Mongabay.co.id

25 Tahun Reformasi: Industri Ekstraktif Masih Kuasai Pertiwi

 

 

 

 

 

Anak-anak bermain, dan berlarian di satu jembatan desa. Tampak kiri kanan jembatan lumpur oranye. Akar pepohonan pun jadi oranye kecoklatan.  Itulah kondisi di pesisir Desa Hakatutobu,  Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Perairan pesisir berwarna oranye dan berlumpur.  Masyarakat sulit gantungkan hidup daeri laut lagi.

Cuplikan dari Pomalaa ini sekilas pemandangan di daerah yang berdekatan dengan operasi tambang nikel. Banyak daerah yang alami nasib serupa. Industri ekstraktif ini makin marak mengeruk bumi.

Dua puluh lima tahun lalu,  tepatnya 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB, Presiden Soeharto yang sudah berkuasa 32 tahun mundur. Ribuan pemuda dan mahasiswa yang mendesak mundur presiden dan sudah menduduki kompleks parlemen, Jakarta bersorak gembira merayakan keruntuhan rezim Orde Baru.

 

 

Saat Soeharto berkuasa selama 32 tahun, ada sekitar 78 juta hektar hutan dan lahan diberikan kepada korporasi, baik kehutanan, sawit, maupun tambang. Izin-izin rilis paling banyak setelah ada Undang-undang Penanaman Modal Asing pada 1967 dan Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri pada 1968.

Awalnya, ada harapan era reformasi jadi angin segar bagi perbaikan tata kelola kekayaan alam dan perlindungan lingkungan hidup serta memperhatikan kepentingan rakyat.  Sudah 25 tahun reformasi berlalu, kondisi pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia dinilai tak jauh berbeda dengan orde baru. Industri ekstraktif masih menguasai Bumi Pertiwi.

“Setelah reformasi, ada banyak eksploitasi kayu-kayu ilegal. Itu diikuti ekspansi perusahaan tambang, bahkan perusahaan sawit. Industri ekstraktif telah mengkonversi hutan Indonesia dalam skala luas,”  kata Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Hingga kini, katanya,  perlindungan lingkungan hidup tak banyak perubahan setelah reformasi. Bahkan, katanya, sejak awal 2000, eksploitasi hutan dan kekayaan alam meningkat.

 

Perkebunan sawit yang membentang di Rawa Tripa. Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Apa yang dikatakan Syahrul Fitra, selaras dengan Laporan Walhi Nasional dan Yayasan Auriga Nusantara berjudul “Indonesia Tanah Air Siapa: Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi?” (2022).  Dalam laporan itu memperlihatkan, rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), selama 10 tahun paling banyak menyerahkan penguasaan lahan atau seluas 55 juta hektar kepada korporasi.

Sementara, pada masa ketiga presiden, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Megawati dalam dua sampai tiga tahun kelola lahan 6 juta hektar kepada korporasi.  Khusus rezim Megawati, ada 13 perusahaan tambang dapat izin menambang di dalam hutan lindung atau seluas 927.648 hektar. Megawati menerbitkan Peraturan Pemerintah PenggantiUU  (Perppu) No. 1/2004 atas Perubahan Atas UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan.

Kemudian era Joko “Jokowi” Widodo,  sudah lebih sembilan tahun sejak 2014, pelepasan lahan ke korporasi masih terus terjadi. Padahal, dalam masa kampanye periode pertama, Jokowi berencana mengalokasikan kawasan hutan kepada rakyat seluas 12,7 juta hektar dan reforma agraria seluas 4 juta hektar. Sampai saat ini,  yang terealisasi baru sekitar 2 juta hektar atau 11% dari total janji. Sedangkan, alokasi lahan ke korporasi sudah mencapai 8 juta hektar.

 

sp;

 

 

Dari riset dua lembaga ini, pada 2022,  konsesi kehutanan (logging) 258 korporasi kehutanan mencakup 19 juta hektar. Ada 10 grup teratas korporasi yang menguasai 23% atau 4,3 juta hektar izin kehutanan di Indonesia, setara 65 kali luas Jakarta.

