Mongabay.co.id

Beralih ke Beras, Sagu Halmahera Terus Tergerus

 

 

 

 

Djena Abas, warga Desa Samo,  Halmahera Selatan,  Maluku Utara , mau masak untuk makan siang hari itu.

Dia hanya punya beras beli di pedagang desa setiap bulan. Bahan makanan  lain seperti sagu  sudah lama tak tersedia di rumah.

”Kalau pisang nanti ke kebun baru bisa ambil. Sagu sudah   jarang dikonsumsi,” katanya.

Sehari-hari Djena memasak nasi. Masyarakat di sana sudah beralih dari  pangan seperti sagu dan pisang ke beras.

Sebenarnya, Djena bosan setiap hari hanya makan nasi. Apa daya, di kampung itu sudah jarang mengolah sagu.

“Sekarang,  sudah  jarang makan sagu  karena   jarang yang mengolah pokok sagu.   Cari sagu itu susah seperti  cari beras atau  nasi awal 1980-an,” katanya.

Dulu,  mereka makan nasi seminggu sekali. Sekarang terbalik. Makan sagu seminggu bahkan sebulan sekali bahkan kadang tidak sama sekali.

Cerita makin sedikit warga  mengkonsumsi sagu  terjadi   di hampir semua  kampung di pesisir Halmahera Selatan.

Muhammad Abdurahman,  warga Desa  Samo juga bercerita, dulu mengolah sagu untuk konsumsi. “Kita olah sagu dengan dipukul dengan alat tradisional dari bambu. Warga kampung menyebutnya ngongalo.”

Sehari usai sagu ditebang belum bisa diolah jadi tepung. Perlu berbagai kesiapan, terutama tempat pemerasan sagu.

“Waktunya paling cepat tiga hari bahkan seminggu baru bisa hasilkan tepung sagu.  Jika  air hasil peremasan  sagu ke penampungan itu sudah siap jadi tepung   bisa langsung  diambil  dan diolah jadi beberapa jenis makanan,” katanya.

 

Sinyole salah satu oenganan dari sagu yang disangrai. Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Praktik itu kini tinggal kenangan. Muhammad tidak lagi olah sagu karena usia sudah 67 tahun. Dia tak mampu lagi olah batang sagu dengan dipukul.

Di rumahnya  juga sudah tak ada tepung sagu. Gantinya,  mereka  beli beras. Anak-anaknya, kata Muhammad,   tak ada yang bisa  mengolah batang sagu. Mereka memilih berkebun menanam kelapa, pala  cengkih atau ada juga   kerja serabutan.

“Dulu di dapur pasti selalu ada sagu satu dua tumang (penampung  sagu yang dijahit dari daun rumbia) dipersiapkan sebagai makanan pokok. Sekarang, sudah tidak ada lagi. Memilih cara mudah membeli beras  di toko.”

Selain itu, katanya, batang sagu pun makin berkurang. Setelah  banyak pengalihan kawasan  sagu jadi perkebunan kelapa, pala maupun cengkih maupun pemukiman.

Risman Buamona dalam buku “Catatan Belajar Kampung di Halmahera Timur”  menulis,  Pulau Halmahera adalah sumber pangan utama masa lampau. Lembah-lembah tersubur pulau ini jadi ruang hidup tanaman pangan bagi penduduk Halmahera dan sekitar, terutama  hutan sagu.

Sagu sebelum dibudidayakan penduduk, tumbuh di daerah-daerah berawa. Dalam risetnya, di Halmahera Timur, dusun-dusun sagu komunal berada beberapa di lembah luas seperti Lembah Subaim dan Maba.

Ironisnya, kedua lembah itu telah beralihfungsi. Dusun sagu di Lembah Maba jadi perkantoran Pemerintah Halmahera Timur sejak wilayah itu jadi ibukota kabupaten awal 2000.

Sedang di Lembah Subaim, sudah jadi kawasan transmigrasi lebih 30 tahun silam.

Risman melihat, pengetahuan dan cara mengolah sagu merupakan bentuk paling nyata hubungan manusia dengan alam.

Dia juga menggambarkan proses mengolah sagu yang diawali dari pengecekan tanaman tua untuk mengetahui batang sagu yang bisa menghasilkan banyak pati sagu. Pengetahuan masyarakat tentang sagu sudah turun temurun.

 

Sagu yang diolah secara tradisional oleh para petani. Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Riset Karmila Ibrahim dan Gunawan Hartono,  dosen   Fakultas Pertanian Universitas Khairun Ternate pada 2015 di Halmahera Barat menganalisis dampak kebijakan  konversi lahan sagu sebagai upaya mendukung program pengembangan padi sawah.

Dari riset itu memperlihatkan, perkebunan sagu di Halmahera Barat  itu tumbuh liar alias alami. Karena itu,  penguasaan lahan  dan pemanfaatan secara komunal atau  bersama sama.

“Sagu memiliki peranan sosial,  ekonomi dan ekologis yang cukup penting bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia Timur terutama di Halmahera Barat.   Dulunya secara kultural masyarakat mengkonsumsi sagu sebagai bahan makanan pokok secara turun temurun,” tulis keduanya.

Sayangnya, sagu berhadapan dengan kebijakan pemerintah yang mengkonversi lahan awal 2000-an dari sagu ke tanam padi.

Pada 2003, ada program pemerintah berhubungan dengan perencanaan pembangunan pertanian nasional  yaitu upaya ketersediaan pangan melalui pengelolaan dan  pengembangan padi sawah.  Hutan sagu di Halmahera Barat mulai berubah. Program  mulai berjalan pada 2006  dengan target pencetakan sawah  5.000 hektar, awal mulai 174 hektar.

Data Dinas Pertanian Halmahera Barat 2014 menunjukkan, lahan sagu terkonversi ada di enam kecamatan yakni Jailolo, Jailolo Selatan,  Sahu, Sahu Timur,  Ibu Selatan dan Kecamatan Ibu,  seluas 174 hektar.

 

Pengolahan tepung sagu, yang mulai jarang di Halmahera. Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Di Halmahera Utara, alih fungsi lahan sagu menjadi pemukiman penduduk mencapai 300 hektar. “Terjadi hampir di sepanjang Teluk Kao dan Malifut,” kata Kuad Suwarno,  dosen Fakultas Pertanian Universitas Khairun Ternate.

Hasil penelitian Fakultas Pertanian Universitas Khairun, Ternate, pada 2016, menyebutkan, tenaga kerja pengelola sagu terbanyak usia 40-53 tahun atau 41,86%, diikuti usia 54-67 tahun (36,5%). Pekerja usia 26-39 tahun hanya 22,09%.

Berbeda dengan pengelola atau pekerja sumber pangan lain seperti beras yang mencapai 16.584 rumah tangga atau sekitar enam kali lipat dari pengelola sagu di Maluku Utara.

Laporan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian 2015-2017, luas lahan sagu Maluku Utara– perkebunan rakyat–mencapai 3.645 hektar dengan produksi 1.403 ton per tahun.

Menurut Kuad, penurunan minat masyarakat jadi pengolah sagu juga dipengaruhi proses memanen yang sulit dan perlu waktu lama.

“Setidaknya perlu tujuh hari dari menebang, memotong batang sagu, membersihkan, mengupas, memarut dan menyaring pati sagu.”

 

Proses peremasasn pokok sagu oleh para petani di samo Hakmahera Selatan. Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version