- Mengaktifkan ekonomi masyarakat lokal di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) menjadi mimpi yang diharapkan bisa terwujud. Mimpi tersebut akan dimulai 2023 ini melalui kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota
- Untuk mewujudkan masyarakat mencapai kesejahteraan ekonomi, maka kebijakan PIT harus didukung penuh dengan kebijakan pemberantasan dan pencegahan praktik penangkapan ikan dengan ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar aturan (IUUF)
- Salah satu pengendali praktik IUUF, adalah pelabuhan perikanan yang berperan penting sebagai tempat untuk menurunkan hasil tangkapan dari kapal perikanan yang beroperasi di WPPNRI. Pelabuhan menjadi penting, karena PIT mewajibkan semua kapal ikan menurunkan tangkapannya di sana
- Di saat yang sama, kebijakan pelabuhan sebagai pengendali IUUF juga bisa bersinergi dengan kesepakatan negara pelabuhan (PSMA) yang salah satunya memiliki tujuan serupa. Diharapkan, PSMA akan mendorong PIT semakin efektif dan efisien
Komitmen negara pelabuhan yang sudah melaksanakan pertemuan dua tahunan di Bali, memang patut diapresiasi oleh banyak pihak. Kegiatan yang digelar pekan ini tersebut menegaskan semua negara anggota akan memperkuat peran pelabuhan untuk tata kelola perikanan yang baik dan transparan.
Indonesia sebagai tuan rumah, juga tak ketinggalan untuk menegaskan bahwa pelabuhan akan menjadi titik sentral untuk mencegah kegiatan penangkapan ikan dengan cara ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar peraturan (IUUF).
Itu kenapa, kesepakatan negara pelabuhan (the Port State Measure Agreement/PSMA) menjadi bagian penting bagi Indonesia. Terutama, karena saat ini sedang disiapkan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menerangkan, penerapan PIT akan berjalan selaras dengan perjanjian PSMA yang diinisiasi oleh Organisasi Pangan dan Agrikultur Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) sejak 2009.
Selain mencegah dan mengatasi persoalan IUUF, penerapan PIT juga diyakini dia akan bisa mewujudkan terlaksananya praktik penangkapan ikan yang bertanggung jawab. Hal itu, karena PIT mengatur penangkapan ikan dengan laut dalam sistem kuota dan zonasi.
“Tujuannya adalah untuk menghindari jumlah tangkapan yang berlebih,” ucap dia.
baca : Komitmen Negara Pelabuhan untuk Menghentikan Praktik IUU Fishing
Pengendali Pelabuhan
Agar fungsi pencegahan untuk IUUF dan praktik perikanan bertanggung jawab yang lestari bisa berjalan baik, implementasi kebijakan ini pun didukung infrastruktur teknologi satelit serta patroli langsung oleh kapal pengawas di laut, dan pesawat air surveillance.
Dengan fokus pada keberlanjutan sumber daya ikan (SDI) dan kelestarian ekosistem yang ada di laut, penerapan PIT juga akan menjadikan pelabuhan perikanan sebagai titik sentral untuk mengendalikan aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan kapal-kapal perikanan dari seluruh negeri.
Peran penting dari pelabuhan saat PIT dijalankan, akan menegaskan pelabuhan perikanan sebagai satelit ekonomi baru di wilayah pesisir, khususnya yang ada di bagian Timur Indonesia. Keyakinan itu muncul, karena kebijakan PIT mewajibkan kapal penangkap ikan harus mendaratkan hasil tangkapan di pelabuhan perikanan sekitar lokasi operasi.
Aturan tersebut menjadikan semua kapal perikanan yang melaksanakan kegiatan penangkapan ikan tidak boleh lagi membawa hasil tangkapannya ke pulau Jawa, seperti yang selama ini sudah berjalan. Selain itu, setiap kapal juga wajib melaporkan secara transparan dan mandiri seluruh hasil tangkapan.
Tegasnya, Indonesia berkomitmen untuk menciptakan laut yang sehat dan berkelanjutan, meniadakan praktik IUUF, dan mengintensifkan penegakan hukum. Hal itu dilakukan, karena banyak penduduk Indonesia bergantung pada sumber daya laut sebagai mata pencaharian dan untuk memenuhi kebutuhan proteinnya.
baca juga : Lika Liku Penangkapan Ikan Terukur
Direktur Jenderal FAO Qu Dongyu pada kesempatan sama memberikan apresiasinya kepada semua negara yang sudah menerapkan kebijakan PSMA sebagai bagian dari upaya untuk memberantas dan mencegah IUUF.
Dia menyebut, kebijakan PSMA bisa mendukung transformasi perikanan yang berkelanjutan di seluruh dunia. Namun, sampai saat ini baru 101 negara yang sudah mengikuti PSMA dan menerapkannya di pelabuhan perikanan negara masing-masing.
Melalui kegiatan tahunan yang digelar di Bali, dia berharap semakin banyak negara di dunia yang menerapkan kebijakan PSMA. Terlebih, karena PSMA sudah menjadi salah satu dari tiga instrumen perikanan internasional yang paling mengikat.
