Mongabay.co.id

Bank Sampah Dayung Habibah, Cerita Para Penjaga Danau Sipin

 

 

 

 

Gelak tawa Bustomi, Ivan, Anton, Saipul dan Fikri sesekali terdengar di depan rumah Leni Haini. Leni merupakan Ketua Bank Sampah Dayung Habibah di Legok,  Kota Jambi, Jambi. Pagi itu, mereka berkumpul dan bersiap akan bersih-bersih danau.  Legok adalah sebuah wilayah di Jambi,  dengan masyarakat hidup di pinggir Danau Sipin.

Sekitar 8.30 waktu setempat,  kami baru beranjak dari rumah Leni menaiki perahu kecil ke tempat penampungan sampah apung yang ditempeli dua kapal kecil untuk mengangkut sampah. Masing-masing kapal itu punya kapasitas lima ton sampah.

Sampah-sampah baik organik seperti eceng gondok sampai anorganik macam bungkus makanan, popok bayi dan lain-lain banyak terapung. Pemandangan ini biasa selepas hujan.

Saipul, tim Leni bersih-bersih danau mengatakan,  kondisi sekarang berbeda dengan tahun 80-an. “Dulu enak, ikan banyak. Kita nangkul di sini ada macam-macam ikan seperti patin dan nila. Air dulu bersih. Makin ke sini mulai banyak eceng gondok, sekarang,  alhamdulilah sudah bersih,” kata lelaki 60 tahun ini.

Dulu, katanya, air danau bisa diminum karena saking jernihnya.

Kapal terus melaju kemudian menepi di pintu air Sungai Putri. Jaring yang dipasang pemerintah sebelumnya tampak tak berfungsi. Sampah tetap menyebar.

Leni mengatakan,  ada lima aliran air sekaligus sampah ke Danau Sipin.  Mulai dari pintu air Sungai Kambang, Sungai Putri, Sungai Buluran, Sungai Makam Raja-Raja dan Sungai Pete.

“Yang paling sering membawa sampah dari pintu air Sungai Putri dan Sungai Kambang,” katanya.

Dua aliran itu melewati banyak pemukiman, tempat usaha dan klinik atau rumah sakit.

Bustomi cerita,  sempat banyak menemukan sampah medis terutama selama pandemi, seperti infus, jarum suntik dan alat-alatnya. APD pun sering beberapa kali.

Mantan polisi pamong praja ini menunjukkan beberapa jarum suntik yanng dikumpulkan dan alat mengambil darah.

“Kadang alat-alatnya masih baru dan belum dipakai. Kadang juga popok orang tua dan bercampur darah juga banyak ditemukan,” timpal Leni.

 

Beragam sampah di Danau Sipin. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Dia mengatakan,  setiap mengumpulkan sampah,  popok tak pernah absen di keranjang mereka. “Kalau sampah lain bisa didaur ulang seperti botol plastik, kalau popok itu tidak bisa.”

“Kalau organik daun dan eceng gondok kita bawa. Itu nanti kita daur ulang juga tetap kelola. Kalau sampah organik kita buat pupuk,” kata Leni.

Kelompok Leni bisa mendapat satu ton sampah dalam satu bulan. “Kalau untuk popok bisa dua tiga hari dapat satu ton,” kata Leni sambil geleng-geleng.

“Kalau hari ndak hujan, cuaca bagus sampah mungkin tidak sampai satu kubik atau setengah ton paling. Kalau hujan bisa 4-5 ton lebih, itu tergantung perahu, perahu kita ini sudah tua,” katanya.

Sepanjang perahu menyusuri danau, Leni menunjuk beberapa rumah yang menghadap sungai. “Tinggal satu atau dua rumah yang menghadap ke danau. Kalau dulu semua rumah menghadap danau,” katanya.

Rumah-rumah yang menghadap danau, Leni amati bisa lebih membuat pemiliknya menjaga kebersihan danau.

Tahun lalu,  Leni mendapat penghargaan Kalpataru 2022 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena jadi perintis penyelamatan ekosistem Danau Sipin seluas 120 hektar.

Leni dinilai berjasa membersihkan timbunan sampah dan eceng gondok sejak lama dan terus mengembangkan tim maupun bank sampah. Jadi,  dari bersih-bersih danau sampai TPS3R serta program- memberdayakan ibu-ibu dan anak muda sekitar lingkungannya.

Dia juga beberapa kali mendapatkan penghargaan dari Badan Narkotika Nasional untuk pemberdayaan masyarakat dari Bank Sampah Dayung Habibah serta kegiatan sosial lain di Legok.

Dengan memberdayakan masyarakat sekitar,  dia berharap kampung bebas narkoba dan lingkungan hidup terjaga.

