Mongabay.co.id

Krisis Air Bersih Hantui Jogja, Budayakan Panen Air Hujan

 

 

 

 

 

 

Yogyakarta memasuki musim kemarau,  krisis air bersih pun mengancam.  Kini, sejumlah daerah di Yogyakarta,  kesulitan dapatkan air bersih.  Sejak awal Mei, misal, pasokan air bersih beberapa daerah di Kulonprogo tersendat kurang lebih 10 hari karena PDAM mati. Masalah ini dinilai bukan hal baru dan terus terjadi dari tahun ke tahun.

Stasiun Klimatologi BMKG Yogyakarta memprediksi awal kemarau 2023 di Yogyakarta pada April dasarian II meliputi sebagian kecil beberapa kabupaten kota. Kemudian, April dasarian III sebagian besar mencakup Sleman, Bantul, dan Gunungkidul. Puncak musim kemarau 2023 diperkirakan antara Juli hingga Agustus.

Lilik Andi Aryanyo, Manajer Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BPBD Yogyakarta mengatakan,  potensi bencana kekeringan tahun ini perlu diantisipasi. “Mengingat musim kemarau diperkirakan tidak lagi bersifat basah seperti tahun-tahun sebelumnya,” katanya.

Dalam analisis BMKG, diperkirakan setiap tahun sejumlah daerah di Yogyakarta berpotensi kekeringan saat kemarau, antara lain di Kecamatan Rangkop dan Tepus  (Gunungkidul), Kecamatan Dlingo (Bantul), Panjatan (Kulon Progo), dan Prambanan (Sleman).

Mengenai kesiapan ketersediaan sumur bor, pipanisasi, sampai kesiapan pasokan air bersih, katanya, bakal dibahas khusus dalam rapat koordinasi BPBD bersama Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral (PUP-ESDM), serta Dinas Sosial DIY Mei ini.

“Untuk BPBD kabupaten dan kota menyiapkan dropping air, untuk level provinsi, dropping dilakukan Dinas Sosial,” kata Lilik, akhir April lalu.

Djati Mardiatno, peneliti Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan,  semestinya penanganan kekeringan selama kemarau oleh pemerintah daerah tak sekadar melalui dropping atau distribusi air bersih.

Intensitas distribusi air bersih, kata Mardiatno, menunjukkan manajemen risiko kekeringan di suatu daerah masih perlu diperbaiki. Menurut dia, distrbusi air bersih hanya bersifat respons. Keberhasilan penanganan bencana kekeringan, katanya,  justru mesti dilihat dan ditandai jika dropping air berkurang.

“Sedikitnya pasokan air bersih ke daerah kekeringan menandakan pemerintah daerah bersama warga mampu memitigasi dan mengantisipasi jauh sebelum kekeringan terjadi,” kata Mardiatno.

Dia contohkan, di Gunungkidul,  setiap tahun beberapa daerah alami kekeringan. Semestinya,  terbangun sarana sumur bor dan pipanisasi memadai hingga menjangkau seluruh pemukiman warga. Selain itu, warga juga mesti memiliki budaya memanen air hujan dengan cara menyiapkan tandon air secara mandiri.

 

 

Baca juga: Berebut Air dari Bumi Yogyakarta

Tanpa sanksi tegas dan tata kelola yang baik terhadap penggunaan air tanah di Yogyakarta akan berdampak pada masyarakat miskin kota.

 

 

Krisis air bersih

Walhi Yogyakarta dan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Yogyakarta menyebut,  sulitnya warga akses air bersih sebagai “kabar buruk” darurat air bersih. Belum lagi, sumur-sumur warga tak layak konsumsi, kualitas air sungai dan embung diduga tercemar melewati ambang batas baku mutu. Juga,  kualitas air makin memburuk di Yogyakarta.

M.Taufiq AR, Ketua FPRB Yogyakarta, mengatakan,  krisis air di Yogyakarta sangat darurat terutama saat pengelolaan memprihatinkan.

“[Pemerintah mesti segera] perbaikan pengelolaan air secara terpadu, termasuk memberikan akses air bersih untuk masyarakat yang paling rentan,”  katanya, seperti rilis kepada media.

Data Kajian Risiko Bencana (KRB) Yogyakarta 2022-2026 menunjukkan,  3.675.662 jiwa masyarakat di Yogyakarta dari Kulonprogo, Bantul, Gunungkidul, Sleman dan Kota Yogyakarta,  berpotensi terpapar bencana kekeringan.

Pada dokumen sama menyatakan, kekeringan jadi salah satu prioritas penanganan pertama karena termasuk kategori kelas risiko tinggi bencana selain  banjir, kebakaran hutan dan lahan, dan bencana hidrometalurgi lain.

“Kondisi saat ini jadi alarm kedaruratan. Air dan pengelolaan sedang tidak baik-baik saja. Terutama dengan mengetahui potensi keterpaparan masyarakat atas bencana kekeringan berdasarkan KRB DIY ditambah pencemaran pada sumber air.”

Masalah pencemaran dan penurunan kualitas air ini bukan temuan baru. Sejak 2015, melalui Survei Kualitas Air Yogyakarta yang rilis oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan 67,1% rumah tangga memiliki air siap minum yang terkontaminasi bakteri Escherichia coli atau dikenal E.coli.

