- Burung hantu atau burung manguni merupakan bagian dari sistem kepercayaan masyarakat Minahasa masa lampau dan masa kini yang masih menampakkan jejak-jejaknya.
- Bagi leluhur Minahasa, burung manguni dianggap bukan sekadar burung hantu, ia sebagai pemberi isyarat bahkan dianggap sebagai perantara manusia dengan leluhur atau para dewa.
- Pemimpin adat Minahasa yang dikubur dalam waruga memiliki motif lukisan burung manguni.
- Burung manguni adalah sejenis burung hantu dari famili Strigidae yang disebut celepuk sulawesi atau Sulawesi scops owl [Otus manadensis].
Kemunculan burung hantu di beberapa tempat di Indonesia, kerap dikaitkan dengan berbagai mitos, terutama sebagai pembawa kabar kemalangan. Namun, bagi etnis Minahasa, Sulawesi Utara, burung hantu sangatlah istimewa, dihormati dan juga disakralkan.
Manguni adalah sebutan burung hantu bagi orang Minahasa. Burung manguni merupakan bagian dari sistem kepercayaan masyarakat Minahasa masa lampau dan masa kini, yang masih menampakkan jejak-jejaknya.
Penghormatan terhadap burung ini bahkan dijadikan lambang berbagai organisasi, mulai dari lambang Kabupaten Minahasa, klub Sepakbola Persmin Minahasa, lambang gereja, hingga organisasi berbasis suku dan adat bernama Laskar Manguni.
Baca: Pungguk Wengi, Burung Hantu Endemik Sumba yang Belum Dilindungi
Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN, Hari Suroto, mengatakan dalam budaya Minahasa, motif burung manguni dapat dijumpai pada penutup waruga. Waruga merupakan peninggalan megalitik berupa kubur batu leluhur orang Minahasa zaman dulu.
Makam kuno ini tersebar di beberapa daerah di Minahasa seperti Sawangan dan Lotta Pineleng. Namun, tidak semua leluhur masyarakat Minahasa dikuburkan dalam waruga. Hanya tokoh-tokoh berpengaruh dan dinilai memiliki posisi penting yang dimakamkan dengan cara seperti itu.
“Itulah sebabnya, waruga tak banyak dijumpai di setiap daerah Minahasa. Hal menarik dari tradisi waruga adalah cara memakamkan mayat yang tidak lazim, yaitu jasad dalam waruga dikuburkan dalam kondisi meringkuk dengan kaki dilipat mirip bayi dalam kandungan. Filosofinya, posisi manusia saat akan dilahirkan sama dengan ketika meninggal dunia,” ungkap Hari, Sabtu [13/04/2023].
Baca: Peneliti Ungkap Evolusi Burung Hantu Menjadi Nokturnal
Pada setiap badan dan tutup waruga yang menjulang ke atas, terdapat lukisan-lukisan manusia, hewan dan tanaman. Motif lukisan tak sama di setiap waruga, sebagai penanda tingkatan para leluhur. Termasuk, burung manguni yang diukirkan pada waruga, khusus untuk menguburkan pemimpin adat.
Dijelaskan Hari, tradisi leluhur masyarakat Minahasa mengenal setiap tindakan harus melalui restu dari kekuatan di luar mereka, yang sering didahului oleh gejala alam. Sebut saja, gempa bumi atau gunung meletus, juga tingkah laku binatang semacam kucing dan ular.
Namun, khusus untuk burung manguni, oleh para tonaas atau pemimpin adat dianggap sebagai pembawa berita terpercaya dari langit atau dunia atas; dunia para leluhur yang dipimpin oleh para dewa atau Opo Empung [Tuhan].
“Bagi leluhur Minahasa, manguni dianggap bukan sekadar burung hantu, tetapi mendapat tempat khusus di hati mereka yang membantu kehidupan sehari-hari, serta sebagai pemberi isyarat atau kabar baik kepada manusia melalui kehadirannya atau memalui suara. Bahkan, dianggap sebagai perantara manusia dengan dengan leluhur atau para dewa,” ujar Hari.
Baca juga: Inspirasi Burung Hantu pada Teknologi Peredam Suara
Celepuk sulawesi
Burung manguni adalah sejenis burung hantu dari famili Strigidae yang disebut juga dengan nama celepuk sulawesi atau Sulawesi scops owl [Otus Manadensis]. Cirinya adalah berwarna kecokelatan dengan mata kuning dan rumbai telinga berbulu. Bentuk kepala persegi saat rumbai tidak ditegakkan. Tubuh seluruhnya cokelat dengan pola gelap dan pucat yang tersebar luas.
Biasanya, burung ini menghuni tajuk bawah dan tepi hutan dari dataran rendah hingga pegunungan bawah. Persebarannya terbatas di Sulawesi dan beberapa pulau satelit. Burung terlihat di Cagar Alam Tangkoko [Bitung], Taman Nasional Bogani Nani Wartabone [Gorontalo dan Bolaang Mongondow], serta Taman Nasional Lore Lindu [Sulawesi Tengah].
Sebuah penelitian berjudul “Distribusi dan Populasi Burung Manguni [Otus manadensis] di Gunung Kosibak, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone” yang ditulis Fransisca Solang, J.S. Tasirin, dan Wawan Nurmawan, menyebut kalau burung ini merupakan jenis yang memiliki nilai budaya kuat di antara suku-suku asli di Sulawesi Utara. Keberadaannya menjadi pertanda alam dan ikut memengaruhi kehidupan sosial masyarakat.
Namun sayangnya, jenis burung ini memiliki keterancaman dan sudah jarang ditemukan, seiring perubahan tutupan hutan menjadi lahan pertanian dan permukiman.
Penelitian lain berjudul “Religiusitas dan Dimensi Ekologis di Balik Mitos Burung Manguni Pada Masyarakat Minahasa” yang ditulis Mayke Rinny Liando mengatakan, selain memiliki aspek religius, ternyata pengetahuan masyarakat mengenai burung manguni mempunyai dimensi ekologis.
“Menumbuhkan kesadaran orang Minahasa untuk melestarikan habitat burung manguni guna meningkatkan populasinya yang semakin berkurang,” jelas riset tersebut.