Mongabay.co.id

Teknik Akuifer Ternyata Sudah Dipraktikkan Sejak Lama

 

 

Secara umum, ada dua cara yang dilakukan masyarakat untuk mendapatkan air bersih, menampung air hujan atau mengambil air dari dalam tanah.

Namun, pembangunan masif yang dilakukan di kota-kota besar memunculkan masalah baru. Banyaknya gedung, jalan, dan bangunan beton menghalangi peluang air yang turun dari langit meresap ke Bumi.

Di sisi lain, penyedotan air tanah yang dilakukan besar-besaran menyebabkan volume air berkurang. Bahkan, berdampak pada menurunnya permukaan tanah dan memperluas intrusi air laut ke darat.

Untuk menambah cadangan air di perut Bumi, tentu saja diperlukan mekanisme buatan. Istilah teknisnya artificial recharge. Langkah paling umum yang dikenal adalah melalui sumur resapan. Air yang jatuh dari langit berupa hujan diharapkan masuk ke dalam sumur resapan dan menambah cadangan air di akuifer. Akuifer adalah lapisan di dalam tanah yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan air.

Sejumlah kota besar di Indonesia telah mempraktikkan cara ini. Di antaranya Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, hingga Bali. Begitu juga dengan sejumlah kota di negara lain seperti Australia, Amerika, Pakistan, dan Thailand.

Baca: Cara Ini Lebih Efektif Menyimpan Air ke Tanah Dibanding Biopori

 

Air bersih merupakan kebutuhan utama dalam kehidupan kita. Foto: Pixabay/Baudolino/Public Domain

 

Sudah dilakukan sejak lama

Dalam sejarahnya, praktik menambahkan air ke dalam perut Bumi sudah dilakukan manusia sejak lama. Meski waktu itu masih dilakukan dengan cara sederhana dan umumnya untuk irigasi pertanian.

Setidaknya ada empat tahap perkembangan sejarah bagaimana manusia mengelola cadangan air dalam tanah. Dipaparkan dalam Jurnal Physics and Chemistry of the Earth, 2020, tahap pertama upaya memasukkan air permukaan ke dalam tanah tercatat telah dilakukan pada era Warring States di China 475 SM hingga 221 SM. Kala itu, manusia menggali saluran agar air di permukaan agar terserap ke dalam tanah. Tujuannya, untuk meningkatkan kualitas air tanah.

Selanjutnya, Dinasti Qin dan Han yaitu 221 SM hingga 220 SM, yang masyarakatnya mulai mengenal sistem irigasi karez. Prinsip utama sistem karez adalah mengalirkan air melalui terowongan buatan yang digali di tanah. Untuk membuat terowongan itu mereka lebih dulu membuat sumur-sumur vertikal.

Terowongan yang panjangnya ribuan kilometer ini menghubungkan akuifer di pegunungan dan waduk penampungan air di daerah yang lebih rendah. Air selain digunakan untuk pertanian juga dikonsumsi manusia.

Mengutip sumber dari UNESCO, pengetahuan sistem karez sebelumnya berasal dari Persia yang dibawa para pedagang melewati jalur sutera dan salah satunya tiba di Xinjiang, China. Karez dalam bahasa Uyghur berarti sumur.

Pada abad ke lima hingga sepuluh, masyarakat Wari dari peradaban pra-Inca, telah mengenal sistem saluran resapan yang dikenal sebagai Amunas. Fungsinya untuk mengontrol air permukaan dan mengisi akuifer pegunungan Andes. Pada abad XI, di Spanyol saluran resapan bernama Careo dibuat oleh orang-orang Arab di dataran tinggi Sierra Nevada. Dengan sistem ini debit aliran sungai yang berasal dari akuifer terjaga dan tidak menurun banyak saat musim kering.

Baca juga: Sumur Resapan Efektif Kembalikan Cadangan Air

 

Ilustrasi perjalanan air di bawah tanah. Foto: Wikimedia Commons/T.C. Winter, J.W. Harvey, O.L. Franke, and W.M. Alley/CC BY-SA 3.0

 

Tahap ketiga, setelah Perang Dunia II ketika kebutuhan akan kualitas dan kuantitas air meningkat tajam. Pada 1968 upaya untuk menahan intrusi air laut di New Jersey, Amerika, dilakukan lewat program pemulihan dan penambahan akuifer.

Di beberapa negara Eropa, program terkait Manage Aquifer Recharge [MAR] diberlakukan. Sementara di Shanghai, China, sumur resapan buatan digunakan untuk mencegah masalah penurunan tanah pada 1960-an.

Penelitian terbaru di Kota Cangzhou, China, menjadi contoh bagaimana pengisian akuifer bisa menghambat penurunan tanah dan meningkatkan ketinggian air tanah. Dilaporkan dalam Hydrogeology Journal, 2023, dengan pemodelan matematika tiga dimensi diketahui pengisian air dalam tanah selama 163 hari telah membuat tinggi air naik sekitar setengah meter. Sementara tinggi permukaan tanah bisa kembali seperti semula.

 

Air merupakan sumber kehidupan bagi seluruh makhluk hidup di Bumi. Foto: Pixabay/denfran/Public Domain

 

Tahap keempat, dimulai sejak 1990-an, ketika konsep MAR diterapkan banyak negara. Kali ini, untuk mengatasi persoalan keterbatasan air karena faktor iklim dan meningkatnya populasi. Tujuannya, untuk melindungi ekologi dan lingkungan. MAR yang tidak hanya diterapkan di negara maju namun juga negara berkembang itu, sudah memberikan perkembangan ilmu dan teknologi.

Saat krisis air mulai mengemuka seperti sekarang ini, semua pihak perlu memastikan pengelolaan air dalam tanah secara berkelanjutan.

 

Exit mobile version