Mongabay.co.id

Derita Warga Pomalaa Hidup di Tengah Himpitan Tambang Nikel

 

 

 

 

 

 

Pagi buta pada penghujung Maret lalu, hujan mengguyur Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Hutan yang sudah bopeng, beralih fungsi jadi area pertambangan nikel–berjarak ratusan meter dari pemukiman warga dan persawahan.

Ansal lari berteduh ke pondok peristirahatan di pematang sawah, meninggalkan segenggam bibit padi yang baru dia tanam. Sesaat kemudian, pria 49 tahun bertubuh kerempeng ini meraih karung untuk menutupi tubuhnya dan berlari pulang.

Hujan reda dua jam kemudian. Ansal kembali ke sawah melanjutkan tanam benih padi. Sesampainya di sawah, Ansal terbengong, tak percaya dengan yang dia disaksikan.

Hujan deras selama dua jam meluapkan sungai yang melintangi Desa Pesouha, mengalirkan lumpur merah hingga meluber membanjiri sawah-sawah petani.

Forum Swadaya Masyarakat Daerah (ForSDA) Kolaka mendata banjir lumpur itu mencemari 650 hektar sawah petani tersebar di tiga desa, Pesouha, Pelambua, dan Totobo. Desa Pesouha paling parah dampaknya, luasan sawah terendam sekitar 500 hektar.

“Merah semua ini (sawah),” katanya.

Lumpur mengendap setinggi lutut orang dewasa, merusak tanaman padi miliknya. Ansal terbengong, dalam dua pekan terakhir terjadi dua kali banjir lumpur.  Berbeda dengan banjir tahun-tahun sebelumnya yang meluberkan lumpur setengah sentimeter.

 

Sawah warga yang sudah kemasukan lumpur oranye (merah) saat hujan datang Maret lalu. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Sehari setelah kejadian, dia kembali menanam sisa bibit padi di atas endapan lumpur merah. Dia terpaksa menabur pupuk melebihi dosis ke sisa lahan produktif seluas setengah hektar.

Berselang dua pekan, padi mulai menghijau. Dia berharap padinya berumur panjang.

“Kalau ada gangguan seperti ini, menunggu empat bulan untuk bisa dipanen,” katanya.

Biasa, petani melewati masa tanam hingga panen selama 100 hari lebih.

Siang itu, Ansal bersama dua petani sepuh, Yohanis Soba Banten dan Thamrin,  di pondok tengah persawahan.

‘Sawah para petani mereka bernasib sama, terendam banjir lumpur merah. Mereka berdua juga terpaksa  menghambur taburan pupuk demi merangsang tumbuh kembang sisa bibit tanaman padi yang ada.”

“Tidak ada hitungan dosis,” ujar Yohanis.

Belakangan ini, katanya,  panen gabah merosot dari 80 karung turun ke 40 karung dalam satu kali masa panen. Penurunan angka panen terjadi bertahap dari waktu ke waktu.

Sejak 1976, wajah Pomalaa dan nikel ibarat dua sisi koin yang tidak terpisahkan. Sejak PT Aneka Tambang (Antam) mengoperasikan pabrik feronikel untuk pertama kalinya. Wajah bopeng Pomalaa meluas seiring waktu sampai sekarang, terlebih pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberi izin usaha pertambangan (IUP) kepada beberapa perusahaan untuk beroperasi.

Wilayah IUP ini disebut Blok Pomalaa, dengan sebaran mendominasi Kecamatan Pomalaa.

Sebagian besar dari delapan perusahaan itu beroperasi di area yang dialiri sungai-sungai setempat. Warga kebingungan menentukan perusahaan mana yang mesti dilaporkan untuk dimintai pertanggungjawaban mengenai aktivitas produksi pertambangan nikel yang berdampak buruk hingga ke lahan pertanian dan pesisir Pomalaa.

“Pasrah saja, kita mau marahi siapa…banyak perusahaan di atas,” kata Yohanis menunjuk ke hutan di gunung yang sudah gundul, penuh galian tambang.

Tiga petani itu cemas setiap kali mendung hitam menggantung di langit Pomalaa. Dia takut banjir serupa terulang.

 

Petani sawah mengarungi lahan pertanian mereka yang ‘kedatangan’ lumpur merah. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Tikus merajalela

 Tak hanya bencana  lumpur yang menghantui petani, hama tikus pun menggila. Thamrin punya tiga hektar sawah di Desa Pesouha.

Dia khawatir serangan hama tikus makin menjadi-jadi dalam satu dekade pasca hutan mulai dibabat–membuka area pertambangan nikel.

“Saya itu prediksi dampak tambang, …Saya terus terang bangkrut gara-gara hasil panen dimakan tikus,” kata Thamrin lesu.

Dia menunjuk-nunjuk ke petak-petak sawahnya, yang pada 2021 lalu mengalami kerugian besar, panen padi gagal total.