 

Penampung sampah apung Bank Sampah Habibah. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

***

Muhammad Ikhsan ingat betul eceng gondok dan sampah plastik mulai menutupi Danau Sipin. Waktu itu,  dia bersama istrinya,  Leni melatih calon dan atlet dayung Jambi.

“Kadang sampah plastik itu nyangkut, jadi kan nggak bisa jalan kano atau kayak-nya, jadi harus dibuang dulu baru mau jalan,” katanya.

Mulai 2013, mereka tergerak bersih-bersih danau dan akhirnya bikin bank sampah.

Pada 2013 sampai 2014 sampah membludak menutupi Danau Sipin. “Kondisi itu yang membuat saya bergerak. Kalau bukan kita siapa lagi?”

“Dulu,  pakai perahu ketek kayu. Sekarang sudah hancur. Setelah itu baru ada perhatian pemerintah dengan bantuan kapal satu. Pada 2018 kita dibantu perahu sidapin,” kata Leni.

Bantuan perahu kedua dan fasilitas pengolahan sampah pada 2020.

“Belum maksimal karena kru kita cuma enam. Kalau sudah mulai musim hujan sampah membludak dan itu tidak ter-cover hanya dengan dua perahu. Perlu ada tambahan perahu lagi.”

Fikri, mahasiswa Biologi Universitas Jambi mengatakan, danau bermanfaat bagi masyarakat sekitar. “Seperti mencari ikan dan lain-lain,” katanya.

Sampah saat musim hujan, katanya, dari anak sungai turun ke Danau Sipin. “Sampah-sampah di atas turun seumua, banyak sampah organik dan anorganik.”

 

Proses membersihkan Danau Sipin. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Kaya ikan? 

Danau Sipin,  Kota Jambi,  memiliki potensi perikanan tinggi. Ikan yang hidup memiliki nilai ekonomi tinggi baik sebagai ikan konsumsi maupun sebagai hias, seperti ikan anggota Ordo siluriformes (catfish). Tekanan terhadap Danau Sipin khawatir memengaruhi keanekaragaman biota air di sana.

Tedjo Sukmono dan Wahida dari Program Studi Biologi FKIP Universitas Jambi mencatat pada 2010,  ada dua spesies di Sipin berdasarkan morfologinya. Lima spesies dari Famili siluridae meliputi Kruptopterus limpok, K. cryptopterus, K. schilbeidis, K hexapterus dan K bicirrhis.

Selain itu,  ada empat spesies dari Famili bagridae mencakup Hemibagrus nemurus, Mystus micracanthus, Mystus nigriceps dan Mystus wyckii.

Masyarakat sekitar danau pun, katanya,  memanfaatkan air danau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, cuci, kakus (MCK), transportasi, tangkap ikan, sarana rekreasi, dan lahan budidaya keramba jaring apung (KJA).

Ikan yang hidup alami di Danau Sipin memiliki nilai ekonomi baik sebagai ikan konsumsi maupun ikan hias antara lain lambak, kepiat, seburuk, kelemak, lais, buntal, sihitam, dan sengarat. Jenis yang sudah jarang seperti beberapa jenis ikan gabus, toman, ringo, baung, belido, serandang, ridik angus.

 

Pak Ivan menemukan sampah foto artis Korea di Danau Sipin. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Dalam 10 tahun ini sudah banyak berubah di Sipin. Fungsi sebagai sumber perikanan pun berkurang beralih pada wisata danau. “Keramba sudah tidak ada dan tangkul sudah banyak berkurang,” kata Tejo.

Dia sempat akan bekerjasama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional) karena sedang ada pengerukan dasar danau belum bisa jalan. “Selama 10 tahun sudah banyak berubah, perlu ada penelitian lagi,” katanya.

Peneliti yang meraih doktor biosistematika hewan di Institut Pertanian Bogor ini mengatakan,  ada beberapa catatan ketika fungsi beralih sepenuhnya ke wisata, terutama soal sampah.

“Sampah pasti pengaruh ke kualitas air. Karena itu membuat pencemaran air. Kalau sampah tidak terkontrol Danau Sipin tidak menarik lagi.”

Kalau air berubah warna karena sampah dan limbah, katanya, berarti danau sudah mengkhawatirkan. Kalau tidak, danau masih bisa diselamatkan. Sementara eceng gondok, katanya,  punya fungsi lain sebagai ruang hidup ikan.

“Eceng gondok kalau banyak masalah bagi danau, kalau hilang juga dibutuhkan untuk ikan. Eceng gondok sebagai feed ground atau penyedia makanan. Kalau terlalu banyak bisa menutup cahaya matahari sampai ke dasar danau,” katanya.

Idealnya,  memang dibuat semacam kotak bambu dan eceng gondok tumbuh di situ. Kalau mau gerak tinggal geser. “Jadi terkontrol. Dengan catatan juga tidak berlebihan.”

 

Leni mendapatkan Kalpataru pada 2022. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

*******

Exit mobile version