Selain untuk kampanye pemberantasan dan pencegahan IUUF, diakuinya kalau pertemuan di Bali juga menjadi momen untuk sama-sama meningkatkan efektivitas perjanjian, dan sistem pertukaran informasi global PSMA.
“Upaya kolektif kita akan membentuk masa depan perikanan global kita – masa depan yang biru dan lebih sehat dengan produksi yang lebih baik, nutrisi yang lebih baik, lingkungan yang lebih baik, dan kehidupan yang lebih baik untuk semua,” ujarnya.
Pada pertemuan yang berlangsung dari 8 hingga 12 Mei 2023 itu, dibahas sejumlah isu penting seperti status perjanjian FAO 2009 tentang Tindakan Negara Pelabuhan (PSMA), dan pertukaran data dan informasi perikanan masing negara peserta dalam mempersempit ruang gerak IUU Fishing.
Qu Dongyu juga menyebut kalau penangkapan ikan ilegal menjadi ancaman terhadap konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya dan ekosistem laut, dan mata pencaharian 600 juta orang yang bergantung padanya.
Dia yakin kalau perikanan tangkap dan akuakultur berkelanjutan juga memiliki potensi besar untuk memberi makan dan menyehatkan populasi dunia yang terus bertambah. Untuk itu, PSMA bisa mendukung transformasi perikanan berkelanjutan di seluruh dunia.
baca juga : Nelayan Kecil di Pusaran Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur
Sebagai salah satu negara anggota FAO, Indonesia melaksanakan ratifikasi kebijakan PSMA pada 2016, atau tujuh tahun sejak ditetapkan FAO. Ratifikasi tersebut menjadi langkah awal Pemerintah untuk menerapkan kebijakan PSM di pelabuhan perikanan dan umum.
Saat melaksanakan ratifikasi, diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2016 tentang Pengesahan Agreement On Port State Measures To Prevent, Deter, And Eliminate Illegal, Unreported, And Unregulated Fishing (Persetujuan Tentang Ketentuan Negara Pelabuhan Untuk Mencegah, Menghalangi, Dan Memberantas Penangkapan Ikan Yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, Dan Tidak Diatur).
Di sisi lain, walau PIT diklaim oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai kebijakan bagus dan bermanfaat untuk semua pihak, juga selaras dengan PSMA. Namun Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menilai bahwa kebijakan itu tidak baik.
Menurut Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin, Pemerintah Indonesia seharusnya mendorong kebijakan perikanan yang berorientasi pada pemulihan SDI, dan bukan sebaliknya.
Pernyataan itu keluar, karena Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan terukur secara tegas memberikan kemudahan kepada para pelaku usaha dengan skala besar untuk mengeksploitasi SDI tanpa batas.
Hal itu bertentangan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 19 Tahun 2022 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Sementara, status SDI di Indonesia berada pada kondisi fully exploited dan over exploited.
Pada saat yang sama, Pemerintah Indonesia justru tidak memiliki stock assessment per jenis ikan secara lebih detail. Hanya stock assessment per kelompok ikan yang dipublikasikan setiap lima tahun sekali yang saat ini dimiliki Pemerintah.
“Bagaimana mengontrol dan mengetahui jumlah stok perikanan pasca penangkapan dengan sistem kuota setiap tahun?” tanya dia.
baca juga : Penangkapan Ikan Terukur, untuk Nelayan Kecil atau Pelaku Usaha?
Tanpa ada penilaian stok ikan, maka apakah stok masih berstatus aman atau sudah mengalami kejenuhan. Kondisi tersebut akan memperburuk situasi jika kebijakan PIT jadi diterapkan oleh Pemerintah Indonesia.
Parid Ridwanuddin menambahkan, alasan berikutnya kenapa PIT bukan kebijakan yang baik, adalah karena jumlah nelayan di Indonesia terus mengalami penurunan secara signifikan. Penurunan itu berkaitan dengan penangkapan ikan yang sangat masif oleh industri skala besar, dan dampak fenomena perubahan iklim.
Alasan berikutnya, Pemerintah seharusnya melaksanakan mandat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Namun, walau belum menjalankan amanat tersebut, Pemerintah justru menerbitkan kebijakan PIT.
Akibat adanya sikap lalai tersebut, PIT diyakini akan mendorong terwujudnya perampasan ruang laut (ocean grabbing) yang akan berdampak negatif pada keberlanjutan sumber daya laut dan kehidupan masyarakat yang selama ini bergantung pada laut.
Dia menyebut kalau aktor utama dari pelaku perampasan ruang laut itu, tidak lain adalah Pemerintah, lembaga di tingkat regional dan atau internasional, organisasi lingkungan internasional, perusahaan skala besar, dan yayasan filantropi.
“Pemerintah dapat disebut sebagai aktor atau perantara utama yang mengalokasikan bagaimana, untuk tujuan apa, dan oleh siapa, wilayah laut maupun lahan dapat digunakan,” pungkas dia.