Mongabay.co.id

Pura Hutan Desa Tigawasa

 

 

 

 

Sembilan pura di sembilan penjuru mata angin membentengi Desa Tigawasa, Bali. Uniknya, pura-pura ini tak ada bangunan fisik, tetapi berupa hutan bertutupan rapat.

Umumnya, satu pura di Bali adalah bangunan arsitektur tradisional dengan ukiran dan ornamen yang dibangun megah. Biasanya ada tembok penyengker dari batu alam atau batu atau batu bata, beberapa tugu, halaman rumput, pohon peneduh, dan bale kulkul.

Berbeda dengan pura di Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng,   Bali ini. Mereka memiliki sembilan pura tanpa bengunan fisik itu. Ia hanya hamparan hutan yang tak boleh dimasuki sembarangan, mengalirkan air limbah, dan menjadikan kawasan suci yang sakral.

Bersama sejumlah anak muda desa ini, saya memasuki satu pura dari sisi terluar. Secara fisik, tak ada bangunan dari batu atau tugu. Hanya beberapa plapah, sepotong bambu dengan penyangga tempat sesajen yang diletakkan di sebuah pohon. Plapah inilah tempat menaruh sesajen ketika warga desa melakukan persembahyangan pada suatu waktu yang disepakati.

Hal lain yang nampak adalah pancuran dengan air jernih dari sela-sela pepohonan. Di air pancuran inilah warga mendapat tirta atau air suci untuk persembahyangan. Suasana terasa sangat hening, kupu-kupu dan capung mengitari kolom air.

 

pancuran untuk air suci dan warga tak boleh mandi di sini. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Awig-awig, peraturan adat tertulis Desa Adat Tigawasa mencatat ada sembilan pura yang berupa hutan dan sangat disakralkan itu. Ia adalah Pura Bolong, Pura Pendem, Pura Pengubengan. Lainnya, Pura Pemantenan, Pura Baung, Pura Batu Aya, Pura Kayehan Sanghyang Utawi Pancuhan, Pura Pememan, serta Munduk Taulan.

I Ketut Wismaya, warga yang memiliki lahan berbatasan dengan Pura Baung meyakini pura hutan ini karena keyakinan pada widhi pertiwi, kekuatan Tuhan tak membuat bangunan tugu (pelinggih). Saat hari perayaan atau piodalan, warga bersembahyang dengan bantuan plapah bambu.

Menurut dia, makna sembilan pura sesuai arah mata angin, letak pun tersebar di ujung-ujung desa dekat perbatasan. “Ada keyakinan ada arga penjaganya namun tidak kasat mata. Jika dilanggar ada konsekuensi tak hanya orang itu juga keluarganya,” katanya.

Untuk menjaga kesucian pura hutan ini, warga memiliki peraturan tak tertulis. Misal, tidak boleh ada pembuangan limbah mengarah ke pura seperi air kamar mandi dan limbah domestik lain.

“Nanti ada kesakitan jika air tercampur harus ngeluku, minta maaf pada duwe (penunggu) pura. Tidak boleh berburu mungkin peliharaan duwe hutan,” kata Wismaya.

 

Anyaman bambu tempat menaruh sesajen saat persembahyangan. Foto: Lus Ge Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Warga yang sedang berduka seperti ada kematian, istilahnya cuntaka, tidak boleh masuk bersembahyang. Warga juga tak boleh mandi di sekitar pura. Ada tempat lain di luar kawasan untuk pemandian publik.

Debit air di beberapa pancuran dalam pura tidak pernah berkurang walau kemarau karena hutan lestari. Aktivitas lain,  seperti memotong kayu, juga dilarang keras. Air yang boleh dimanfaatkan hanya yang mengalir di luar kawasan pura.

Warga lain yang memiliki lahan berdampingan dengan areal pura ini tidak berani melakukan pembangunan fisik. Lahan dibiarkan dengan tanaman bambu, cengkih, dan lain-lain.

Jenis tanaman yang terlihat di sekitar hutan adalah beringin, bambu, dan aren. Ketiga jenis tanaman ini bisa menjaga cadangan air.

I Gede Guntur Juniarta, anak muda penggerak desa ini khawatir penurunan rumpun bambu karena warga mulai banyak menanam cengkih.

Di desa-desa dataran tinggi Bali utara ini, pohon cengkih jadi salah satu tanaman andalan. Perbukitan tampak seragam dengan hamparan pohon yang mengonsumsi banyak air ini.

“Karena dilihat nilai panennya. Buah juga bisa disimpan dalam waktu lama. Tiga tahun ini harga cengkih turun,” sebut Guntur.

 

pura berupa hutan di Desa Tigawasa. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Dia mengampanyekan pelestarian hutan bambu kembali dengan membuat tur edukasi bambu dan mengembangkan aneka kerajinan anyaman hasil olahan bambu lewat Mai Kubu.

Jenis yang banyak ditanam di desa ini adalah bambu buluh dengan ruas panjang cocok untuk anyaman. Dari pengamatan dan cerita orang tua, rumpun bambu akan bisa jauh lebih tinggi dan lurus jika ada pohon besar di sekitarnya. Karena rumpun bambu bisa bersender ke batang dan dahan pohon itu. Ruas antara buku-bukunya pun dinilai jadi lebih panjang, bisa sampai lebih satu meter.

Ia jadi pengetahuan konservasi lain agar kebun bambu juga tak monokultur. Pohon besar seperti aren, beringin, dan sejenisnya ini selain menjaga keberagaman tanaman dan menyimpan air, juga memberi keuntungan untuk pertumbuhan bambu.

Keberadaan sembilan pura dalam wujud hutan ini dinilai sangat penting menjaga pasokan air. Masyarakat juga kerap kesulitan air saat debit pancuran di sumber air menurun, terutama saat kemarau. Warga harus antri ember atau jerigen, dan menunggu seharian di pancuran untuk mendapat air. Bahkan tak jarang membeli air tangki seharga Rp 120.000-Rp150.000  per truk.

Ada beberapa sumber air bersih juga jadi pemanduan umum di Tigawasa, antara lain, Sumuh dan Pancuh. Keduanya sangat berarti bagi warga karena pemipaan air bersih ke rumah-rumah penduduk sangat terbatas. Topografi desa dengan kemiringannya menyulitkan infrastruktur air bersih. Di pancuran Pancuh, Guntur menunjukkan villa yang bisa menarik air dan membuat tangki air.

Saat dikunjungi pada 7 Mei 2023, pancuran ini terlihat mengeluarkan air deras dari tangki-tangki yang dibangun untuk menampung guyuran air di tebingnya. Hingga tengah tahun ini masih kerap hujan, karena peralihan dari musim hujan ke kemarau di Bali.

Ada empat pacuran dengan air terus mengalir menuju tebing dan sungai di bawahnya. Air bersih yang tak terpakai ini sangat berarti ketika antrian jerigen berderet saat debit air menurun dan tidak bisa ditarik ke rumah penduduk.

 

 

*******

Exit mobile version