Mongabay.co.id

Studi: Di Hutan Restorasi Populasi Burung Meningkat, Tapi Tidak Optimal Karena Perburuan

 

Penelitian baru-baru ini dalam jurnal Biological Conservation menunjukkan setelah satu dekade dilakukan perlindungan dan regenerasi hutan di lokasi Hutan Harapan, hasilnya menunjukkan adanya peningkatan populasi burung khas dataran rendah pulau Sumatera. Namun, penangkapan burung untuk diperdagangkan, telah mencegah pemulihan populasi yang lebih cepat.

Penelitian ini pun menjumpai rata-rata tinggi kanopi pohon hutan meningkat di seluruh wilayah di Hutan Harapan yang tidak mengalami kebakaran, degradasi, atau deforestasi yang signifikan.

Studi ini mengambil sampel survey burung pada periode 2009-2011 dan 2018, dan mengolah perubahan tutupan lahan lewat analisis citra satelit.

Para peneliti mengumpulkan spesimen dari 122 spesies burung untuk model kelimpahan jenis, dan menemukan 45,1 persen spesies menunjukkan peningkatan populasi yang signifikan. Namun, penelitian ini juga menyebutkan setidaknya 16,2 persen dari 122 spesies burung menghadapi tekanan dari penangkapan yang semakin intensif.

Tekanan ini mengurangi keberhasilan optimal dari upaya pemulihan hutan, disebabkan banyak spesies burung yang memainkan peran kunci dalam regerenerasi dan fungsi ekosistem hutan, seperti penyebaran benih, tulis para peneliti.

 

Tampak aerial Hutan Harapan, hutan proyek restorasi pertama di Indonesia. Foto: Rhett A Butler/Mongabay

 

“Temuan kami menunjukkan potensi perlindungan dan regenerasi hutan dalam memulihkan keanekaragaman burung di Asia Tenggara, tetapi juga menyoroti pentingnya upaya untuk mengatasi ancaman perdagangan hewan peliharaan yang semakin intensif.” jelas penulis utama studi, H. S. Sathya Chandra Sagar kepada Mongabay.

“Penelitian ini adalah yang pertama yang dilakukan di hutan restorasi,” lanjut peneliti Ekologi Hutan dan Satwa Liar University of Wisconsin–Madison ini.

Hutan Harapan adalah rumah bagi sekitar 1.350 spesies satwa liar, termasuk harimau sumatera (Panthera tigris sondaica) dan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang terancam punah. Sejak diresmikan pada tahun 2007, Hutan Harapan, sebuah bentang kawasan hutan yang terletak diantara Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan, adalah hutan restorasi pertama di Indonesia.

Para peneliti mengungkap temuan mereka ini adalah sebuah kabar menggembirakan. Hal ini dianggap sepadan dengan dukungan dana konservasi yang telah dilakukan. Kepada pihak konsorsium Hutan Harapan, dana ini meliputi dukungan sebesar USD20 juta dengan biaya operasional tahunan sebesar USD2,5 juta.

Dalam program reforestasi yang dilakukan, kombinasi antara regenerasi alami dan penanaman pohon dilakukan secara kontinyu. Inisiatif ini berpacu dan berkejaran dengan penebangan liar, perambahan, dan kebakaran hutan yang berlangsung selama bertahun-tahun.

Menurut data pemerintah 2018, maka sejak 2004, Indonesia telah memberikan 16 izin konsesi restorasi ekosistem, seluas 623.075 hektar di Sumatera dan Kalimantan. Izin ini memungkinkan pemegang konsesi untuk merestorasi hutan yang sebelumnya ditebang selama 60-100 tahun. Pasca ‘keseimbangan ekosistem’ tercapai, mereka dapat memilih untuk memanen kayu, melakukan ekowisata atau melakukan jasa ekosistem.

 

Tampak aerial kawasan Hutan Harapan yang bersebelahan dengan konsesi perkebunan sawit. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Perdagangan Satwa Liar

Studi sebelumnya tentang perdagangan burung telah menyoroti pasar perkotaan di Jawa dan Sumatera. Sebuah laporan tahun 2005 memperkirakan bahwa rata-rata 614.180 burung kicau asli ditangkap dan diperdagangkan setiap tahun di kedua pulau tersebut.

Meskipun telah ada upaya penangkaran, -dimana hasil keturunannya dapat diperjualbelikan, para kolektor lebih menyukai burung tangkapan dari alam liar, yang dianggap memiliki kualitas suara yang lebih baik daripada burung penangkaran. Hal lain, menangkap burung dari alam liar dianggap cara yang  lebih mudah dan murah, daripada bersusah payah mengembangbiakkannya di penangkaran.

Indonesia sendiri telah melarang praktek perdagangan satwa liar yang terancam punah. Ancaman hukuman bagi mereka yang menangkap spesies yang dilindungi adalah maksimal lima tahun penjara dan denda Rp100 juta berdasarkan Undang-Undang berlaku.

Sagar menyebut penangkapan burung yang dilakukan di kawasan restorasi oleh para pemburu lokal, disebabkan oleh faktor tekanan ekonomi.

 

Studi yang dilakukan di lokasi restorasi Hutan Harapan. Dok: Sagar et al. (2023).

 

Dia menyarankan pengelola konsesi hutan restorasi untuk dapat melibatkan masyarakat lokal, -termasuk mantan pemburu burung, salah satunya untuk program pemandu ekowisata dan aktivitas pengamatan burung (birdwatching). Dengan insentif ekonomi ini, mereka dapat melupakan perburuan serta terlibat dalam praktek konservasi.

“Kita perlu lebih memahami dan mengatasi penyebab utama penangkapan burung liar melalui pendekatan kolaboratif lintas-pihak, seperti yang ditunjukkan oleh Asian Songbird Trade Specialist Group.”

Dia pun menyarankan pengelola restorasi dapat mengurangi akses masuk ke wilayah dan meningkatkan pemantauan wilayah. Meningkatnya aksesibilitas ke wilayah-wilayah terpencil sebutnya, akan dapat membuka area perburuan.

Meski demikian, kenyataannya beberapa saat lalu Pemerintah Indonesia telah memberikan izin kepada sebuah perusahaan batubara untuk membangun jalan lintas yang akan membelah Hutan Harapan.

Tulisan asli: Trapping holds back speed of bird recovery in a Sumatran forest, study shows. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

Referensi:

Sagar, H. S. S. C., Gilroy, J. J., Swinfield, T., Burivalova, Z., Yong, D. L., Gemita, E., … Hua, F. (2023). Avifauna recovers faster in areas less accessible to trapping in regenerating tropical forests. Biological Conservation279. doi:10.1016/j.biocon.2023.109901

 

***

Foto Utama: Tajuk pohon yang ada di Hutan Harapan, Jambi. Foto: Rhett A Butler/Mongabay

 

 

Exit mobile version