Mongabay.co.id

Cerita Akses Air Bersih di Kota Malang

 

 

 

 

 

Gak ada sumur (di) sini, tidak bisa, langsung pipa dari atas. Ada tandon-tandon itu kan. Itu diolah,” kata Dedi Ratnoyo, warga Desa Wonorejo, Kecamatan Lawang, Malang, Jawa Timur.

Dedi mendapatkan air dari sumber mata air di lereng Gunung Arjuno. Ada tandon besar di sana yang didistribusikan ke pelosok Desa Wonorejo.

Hanya saja, kualitas air yang sampai ke masyarakat terkadang tidak jernih, terutama di musim hujan, air kotor, kadang berwarna merah.

“Kalau musim hujan itu yang kotor airnya, gak bisa bersih … kalau musim terang ini ya bersih,” katanya pada Mongabay, Maret lalu.

Meski begitu, kata Dedi, akses air yang dia dapatkan saat ini sudah terbilang mewah karena saluran air langsung menuju ke rumah.

Untuk mandi,  dulu warga harus pergi ke sumber air, kini tidak lagi.  Biaya yang keluarganya keluarkan untuk air Rp30.000-Rp50.000, tidak menentu, tergantung pemakaian dalam setiap bulan.

Mustaqim, Sekretaris Pemerintah Desa Wonorejo, mengatakan, air berwarna kemerahan karena banyak tanah.

“Itu biasa, ketika kita dapat satu tampungan, di tampungan itu ada tandon pengendapan, terus tandon pengaliran. Cuma kalau pas musim hujan, ini yang airnya keruh,” kata Mustaqim.

Di pusat penampungan ada empat tandon air.

 

Proses pengurasan sedimen tanah oleh mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang. Foto: Dokumen Panitia Sanitafest FT UB

 

Semua warga desa sudah mendapatkan akses air. Suplai air mencukupi saat musim hujan, bila musim kemarau tak cukup karena sumber air mengering. Saat sumber air mengering, setiap keluarga dijatah untuk mendapatkan air bergilir.

Ada empat sumber mata air utama  di lereng Gunung Arjuno yang jadi pemasok air ke kampung-kampung di Desa Wonogiri. Sumber mata air itu berjarak sekitar lima kilometer dari kampung-kampung di desa itu.

Untuk distribusi air, pemipaan ke setiap pelosok desa sudah selesai. Dulu,  katanya, kendala pemipaan di masalah keuangan, biaya operasional kurang. Ada sekitar 2.000 keluarga terbagi dalam enam dusun di Desa Wonorejo. Tagihan air Rp500 per meter kubik.

“Cuma yang terpenting proses penjernihan air yang belum,” kata Mustaqim.

Saat ini,  Pemerintah Desa Wonogiri mendapatkan bantuan dana Pemerintah Jawa Timur untuk pengeboran air. Bor ini untuk mengantisipasi kekeringan saat kemarau.

Sekelompok mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya, Malang, pasang filter air di penampungan air di Desa Wonogiri. Mereka juga menanam pohon pada 22 Maret lalu sekaligus memperingati Hari Air se Dunia.

 

empat penampungan air milik pemerintah desa Wonorejo. Foto: Dokumen Panitia Sanitafest FT UB

 

Moh Zidan, Ketua Pelaksana Program mengatakan, mereka mencari daerah yang punya masalah dengan air bersih dan sanitasi. Setelah  mendapatkan informasi masalah air di  Wonorejo, mereka memutuskan untuk pengabdian di sana.

Di penampungan air bervolume 4x8x4 meter di desa itu tak ada sistem penyaringan (filterasi) sama sekali.

“Dari situ kita menginisiasi ada filter air. Filter air dipasang di tempat penampungan air,” kata Zidan.

Sebelum pemasangan filter, mereka menguras sedimen terlebih dahulu di tempat penampungan air selama empat hari. Sejak 2019,  tempat penampungan itu tak pernah dikuras hingga ada sedimen setebal empat meter.

Pada 19 Maret, filter selesai dipasang,  hasil pun sudah terlihat jernih dan langsung bisa digunakan.

“Cuma kita yang belum menemukan solusinya berkaitan sama bau tanah dari airnya. Kalau air sudah jernih, masih ada bau tanah.”

Mereka akan melakukan pengecekan berkala dan evaluasi satu dua bulan ke depan,  tak langsung ditinggalkan begitu saja.  Sekaligus mencari inovasi baru supaya air di sana tak bau tanah lagi. Mereka menghabiskan dana sekitar Rp30 juta untuk pemasangan filter.

