Mongabay.co.id

Banyak Jalan Mandiri Pangan Berbasis Lokal

 

 

 

 

Negeri ini kaya tanaman sumber pangan. Ironis, kedaulatan atau kemandirian sulit tercapai kala pangan utama seperti beras, jagung, sampai garam masih impor. Keperluan tepung, misal, juga dominan terigu dengan gandum  100% impor padahal di dalam negeri bahan-bahan tepung lain banyak tersedia.

Orang per orang maupun komunitas mulai bergerak, mewujudkan kemandirian pangan setidaknya di dalam keluarga.

Adalah Chandra Firmantoko, anggota Akademi Rakyat Mandiri Pangan (ARMP) di Jogjakarta merintis  sebuah kebun terapi permakultur di rumah pribadinya selama dua tahun terakhir ini. Lahan yang awalnya kering dan kosong kini rimbun dan bisa memasok kebutuhan sehari-hari.

Dia mengelola lahan berbatu dan berpasir seluas 1.000 m2 ini. Lahan ini dinilai tak subur. “Saya ingin menghidupkan lahan, kemudian belajar desain permakultur,”  katanya dalam webinar yang dihelat IDEP Foundation,  9 Mei lalu.

Kebun dibagi lima zona, sesuai desain permakultur. Zona pertama, area dengan interaksi intensif dengan penghuni rumah. Dia merancang kebun ini dengan tiga fungsi yakni tata kelola tanah, air, dan tata kelola tanaman.

 

Tata kelola air di kebun rumah oleh Candra ARMP Foto: dokumen Candra ARMP

 

Untuk tata kelola tanah, dia kelompokkan dalam istilah wadahkan, bajukan, tenangkan, dinginkan, dan ramaikan. Wadahkan merujuk pada area tanam yang tetap dan berdinding seperti bedengan.

Intervensinya, dengan beli tanah dua truk, sebagai tanah lapisan atas karena cukup sulit mengolah tanah yang ada. Dia membuat bedengan dengan limbah batu material Gunung Merapi dari sisa perajin sekitar.

Bajukan, terkait prinsip selalu ada tanaman di tanah minimal rumput. Tenangkan, tanah tak dicangkul atau dicabut akarnya. Dinginkan dengan olla dan lubang biopori tersebar. Ramaikan, pastikan ada hewan seperti mikroba, cacing, jangkrik, katak, dan lain-lain.

Sementara tata kelola air, dia membagi menjadi tangkap, pelankan, simpan, sebar, dan konservasi. Tangkap dengan tong tadah hujan dan sungai kering buatan. Pelankan dengan sungai kering buatan yang berkelok dan tanggul kecil. Simpan dengan guci tanam untuk mendinginkan air karena daerah tropis epavorasinya tinggi. Juga gunakan pot, setengah isi air, dan setengah isi tanah.

Sebar dengan berbagai ornamen penangkap air hujan di sejumlah titik, lalu konservasi dengan tanaman akar serabut di sepanjang jalan air.

 

Tata kelola tanah dengan membuat bedengan dari beragam material. Foto: dokumen Candra ARMP

 

Untuk tata kelola tanaman, ada tujuh kategori yakni kanopi, peneduh, semak, herba, penutup tanah, liana, dan penutup air. Untuk kanopi jenisnya cemara, peneduh mara, kelengkeng, dan kayu putih. Semak jenisnya pohon lada, bunga sepatu, petai cina, sirih hutan, jambu biji, jeruk lemon, terong dan lainnya. Sementara herba ada kecombrang, kapulaga, bayam ungu, gingseng, pakis jepang, jahe, dan lainnya.

Kategori penutup tanah dengan krokot, bayan brazil, sirih cina, putri malu. Sedangkan kategori liana misalnya markisa, binahong, kecipir, dan monstera. Terakhir penutup air dengan eceng gondok, teratai, dan genjer. “Ada 62 spesies dengan 200 jenis, semuanya bisa dimakan kecuali cemara,” katanya.

Upaya kemandirian pangan dan menghidupkan lahan ini tak selamanya mulus. Tantangannya,  seperti ada ternak mati, masuk rumah, tanaman mati, dan lain-lain.

Dia bilang,  dengan memanfaatkan lahan dengan beragam tanaman pangan ini, bisa penuh keperluan keluarga, dulu beli kini hasil panen sendiri. “Kami mengetahui persis apa yang dimakan dan siapa yang menyediakan,” ujar Chandra.

Hasil panen sendiri itu, katanya, saat diolah, lebih segar. Cabai terasa lebih pedas, sawi lebih bagus dan segar.. “Secara ekonomi, pasti lebih hemat tapi tidak menghitung. Jika tidak impas dengan pengorbanannya, tapi efeknya tak tertandingi,” katanya, soal keuntungan imateriil yang didapat dari menanam ini.

Dari Nusa Tenggara Timur, untuk skala komunitas ada cerita Marlinda Nau atau Mama Fun yang bergiat di Lakowat Kujawas. Ini sebuah komunitas kewirausahaan anak muda di Mollo, Timor Tengah Selatan, yang sudah tujuh tahun mengembangkan model kemandirian pangan lokal.

Mereka mulai dengan membangun pengetahuan karena kearifan local mulai hilang. Misal, pengarsipan dan revitalisasi pangan. “Rumah Bulat tempat penyimpanan seperti lumbung dianggap berhala dan miskin padahal bagian penting kemandirian masyarakat adat,” katanya tentang hilangnya konsep lumbung lokal ini.

