Mongabay.co.id

Malangnya, Eropa Mati Terperosok, Dampak Terserang Virus Herpes Gajah?

 

 

 

 

Kabar duka datang dari Taman Nasional Gunung Leuser, tepatnya di ekowisata CRU Tangkahan, di Kabupaten Langkat,  Sumatera Utara. Akhir April lalu,   Eropa, anak gajah Sumatera mati dengan kondisi mengenaskan. Dugaan kuat Eropa sedang terserang virus herpes gajah (Elephant Endotheliotropic Herpesviruses/EEHV).

Anak gajah Sumatera yang jadi ikon pengunjung karena sifat lincah dan super aktif ini ditemukan terperosok di antara celah pohon dengan dasar bebatuan cadas hutan TNGL itu. Kaki patah. Petugas mengevakuasi, sayangnya,  setelah 20 hari menjalani perawatan, Eropa tak tertolong.

Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser mengkonfirmasi gajah Eropa terperosok ke jurang diduga alami disorientasi karena terpapar virus Elephant Endotheliotropic Herpesviruses (EEHV). Berarti,  Eropa merupakan anak gajah keempat di CRU Tangkahan, yang tewas karena pengaruh serangan virus yang belum ada vaksinnya ini.

Sumatran Willdife Campaigner The Wildlife Whisperer of Sumatra mencatat, di Tangkahan, sebelum kematian Eropa sudah ada tiga anak gajah Sumatera mati diduga kuat terserang virus herpes gajah.

Pada 2011,  anak gajah Tangkah, usia 1,5 tahun juga mati. Selanjutnya pada 2012,  Namo, juga usia 1,5 tahun dan Amelia usia sekitar tiga tahun mati pada 2015.

Palber Turnip, Kepala Bidang Wilayah III BBTNGL kepada Mongabay 5 Mei lalu mengatakan, Eropa terperosok di antara celah pohon di blok Kandang Rusa Resort Tangkahan pada 11 April lalu.

Sebelum ditemukan jatuh, anak gajah ini dalam pengawasan serius karena tengah terpapar virus EEHV yang menyebabkan gejala disorientasi. Gajah tak mampu mengenal tanda bahaya dan tak dapat mengontrol otot tubuhnya. Kuat dugaan Eropa terporosok dampak virus ini.

Gajah luka-luka hingga tak mampu berdiri. Sejak 11 April, sampai 20 hari setelah itu mereka berupaya menyelamatkan Eropa dengan obat-obatan, vitamin dan infus dengan pengawasan tim dokter hewan.


Eropa juga dirawat dekat dengan kandang habituasi agar mempermudah proses pengobatan. Sampai 29 April malam anak gajah Sumatera ini terus mendapatkan perawatan intensif. Pada 30 April,  petugas menemukan Eropa sudah tak bernyawa.

“Kita sudah berusaha semaksimal mungkin dengan sedaya upaya menyelamatkan anak gajah ini, fakta berkata lain. Kuat dugaan anak gajah terperosok karena pengaruh virus. Kita sudah nekropsi dan penguburan bangkai,” kata Turnip.

Pasca Eropa mati, BBTGL terus meningkatkan pengawasan terhadap gajah-gajah yang masih ada. Pemeriksaan kesehatan, pemberian pakan serta vitamin terus dilakukan mengantisipasi virus berbahaya.

Virus EEHV mengancam keberlangsungan hidup anak-anak gajah usia di bawah 10 tahun yang lahir di eksitu. Sejak awal 2023 hingga kini, sudah empat anak gajah tewas terpapar virus mematikan ini. Rinciannya, dua di Riau, satu di Barumun Nagari dan Eropa.

Arisa Mukharliza, Creative Campaign Director dari Wildlife Whisperer of Sumatra kepada Mongabay mengatakan, Eropa punya cerita spesial di hati wisatawan. Pada 2017 dan 2019, mereka berkunjung ke ekowisata Tangkahan. Kala itu, ada Theo, Agustin, Ardana, Yuni, Sari, Albertina, Olive, Eropa, dan Kristofer, adalah beberapa nama gajah yang mereka jumpai.

 

 

Gajah Olive, pada 2015 usai melahirkan Eropa. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Eropa dan Kristofer, super aktif. Waktu itu, dua gajah ini masih balita. Mereka tak bisa diam. Tingkah laku kedua gajah itulah yang membuat wisatawan menaruh hati pada Eropa dan Kristofer. Eropa,  salah satu ikon CRU Tangkahan. Gajah yang diadopsi delegasi Uni Eropa pada Oktober 2015 itu sangat kental dalam ingatan wisatawan.

Soal virus herpes, katanya, harus jadi perhatian penting karena merupakan ancaman serius. Dari berbagai reset dan data jurnal yang mereka peroleh, salah satunya dari Association of Zoos & Aquariums (AZA), (2020) menyebutkan,  EEHV adalah infeksi alami pada gajah dan telah berevolusi bersama gajah selama jutaan tahun.

Seperti banyak virus herpes, ia dapat hidup di dalam inang tanpa tanda-tanda, dan dapat menyebabkan penyakit hemoragik (pembuluh darah pecah akut atau hemorrhagic disease (EEHV-HD) yang terjangkit pada gajah Asia dan Afrika.

Menurut keterangan AZA, EEHV adalah penyebab utama kematian pada gajah Asia yang lahir di Amerika Utara pada 1980. Dari keterangan Waykambas.org, EEHV pertama terdeteksi pada gajah Afrika 1970.

Pada 1995, dunia kembali heboh atas kematian anak gajah karena EEHV di Kebun Binatang Nasional Smithsonian, Washington Amerika. Anak gajah Asia ini usia 16 bulan bernama Kumari.

 

Eropa, anak gajah yang terperosok dan jatuh di batu cadas akhirnya mati setelah sekitar 20 hari perawatan. Foto: BBTKL

 

Untuk Asia, kasus EEHV diduga terjadi pada 1997, terdeteksi pertama kali 2006 di Elephant Sanctuary Cambodia. Selanjutnya EEHV ditemukan di negara-negara lain seperti Thailand, India, Nepal, Myanmar, Kanada dan Inggris.

Di Indonesia, masih sebut situs Way Kambas, kasus EEHV ditemukan di Aras Napal pada 2009, destinasi ekowisata CRU Tangkahan 2011 dan PKG Way Kambas 2014.

Arisa mempertanyakan, dalam kondisi Eropa alami disorientasi atau dalam masa pengawasan, mengapa bebas berkeliaran tanpa pendampingan mahout.

“Setelah kematian Eropa, apa tindakan perlindungan pemerintah untuk gajah-gajah lain CRU Tangkahan?”

Dia bilang,  kalau tak sanggup berpikir ini sendiri, libatkan ilmuan dan mitra lembaga konservasi lain. “Harus mendapat atensi serius para pihak, praktisi, peneliti, dan ahli konservasi dari skala nasional dan internasional, seperti kajian pada kasus gajah Asia, Kumari, yang mati 1995 jadi kajian global,” katanya.

 

 

********

 

Exit mobile version