mimpi dan memberikan pesan agar Umar Manik merawat primata dengan terompet dari taduk kerbau jantan.

Suara terompet tanduk kerbau ini memanggil para kawanan monyet untuk makan.

Hutan di Sibaganding tak lagi menyediakan cukup pakan bagi para primata liar ini.  Sejak 2013, Manik memperhatikan lebih 500-an primata liar di daerah ini. Kini, Manik setidaknya menyiapkan minimal 11 tandan pisang setiap hari untuk para primata ini.

 

 

Plang peringatan agar tak memberi makan primata. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Untuk menjaga primata agar tak menyerang manusia, Manik melatih khusus mereka. Usahanya diakui Badan Lingkungan Hidup Aek Nauli. Dia pun jadi film dokumenter “Parherek” dan masuk nominasi Festival Film Indonesia. Meskipun tak menang penghargaan, Manik merasa terhormat atas pengakuan yang dia terima.

Dalam kisah yang penuh perjuangan ini, Manik tak hanya menjalankan tugas sebagai perawat satwa liar, juga pelindung.

Dia berharap, dapat terus melindungi para primata liar dan memberikan kesadaran pada masyarakat betapa penting keberadaan mereka di tengah hutan yang makin menipis.

Ketika para pengunjung datang, Manik memanggil para primata dengan meniup terompet khusus dari tanduk kerbau. Para pengunjung dapat memberi makanan langsung pisang, kacang, dan jagung kepada para primata dengan biaya Rp100.000.  Dana ini memberikan sedikit bantuan bagi Manik untuk membeli pakan bagi para primata.

Gunawan, wisatawan dari Medan, senang bisa memberi makan para primata di Taman Wisata Kera Sibaganding. Ini kunjungannya kedua ke lokasi wisata yang terletak di Hutan Lindung Aek Nauli, Sibatu Loting, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Simalungun ini.  Dari arah Medan, daerah ini berada sekitar empat kilometer sebelum Danau Toba dari Parapat.

Upaya Manik menjaga primata liar di Sibaganding tak selalu mendapat dukungan para pihak. Ada sebagian orang merasa terganggu dengan keberadaan primata liar yang makin banyak dan sering keluar dari hutan.

Beberapa waktu lalu, Manik mendapat laporan warga sekitar bahwa ada sekelompok orang yang berniat mengusir para primata dari hutan itu. Mereka merasa, primata liar itu merusak tanaman dan mengganggu kehidupan sehari-hari.

Manik prihatin dan langsung berbicara dengan warga sekitar serta berusaha memberikan pemahaman tentang pentingnya menjaga satwa liar di hutan. Dia juga menawarkan cara meredam konflik seperti memberikan pakan kepada primata liar di tempat yang sudah disediakan.

 

Primata di Taman Wisata Kera Sibaganding. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Manik juga aktif memperjuangkan kebijakan agar lebih baik dalam menjaga hutan dan satwa liar. Dia sering berpartisipasi dalam forum-forum diskusi dan kegiatan yang berkaitan dengan pelestarian hutan dan satwa liar di daerahnya.

Dukungan dan pengakuan atas upaya Manik dalam melindungi para primata liar makin meningkat dari berbagai pihak. Beberapa lembaga konservasi dan organisasi lingkungan hidup turut membantu Manik dengan memberikan dukungan finansial dan logistik.

Sutrisno, dari Balai Penerapan Standar Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli (BPSILHK Aek Nauli) mengatakan, sebelum diakui sebagai bagian dari kawasan hutan daerah tertentu (KHDTK) Aek Nauli, Taman Wisata Kera Sibaganding dulu tak terurus dan dikelola pribadi. Fasilitas pendukung dari berbagai pihak tak optimal dan tempat wisata ini kurang terawat.

Manik, katanya, sebelumnya sebagai pawang siamang dan monyet, lalu jadi tenaga kontrak resmi di balai. Langkah ini, katanya,  diharapkan meningkatkan pendapatannya dan memperkuat semangat menjaga maupun mengelola Taman Wisata Kera Sibaganding.

Soal satwa yang berkeliaran di jalan, Sutrisno juga mengaku kewalahan. Pertumbuhan primata sangat cepat, sedang pasokan makanan di dalam hutan sudah minim.

“Para pengendara juga sudah terbiasa memberi makan satwa di pinggir jalan. Bahkan primata sampai mengejar mobil. Padahal, sudah ada plang pengumuman di beberapa titik di dua ruas jalan, tetap saja dilanggar.”

Hingga kini,  belum ada data primata di kawasan hutan itu.

Untuk pakan, BPSILHK sudah pernah tanaman buah di sekitar lokasi, tetapi gagal karena dirusak kawanan primata.

 

Rahman Manik sedang memberi makan primata di Taman Wisata Kera Sibaganding. Foto: tangkapan layar video

 

Wanda Kuswanda, peneliti senior di Pusat Penelitian Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), khawatir monyet dianggap sebagai hama.

Pada 2013, monyet ekor panjang masuk dalam daftar 100 spesies asing invasif terburuk. Namun, populasi mereka menurun karena konflik dengan manusia, perdagangan hewan peliharaan, dan penelitian medis. Selain itu, pandemi COVID-19 meningkatkan permintaan spesies ini untuk pengembangan vaksin.

Pada Maret 2022, Macaca fascicularis dikategori ulang dari rentan jadi terancam dari daftar merah IUCN.  Namun, spesies ini dianggap sebagai hama di beberapa wilayah Indonesia dan menimbulkan kekhawatiran soal konservasi mereka, terutama di Sumatera Utara.

Subspesies  M. fascicularis fascicularis, yang dianggap sebagai hama pemakan tanaman di Sumatera Utara khusus Parapat, Danau Toba, dan  Simalungun. Saat perjalanan dari Medan menuju Parapat, Kuswanda dan tim melihat banyak M. f. fascicularis berkumpul di sepanjang jalan, menunggu makanan dari pengemudi.

“Dari sudut pandang konservasi, ini tidak tepat karena dapat berdampak negatif pada spesies. Mencari makan di sepanjang jalan juga meningkatkan kemungkinan individu bertabrakan dengan kendaraan,” katanya.

Awal 2022, tim Kuswanda menerima laporan tentang monyet  memakan tanaman di desa-desa dekat Parapat, dan masyarakat menganggap sebagai hama. Meskipun belum ada catatan tentang pemburuan atau pembunuhan, konflik meningkat.

“Studi lebih lanjut perlu untuk menilai populasi monyet ekor panjang di beberapa wilayah Indonesia, terutama di Sumatera. Mengingat status terancam spesies ini, perlu studi untuk menentukan penyebab perilaku mencari makan di dekat jalan dan  masuk kebun masyarakat.”

 

 

*******

Exit mobile version