Karena itulah mereka beralih membuat food lab dan ruang benih. Untuk mempengaruhi warga lain, ada pemberian makanan tambahan dengan memperkenalkan lidah anak dengan pangan lokal. Lakowat juga membeli pangan lokal dari warga dan membuat tur gastronomi untuk memperkenalkan pangan lokal.

“Warga rendah diri dengan pangan lokal. Karbohidrat tak hanya beras juga umbi-umbian di hutan. Eksperimen membuat tepung sendiri dari jagung, talas, singkong, dan lainnya lalu membuat pasta,” katanya bangga. Ada juga membuat wine dari buah-buahan sekitar.

Tantangannya,  menurut Mama Fun adalah akses ke sumber daya alam.  Hutan, katanya,  sudah sedikit hingga pengetahuan adat terputus, dan konsep penyimpanan hilang. “Karena Rumah Bulat sudah hilang agak kewalahan menyimpan pangan agar bisa bertahan 1-2 tahun. Menurut orang tua kami, dulu bahan makanan bisa disimpan 4-5 tahun, juga disimpan dalam tanah. Mencoba mengembangkan lagi,” katanya.

 

 

Halaman rumah Anggraeni yang ditanam berbagai tanaman untuk kain ecoprint. Ada daun lanang, tanaman truja dan sebagainya.

 

Cara anak muda

Ada pun aksi-aksi anak muda dalam kaitan dengan penguatan kemandirian pangan ini. Vania Febriyantie dan rekannya dari Seni Tani, Bandung dengan fokus di area urban mengaplikasikan Community Supported Agriculture (CSA) terinspirasi gerakan di Jepang untuk upaya menghubungkan petani dengan konsumen.

Dia contohkan, berbagi risiko saat petani gagal panen, membeli hasil, dan petani bisa menentukan harga jual. Prinsipnya,  pertanian berkelanjutan atau degeneratif.

Komunitas ini memanfaatkan lahan tidur, termasuk milik pemerintah untuk kembali produktif dengan mengajak anak muda yang saat itu terdampak karena pandemi. Misal, di Kelurahan Sukamiskin, Kecamatan Arcamanik banyak lahan tidur. Saat pandemi kesulitan pasokan pangan karena distribusi lebih banyak ke Jakarta.

“Sebesar 96% pangan kota dari luar kota, dan tingginya tingkat depresi pemuda saat COVID-19,” kata Vania memaparkan awal inisiatif ini.

Mulai dari lahan sekitar 1.900 meter persegi yang diolah oleh anak-anak muda yang mau bertani. Kemudian bermitra dengan petani lain di area urban dan sub urban. Ada pengenaan biaya untuk anggota CSA yang sudah termasuk asuransi petani. Anggota akan mendapat sayuran tiap minggu.

Programnya, adalah tani berdaya, bestari, dan daur tani yakni pengolahan sampah terpadu. Penghasilan tak bisa dari panen saja juga dari kelas tani dan penjuaan bibit.

“Tantangannya,  perlu adaptasi karena konsumen beli sayur biasa tidak terjadwal, kurangnya variasi sayuran, lahan terbatas, dan kesuburan kurang hingga produktivitas rendah,” katanya.

Gerakan lain adalah pengelolaan lahan berbasis food forest di Bali Barat. Gus Eka dari Gria Gedong Organic Farm mengelola lahan tiga hektar di Banjar Palungan Batu, Desa Batuagung, Jembrana. Pada lapisan pertama, kebun ini menanam kanopi dengan kayu keras, ditanam di dekat sungai seperti durian lokal yang lebih tahan perubahan iklim. Di lapisan kedua (understory) menanam pohon dengan tinggi menengah seperti pala, manggis, dan duku. Juga ada tanaman bukan kayu seperti pisang.

Bagian bawah (roots) seperti porang dan talas, merambat (climber) dengan tanaman bernilai tinggi seperti vanili. Berikutnya, bagian permukaan tanah atau semak-semak (ground) dengan rumput untuk pakan ternak seperti sapi.

Tantangannya, akses transportasi karena topografi lahan, kendaraan hilir mudik untuk mendistribusikan pakan ternak dari olahan kebun. Kotoran ternak dikembalikan ke kebun. “Kami menggunakan konsep food forest agar kelestarikan lingkungan dipertahankan,” kata Gus Eka.

Untuk kelompok tani, I Nengah Sutamaya dari Kelompok Subak Rejasa, Catur Angga, Penebel, kabupaten Tabanan, Bali membagi pengalaman beralih ke pertanian organik. Percobaan pertanian tanpa kimia sintetik ini di area lima are dengan membuat pupuk cair dari kotoran sapi, daun gamal, urin sapi, gula, pakan ternak, bungkil pisang, dan lainnya. Setelah hasil diketahui, diperluas sampai 30 are.

Bedanya dengan cara konvensional, lahan perlu penyiangan tiga kali, kalau dengan input kimia cukup sekali karena pakai obat membasmi gulma. Hasil panen awal dua kwintal, lalu bertambah empat kwintal. Harga gabah juga meningkat. “Sebelumnya pupuk sulit sekarang sudah punya pupuk cair yang bisa disimpan,” katanya.

Pemerintah juga kini memberi tambahan pupuk organik.

Kalau pakai kimia, padi seolah lebih cepat tumbuh. Saat beralih, perlu lebih banyak pupuk tetapi berangsur jumlahnya berkurang setelah tanah subur.

Agar sawah tidak tercemar zat kimia karena saluran irigasi subak di Bali terintegrasi, dia membuat dua kolam, yakni, untuk menampung, lalu kolam berisi eceng gondok dan kapu-kapu. Juga membuat kebun bunga di sekitar sawah padi untuk mengalihkan serangga dan hama lain.”

 

 

 

****

Exit mobile version