Pada periode sama, BPS Kolaka mencatat produksi padi turun dari 61.281 ton pada 2021 jadi 55.953 ton dalam 2022.

“Ini ancaman nyata ke depan,” kata Andi Rahman, Direktur Walhi Sultra. Saat itu Walhi sedang mengidentifikasi beberapa lokasi terdampak aktivitas pertambangan nikel di Blok Pomalaa.

Katanya, pertambangan nikel tidak ramah lingkungan dan berdampak pada kerusakan lahan pertanian hingga bisa menyebabkan krisis pangan.

Walhi Sultra menilai ‘kampanye’ pemerintah tentang pertambangan nikel dapat ‘meningkatkan’ perekonomian masyarakat sudah tak relevan dengan kenyataan.

Pemerintah, katanya,  harus meninjau ulang peruntukan tata ruang di wilayah bersangkutan. “Harus ditinjau kembali izin-izin (tambang nikel) di sekitar persawahan itu,” kata Rahman.

Para petani di sini mengatakan, serangan hama tikus sempat terhenti beberapa tahun.  Pada era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang  memberlakukan moratorium tambang, dengan mengeluarkan larangan ekspor mineral mentah. Aturan itu, katanya,  membuat banyak perusahaan tambang di Sulawesi Tenggara tak beroperasi bertahun-tahun, bahkan tidak sedikit yang gulung tikar.

Menurut  Ansal,  lumpur merah perlahan menebal, membuat sawah jadi lahan tidur yang akan ditumbuhi rumput.  Hal itu akan terjadi. “Kalau memang (tambang) tidak bisa dihentikan!” ujarnya, menatap bergantian Yohanis dan Thamrin.

Yohanis menimpali. “Saya putus asa, tidak punya cara untuk  mengantisipasi serangan tikus yang tiga kali merusak tanaman padi hingga gagal panen.”

 

Laut pesisir peniuh dengan sedimentasi dari lumpur limbah nikel yang hanyut dari hulu. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Laut merah, kulit gatal-gatal

Hanya berjarak beberapa kilometer ke arah selatan, hujan deras mengguyur sebagian wilayah Pomalaa di penghujung April. Air dengan material lumpur merah mengalir dari kawasan perbukitan yang di sana sini terlihat gundul akibat aktivitas pertambangan nikel, membanjiri ruas-ruas jalan beraspal.

Dalam hitungan menit, sungai-sungai berubah warna jadi oranye kemerah-merahan, mengalir sampai ke laut, mencemari pesisir perairan laut dangkal.

Usman, duduk di teras rumah mengawasi banjir lumpur yang mengalir deras di gorong jembatan–tepat di sudut depan pagar rumahnya.

“Tanah mulai terkikis…sejak ada tambang” ujarnya.

Dia berharap,  banjir dengan material lumpur merah yang meluap sampai di kolong dapur itu tidak terulang. Sungai kecil selama bertahun-tahun mengirim lumpur merah–bermuara di Desa Hakatutobu dan membentuk sedimen, menghampar sejauh satu kilometer lebih.

Hakatutobu,  merupakan desa pesisir yang menghadap ke arah barat. Saat tidak hujan dan air laut sedang surut, matahari terik di siang bolong mengeraskan lumpur hingga mengkerut padat, memantulkan uap panas udara.

Hembusan angin datang membawa debu-debu merah dari jembatan jeti yang sedang melakukan pengapalan ore nikel. Desa Hakatutobu diapit dua jeti bongkar muat perusahaan nikel.

“Kalau sendok jatuh langsung terbenam, hilang (ditelan) lumpur setinggi paha,” kata Nur, perempuan des aitu.

 

Kondisi sungai yang tercemai limbah dari operasi nikel di hulu. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, kulit sering gatal-gatal saat mandi dengan air sumur bor. Air bersih rumah-rumah berasal dari sumur bor dengan titik bor bermeter-meter ke dalam tanah, tepat di bawah kolong rumah mereka.

Nur menceritakan masa kecilnya. Saban hari bersama neneknya mengumpulkan kerang yang bersembunyi di balik hamparan pasir putih, yang sebagian dipadati vegetasi mangrove. “Air laut masih jernih,” kenangnya.

Setelah 2005,  pasir mulai kecoklatan. Pada 2007,  lumpur merah perlahan mengendap menutupi pasir putih.

Lumpur merah, merusak ekosistem pesisir sumber kehidupan masyarakat pesisir. Keramba ikan para nelayan anjlok. Situasi ini dirasakan ketika penambangan nikel meningkat, menggunduli hutan yang berjarak hanya beberapa kilometer dari pemukiman warga Hakatutobu.

Guntur, nelayan berumur 33 tahun sedang merawat persemaian bibit-bibit tanaman mangrove berumur tiga bulan di petak kolam se-ukuran lapangan volly.

Warga di sini melakukan pembibitan mangrove untuk tanam di pesisir guna mengembalikan fungsi ekologis tanaman sebagai rumah ikan.