Selebihnya,  kata Zidan, dari waktu yang direncanakan perawatan diserahkan ke pihak desa. Bila perawatan baik, filter itu bisa bertahan lebih lama. Kalau tidak terawat, paling lama 12 bulan.  Untuk itu, harus ada teknisi yang mengurusnya.

“Untuk perawatan dari nilai guna alat-alat itu sekitar 10 bulan sampai 12 bulan tanpa dikuras.”

Mustaqim, Sekretaris Pemerintah Desa Wonorejo bilang,  program dari para mahasiswa ini sangat membantu penyaringan air di desanya.

 

Sungai di Malang.Hari demi hari, debit air di sungai-sungai di Malang, mulai berkurang. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Antisipasi krisis air

Eka Wahyu Setyawan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur mengatakan, Kota Malang sangat bergantung pada Kabupaten Malang dan Kota Batu untuk memenuhi kebutuhan air minum.

Kabupaten Malang, katanya, punya beberapa titik sumber mata air seperti di Kecamatan Karangploso, Pakis, Tumpang dan Lawang. Beberapa sumber mata air itu mulai mengalami penurunan debit.

Masyarakat Malang, katanya,  sejauh ini mendapatkan akses layanan air PDAM ataupun dari pemerintah desa.

“Ada beberapa pernah berkonflik seperti kejadian di Sumber Pitu, , terjadi rebutan sumber antara warga dengan PDAM Kota Malang. Ada sumber mata air di Kabupaten Malang terutama di wilayah Tumpang dan Karangploso yang eksklusif disedot untuk memenuhi kebutuhan perumahan elite, imbasnya warga kesusahan dapatkan air,” kata Wahyu pada Mongabay, awal Mei.

Di Kota Batu,  sumber mata air juga mengalami penurunan besar baik kuantitas dan kualitas, katanya, salah satu penyebab itu perhotelan maupun obyek wisata yang gunakan banyak air.

Wahyu bilang,  Indonesia mulai mengalami kekurangan air bersih, antara lain terlihat dari sungai-sungai besar tercemar.

Di Jawa, katanya, sebagian besar sungai tercemar. Dia contohkan, Citarum, Ciliwung, Bengawan Solo dan Brantas. “Dari hulu ke hilir tercemar. Hampir tujuh puluh persen warga di Pulau Jawa mengakses air tercemar.”

Sebagian lagi, kata Wahyu, sumber mata air di Jawa mulai mengalami penurunan debit, antara lain karena alih fungsi kawasan, eksploitasi korporasi air minum, pariwisata hingga pertambangan dan lain-lain.

“Artinya, kita dalam situasi krisis menuju kelangkaan mata air dan sumber air, mulai dari hulu hingga hilir.”

 

Sungai di Jawa, banyak tercemar, antara lain di Kali Surabaya ini. Foto: Ecoton

 

Ancaman keberlanjutan sumber air bersih juga bisa disebabkan karena kebijakan pemerintah. “Seperti penetapan kawasan wisata dan industri pada area yang seharusnya tak boleh dieksploitasi, tak transparan informasi mengenai sumber mata air atau aktivitas sosial ekonomi yang akan dibangun.”

Masyarakat pun, kata Wahyu, jarang dilibatkan aktif dalam pembuatan kebijakan tentang air. Aturan yang tak berpihak kepada masyarakat dan keberlanjutan sumber mata air sama dengan mempertaruhkan masa depan manusia.

Menurut Wahyu, untuk menjaga sumber mata air supaya bisa berkelanjutan, setidaknya perlu perhatikan tiga hal.

Pertama, perencanaan tata ruang dan tata wilayah harus melindungi kawasan hulu. Mata air dan ruang terbuka wilayah tangkapan air, katanya, tak jadi peruntukan lain yang dapat mengubah bentuk permukaan lahan (geomorfologi).

Kedua, rehabilitasi dan proteksi vegetasi sekitar sumber mata air sebagai zona resap dan catchment untuk tetap menjaga debit dan kualitas mata air.

Ketiga, pengelolaan mata air yang partisipatif dan transparan dengan melibatkan banyak pihak karena banyak kejadian tak transparan dan tak partisipatif.  Kondisi ini, katanya, menyebabkan, alih fungsi mata air, ujung-ujungnya terjadi konflik warga karena ada hak mereka terampas.

 

Ilustrasi. Air sungai nan jernih dari sumber air bersih warga sekitar. Dok. Mapala Siginjai Unja

 

*******

Exit mobile version