Bakteri E. Coli tergolong berbahaya jika seseorang terkontaminasi dari mengonsumsi makanan dan minuman. Paparan E. coli dapat menimbulkan gejala sakit perut, diaera, mual, dan muntah.

Survei itu juga memberikan peringatan, katanya,  kalau daerah perkotaan lebih terkontaminasi dibandingkan perdesaan.

 

Baca juga: Pembangunan Apartemen dan Hotel Marak Ancam Sumber Air dan Keistimewaan Jogja

Ilustrasi. Kemaran dan krisis air bersih di Jawa, beberapa tahun lalu. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Dari  data Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Yogyakarta 2022-2027,  Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) provinsi inipada periode 2018-2022 berkisar pada 60,05-61,60. Nilai IKLH Jpgja tahun, dan data sementara sampai dengan Oktober 2022 turun jadi 59,43-59,92. IKLH Yogyakarta berada di bawah nilai nasional 70,27 atau masuk kategori kurang baik.

Penurunan indeks kualitas air ini karena angka coli total dan coli tinja tinggi dari aktivitas domestik dan pertanian. Lalu, phospat dari aktivitas domestik dan usaha laundri skala mikro, serta pencemar dari usaha dengan outlet air limbah belum memenuhi baku mutu, termasuk industri.

Gandar Mahojwala, Direktur Walhi Yogyakarta mengatakan, penurunan kualitas air terutama di daerah perkotaan jadi masalah berlarut. Isu krisis air dan kekeringan, katanya,  belum jadi prioritas penanganan padahal sangat darurat.

Pemerintah, kata Gandar, lebih memprioritaskan pembangunan ketimbang mengelola air secara terpadu dan mendistribusikan air di daerah-daerah krisis hingga ke kelompok rentan. Kalau problem ini tidak dilihat secara holistik dan dilakukan perbaikan, Gandar bilang,  lama kelamaan masyarakat tidak lagi punya akses atas air.

Dia desak pemerintah mengindentifikasi daerah-daerah yang belum punya akses atas air, untuk didistribusikan hingga ke kelompok-kelompok rentan. Dia tak rekomendasi konsumsi air PDAM.

“Karena masyarakat rentan—khusus ‘miskin’ dalam konteks ini–tidak bisa memenuhi atau mengikuti rekomendasi konsumsi air lewat PDAM ataupun memberi air minum mineral,” kata Gandar.

Taufiq mengatakan, dengan hanya mengandalkan PDAM, berarti membatasi opsi dan akses masyarakat untuk air bersih. Terlebih hampir seluruh Yogyakarta berisiko kekeringan tingkat sedang ke tinggi.

Potensi keterpaparan masyarakat atas bencana kekeringan ditambah dengan pencemaran pada sumber air, katanya, jadi bukti jauhnya masyarakat atas pemenuhan hak atas air.

“Tidak ada air bersih membuat kelompok rentan makin rentan dan dirugikan, terutama mereka yang tidak dapat membeli air bersih.”

Bencana kekeringan dan buruknya kualitas air di perkotaan berkontribusi terhadap persoalan kemiskinan serta kesehatan, khususnya kasus stunting; dua hal yang masih menjadi tantangan besar di DIY.

 

Baca juga: Memanen Air Hujan

 

Dwi Agus Kuncoro kepala Sekolah Air Hujan Banyu Bening. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Panen air hujan

Sri Wahyungsih, Ketua Komunitas Sekolah Air Hujan Banyu Bening Yogyakarta mengatakan,  pemerintah mesti edukasi masyarakat terutama soal krisis air dan cara mengelola air di tengah krisis, seperti memanen air hujan.

“Hingga, ketika terjadi permasalahan air, atau biasa mereka dapat pasokan air dan tiba-tiba terhenti, masyarakat sudah tahu solusinya,” kata Yu Ning, akrab disapa, pendiri sekolah air hujan pertama di Indonesia ini.

Krisis air bersih di Yogyakarta dia sebut “krisis edukasi”. Menurut dia, pemerintah dan masyarakat mesti bergandeng tangan membuka krisis edukasi dalam situasi krisis air.

Kalau krisis edukasi ini selesai, katanya, terutama dengan memanen air hujan, misal, selain menyelesaikan permasalahan air, masyarakat juga terlibat selesaikan permasalahan yang mereka hadapi.

Dia jelaskan,  banyak keuntungan memanen air hujan, seperti, pertama, gratis,  kedua, bisa diakses dengan mudah oleh seluruh masyarakat.  Ketiga, masyarakat sadar arti menyelesaikan masalah kebencanaan, dan keempat, masyarakat menuju kemandirian.

Kemandirian pengelolaan air,  katanya,  sangat penting. Dia contohkan, kalau setiap orang memenuhi kebutuhan air setiap hari harus mengeluarkan ongkos Rp1.000, dengan penduduk Indonesia sekitar 250 juta, berarti Rp250 miliar per hari uang hilang hanya untuk air.

“Artinya,  ongkos air tinggi sekali. Ini kalau kita bicara pengelolaan secara umum. Penting, semua harus belajar, baik pemerintah maupun masyarakat dengan mengubah mainset untuk pengelolaan air dengan memanen air secara berkelanjutan.”

 

 

*******

Exit mobile version