“Kadang (tubuh) saya tertanam (lumpur limbah nikel), pernah sampai di leher.”

Dia beruntung, tangan masih memegang perahu hingga bisa keluar dari lumpur merah ketika sedang menanam bibit mangrove.

 

Laut dan lahan pemukiman warga pesisir terdampak limbah operasi tambang nikel di hulu. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya dia menggantungkan hidup pada hasil tangkapan ikan ketambang, baronang, dan putih di perairan dangkal pesisir Hakatutobu.

Pada 2015, tangkapan ikan menurun, sejak lumpur merah perlahan menutupi membentuk sedimentasi di pesisir kampung.

Dia terpaksa mengubah metode dan jadwal menangkap ikan. Awalnya dengan perahu dayung menyusuri pesisir desa di siang dan sore hari, beralih pakai perahu motor dengan biaya operasional tinggi menempuh perjalanan berjam-jam sejauh 12 km sampai di tengah laut di malam hari, hanya untuk berburu teripang.

“Sekarang keuangan sulit. Kadang-kadang ada, kadang tidak ada sejak ada tambang,” ujar Guntur.

Sirajudin, Kepala Badan Permusyawaratan Desa Hakatutobu, mengatakan, lumpur merah berasal dari hulu yang jadi ‘area’ beberapa perusahaan tambang beroperasi. Kini, sekitar 80% nelayan Hakatutobu bekerja di tambang.

Warga, katanya, perlu ‘ongkos banyak’ kalau tetap bertahan jadi nelayan.

Bagi warga desa ini, musim kemarau dan musim hujan tetap sama, tidak membawa pertanda baik dan keberuntungan, selama penambangan nikel terus berlangsung. “Tidak mungkin ada lumpur merah kalau tidak digaruk diatas,” ujar Misbahudin, seorang warga lainnya.

 

Laut yang jadi ‘daratan’ terkena sedimentasi lumpur dari operasi tambang nikel di daratan atas. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Sedimen lumpur ‘lumrah’?

Pemerintah Kabupaten Kolaka menyatakan belum menerima laporan atau pengaduan masyarakat mengenai limbah endapan lumpur di persawahan petani dan pesisir Hakatutobu.

“Kalau itu sudah lumrah di mana-mana, biar tidak ada tambang,” kata Abdul Arif, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kolaka, saat dikonfirmasi.

Kalau ada warga yang mengadukan aktivitas pertambangan nikel berdampak buruk terhadap lingkungan mereka, mereka akan turun mencari tahu penyebabnya. Mereka akan menegur perusahaan bersangkutan kalau terbukti melakukan pelanggaran tak sesuai analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang telah dikantongi.

Arif mengimbau,  warga proaktif melaporkan pelanggaran perusahaan tambang nikel ke kantornya.   “Nanti kita lihat, apakah ini hanya kelalaian, kemalasan perusahaan untuk mengeruk semua sedimen, atau sistem penambangan amburadul. Kami tegur mereka.”

Mereka akan mengarahkan warga ke Balai Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melaporkan perusahaan bersangkutan yang melanggar prosedur pertambangan nikel.

“Pemerintah seolah-olah tidak ingin tahu dengan apa yang menjadi masalah di masyarakat,” kata Rahman.

Sebelumnya, Walhi Sultra beberapa kali memonitoring dampak sedimentasi limbah lumpur pertambangan nikel yang mengendap di pesisir Pomalaa sejak pertengahan 2022.

Dia lantas memperlihatkan contoh temuan dan rekaman Walhi Sultra, soal pertambangan nikel di sempadan sungai. Praktik penambangan itu diduga kuat tidak ramah lingkungan, menyalahi prosedur. Lumpurnya mencemari sungai batas desa Oko-oko. Lumpur juga mencemari sawah petani di sekitar sungai itu. Pantauan ulang di sekitar lokasi tersebut, Sungai Oko-oko berwarna merah mengandung material lumpur merah, menyuplai persawahan petani–meski hari sedang tidak hujan.

Setiap hari menjelang air pasang, bocah-bocah di Hakatutobu berseliweran di atas jembatan titian kayu yang menyambungkan antar rumah. Air pasang adalah waktu terbaik bermain atau berenang di pekarangan laut.

Desa Hakatutobu dihuni sekitar 2.000 jiwa, dengan persentase usia terbanyak anak-anak. Orang dewasa enggan atau tak berani menceburkan diri ke laut, mereka takut terpapar cemaran lumpur yang bisa bikin kulit ‘gatal-gatal’.

Sedang anak-anak tetap bermain di air laut. Kata orang tua mereka, tubuh anak-anaknya seakan ‘terbiasa’ dengan air laut yang berlumpur.

“Sudah tidak gatal-gatal mereka itu,” kata warga menunjuk sekelompok bocah yang menceburkan diri bermain-main di air pasang laut berwarna merah.

 

 

 

*******

 

Exit mobile version