Mongabay.co.id

Mengagumkan, Begini Cara Suku Maya Manfaatkan Air

Pirámide de los Cinco Pisos yang merupakan piramida 5 lantai setinggi 31 meter buatan Bangsa Maya, berlokasi Great Plaza. Kredit foto: Nick Evans via The Phys.org

 

 

Suku Maya dikenal memiliki peradaban tinggi di zamannya. Banyak bukti memperlihatkan pencapaian mereka yang mengagumkan, terutama dalam bidang arsitektur, astronomi, matematika, pertanian, juga tata kelola air.

Mereka mendiami kawasan dengan bentang alam berbeda. Dari dataran tinggi sampai dataran rendah. Mulai dari hutan hujan tropis, karst, lingkungan gersang, hingga pantai. Kondisi alam beragam ini melahirkan adaptasi berbeda pula. Terutama, terkait pengelolaan air untuk menunjang pertanian dan memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.

Wilayah mereka dikelilingi Laut Karibia di timur, Teluk Meksiko di utara dan Samudera Pasifik di barat dan selatan. Dataran tinggi terletak di selatan, sementara dataran rendah di utara. Di kawasan ini pula ditemukan bangunan peninggalan puncak peradaban Suku Maya berupa piramid, bendungan, kolam, dan kanal air.

Meski peradaban Suku Maya dinyatakan telah runtuh pada 800 hingga 1000 Masehi, namun masyarakat Maya masih ada dan mendiami wilayah Mesoamerika, khususnya di selatan Meksiko, Guatemala, Belize, El Salvador, Honduras, dan Nikaragua. Jumlahnya sekitar delapan juta jiwa. Sebagian dari mereka melanjutkan cara bertani dan mencari ikan seperti yang dilakukan leluhurnya.

Baca: Lumpur di Danau Ini Mengungkap Misteri Runtuhnya Peradaban Suku Maya

 

Pirámide de los Cinco Pisos yang merupakan piramida 5 lantai setinggi 31 meter buatan Suku Maya, berlokasi Great Plaza. Foto: Nick Evans via The Phys.org

 

Diane Davies, seorang arkeolog asal Inggris yang mengkhususkan pada warisan Suku Maya menyebutkan, Maya kini juga masih suka menggunakan bangunan peninggalan leluhur mereka. Selain alasan pragmatis, Maya moderen melakukannya karena bisa menghemat waktu, energi, dan sumber daya.

Peradaban Suku Maya bisa dirunut ketika leluhur mereka meninggalkan praktik berburu dan mulai bertani sekitar 2000 Sebelum Masehi. Jagung menjadi tanaman utama yang masih dipraktikkan hingga kini. Untuk menyiasati keadaan alam yang berbeda, mereka menerapkan beberapa cara dalam bertani.

Di hutan hujan, mereka menggunakan pola pertanian berpindah. Suku Maya membuka hutan untuk ditanami kemudian ditinggal setelah panen dan dibiarkan menjadi hutan kembali. Di kawasan pegunungan, mereka memakai sistem terasering seperti yang dikenal pada sekarang ini.

Sementara di dataran rendah, Suku Maya membuat tanggul dari lumpur yang diletakkan di atas anyaman alang-alang. Kanal-kanal juga dibangun untuk mengalirkan air ke permukiman dan pertanian.

“Suku Maya menciptakan akuakultur ekologis multi-trophic dengan mengubah bentang air untuk meningkatkan jumlah makanan dan bahan yang bermanfaat, seperti ikan, kura-kura, unggas air, dan alang-alang,” tulisnya Joel W Palka, dalam laporan di jurnal Ancient Mesoamerika, 2023.

Para peneliti sebelumnya menjelaskan bagaimana leluhur Suku Maya bertani, namun sedikit yang menyoroti kemampuan mereka dalam bidang perikanan. Mereka menyulap daratan banjir di sekitar danau dan sungai untuk sumber air dan budidaya ikan. Selain bisa meningkatkan produktivitas pertanian dan perikanan, juga menjaga ketahanan ekosistem alami.

“Meskipun dibuat masa lalu, beberapa kanal berskala besar dan ladang ditinggikan yang dibuat leluhur, masih digunakan untuk menangkap ikan dan bercocok tanam, seperti kanal dan waduk di Edzna, Campeche, dan rawa Pulltrouser di Belize yang semakin membuktikan keberlanjutan ekologisnya,” ungkap Palka.

Baca juga: Mengapa Tidak Ada Jembatan di Sungai Amazon?

 

Danau Chichancanab yang berarti “Laut Kecil” di Yucatec Maya, mencerminkan airnya yang relatif asin, didominasi kalsium dan sulfat. Foto: Mark Brenner via The Phys.org

 

Pentingnya air

Temuan arkeologi, dokumen bersejarah, dan etnografi di seluruh wilayah Maya telah membuktikan pentingnya ikan air tawar bagi Suku Maya selain spesies kura-kura, unggas air, dan moluska. Peradaban Maya kuno juga telah menciptakan alat pengontrol air seperti bendungan dan pintu air untuk mengelola populasi ikan dan pemanenan skala besar. Bahkan, Suku Maya klasik juga mengenal proses pengasinan ikan.

Peneliti menemukan kadar tinggi dari isotop nitrogen yang terdapat pada kolagen tulang leluhur Suku Maya, baik yang berasal dari pedalaman maupun kota-kota dekat sungai besar. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya mengonsumsi ikan dalam jumlah banyak. Kota yang dihuni warga elit pada periode Maya klasik di Palenque, hewan yang dikonsumsi 80 persen adalah akuatik.

Di Mensabak, Chiapas, peninggalan leluhur Suku Maya berupa waduk, kolam, dan kanal pengendali banjir masih bisa disaksikan hingga kini. Sedikitnya, terdapat 23 waduk di sekitar danau yang bisa dilihat dari citra udara.

Palka juga menyajikan bukti dari peneliti lain tentang temuan waduk dan kanal untuk irigasi yang penuh ikan. Bahkan, ada kanal peninggalan leluhur yang masih menjadi tempat memancing hingga kini. Temuan lain memperlihatkan endapan bangunan air yang dipenuhi tulang lele dan spesies cichild, sementara tulang ikan lainnya sulit diidentifikasi.

Dengan membandingkan hasil ikan dari reservoir dataran banjir Amazon sebesar satu ton ikan per hektar, serta budidaya ikan di Asia dan Afrika sebesar 500 hingga 700 kg ikan per hektare, maka diperkirakan hasil yang sama juga didapat dari akuakultur yang dikembangkan Suku Maya ini.

Palka berkesimpulan, selain budidaya tanaman secara insentif, leluhur Suku Maya juga mengandalkan sumber daya perairan dari bentang air yang juga dikelola secara insentif. Suku Maya memanfaatkan sungai, danau, rawa, dan kolam untuk melihara ikan dan hewan lainnya sebagai sumber makanan sehari-hari.

 

Exit mobile version