Untuk perusahaan kebun kayu juga sama. Penambahan luas alokasi kebun kayu, dari 30.000 hektar pada 1990 jadi 4,4 juta hektar pada 1999.  Pasca reformasi melonjak hampir tiga kali lipat jadi 11,3 juta hektar pada 2021.

Ada 10 grup teratas korporasi kebun kayu yang turut menguasai 50% alokasi izin kebun kayu di Indonesia.

Adapun dalam sektor perkebunan sawit juga kondisi tak jauh berbeda. Pasca reformasi atau pada 2000, luas tanaman sawit di Indonesia mencapai 7,8 juta hektar. Pada 2021,  meningkat tajam jadi 16,5 juta hektar.

Hingga Juni 2022, pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan mencapai 8.514.921 hektar, dan 6 juta hektar atau 71% lepas untuk perkebunan sawit. Sekitar 29% dari 6 juta hektar itu dinikmati oleh 10 grup usaha besar korporasi sawit.

 

Air Terjun Bojokan, Siberut Utara, yang ada dalam konsesi HTI PT BAE. Foto: Buyong/ Mongabay Indonesia

 

Dalam sektor pertambangan juga mengalami hal serupa. Pada Juli 2022, tercatat 10 juta hektar konsesi tambang di sistem pemerintah, Minerba One Data Indonesia (MODI) dari 6.500 izin.

Bukan itu saja, katanya,  era reformasi justru terjadi dua kali kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang begitu luas pada 2015 dan 2019. Karhutla 2015, ada sekitar 2,5 juta hektar lahan habis terbakar. Karhutla 2019, ada lebih dari 3,11 juta hektar lahan terbakar di seluruh Indonesia.

Satu potret di Banggai, Sulawesi Tengah, misal, lingkungan hidup pasca reformasi makin berat. Data Jaring Advokasi Tambang Sulawesi Tengah, menyebutkan, ada sekitar 20 perusahaan tambang nikel mendapatkan izin di Banggai. Jatam melihat, penerbitan izin kawasan di Banggai ini sarat masalah, antara lain, lokasi tambang akan tumpang tindih dengan ruang hidup masyarakat.

“Penerbitan izin nikel khusus berpotensi memicu konflik antara masyarakat dan perusahaan. Sebab, lahan masyarakat yang dikelola sebagian wilayah perkebunan, persawahan akan kena dampaknya,” kata Muhammad Taufik, Dinamisator Jatam Sulteng, kepada Mongabay.

 

Laut pesisir peniuh dengan sedimentasi dari lumpur limbah nikel yang hanyut dari hulu. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Bencana pun mengancam saat lingkungan suatu wilayah rusak. Untuk Banggai, di Kecamatan Siuna atau Bunta, misal, kerap mengalami banjir setiap hujan, dan menyebabkan lahan-lahan pertanian terdampak.

Praktik buruk industri nikel ini, kata Taufik,  menambah catatan merah pada pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang tidak berkelanjutan hingga menyebabkan kualitas lingkungan hidup buruk.

Morowali, juga kabupaten di Sulteng yang banyak tambang nikel di Sulawesi Tengah. Bencana banjir dan longsor kerap dirasakan warga.

Untuk itu,  Jatam Sulteng mendesak pemerintah memoratorium perusahaan tambang nikel.  Selain itu, katanya, juga evaluasi izin juga audit lingkungan guna mengukur sejauh mana daya dukung dan daya tampung lingkungan di sekitar kawasan tambang.

Tak jauh beda dikatakan Abdul Aris Lapabira, Kepala Departemen Organisasi dan Perluasan Jaringan Tranformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia. Dia mengatakan, pertambangan nikel dan sawit merupakan ancaman serius bagi keberlanjutan lingkungan hidup di Banggai.

Dalam beberapa tahun ini, katanya, kondisi iklim pun di Banggai berubah drastis. Satu Indikatornya, keluhan para petani yang gagal panen dan nelayan makin sulit menangkap ikan diakibatkan laut sudah tercemar limbah nikel.

 

“Hal ini akibat dari kualitas lingkungan hidup yang makin menurun setiap tahunnya.”

 

 

 

Exit mobile version