Mongabay.co.id

Banyak yang Bisa Dikunjungi: Geopark Maros Pangkep dan Ragam Keunikan Bentang Alamnya

 

The United Nations Educational Scientific and Culture Organization (UNESCO) telah memasukkan kawasan Geopark Maros Pangkep di Sulawesi Selatan sebagai bagian dari UNESCO Global Park (UGG) pada tahun 2022 lalu. Penetapan secara resmi akan diberikan pada pertemuan internasional 1-5 September 2023 mendatang di Maroko.

Menurut General Manager Badan Pengelola Geopark Maros Pangkep, Dedy Irfan, status sebagai UNESCO ini diberikan mengingat kawasan karst Maros Pangkep memiliki kekayaan dan keunikan dari segi geodiversity.

“Secara konsep geopark adalah sebuah pendekatan pengelolaan sebuah kawasan yang mengedepankan international value dari segi geodiversity atau keragaman geologis bernilai internasional yang terkait dengan keanekaragaman hayati atau biodiversity-nya dan culture diversity,” ungkap Dedy dalam acara podcast Bincang Alam Mongabay Indonesia, Kamis (18/5/2023).

Menurut Dedy, ada tiga komponen penting yang dimiliki Geopark Maros Pangkep yang menjadikannya unik dibanding kawasan karst lain. Pertama, keberadaan kawasan tower karst terluas di Indonesia dan kedua di dunia setelah kawasan di Tiongkok.

Kedua, Geopark Maros Pangkep yang terdiri dari 31 geosite ini juga memiliki kompleks Melange Bantimala, yaitu kompleks batuan berumur sekitar 500 juta tahun, yang menjadi bukti bagaimana terbentuknya pulau Sulawesi. Ketiga, kawasan geopark ini juga memiliki reefs island atau kepulauan terumbu karang, yang dikenal dengan Spermonde Archipelago.

“Tiga poin ini adalah sebuah kesatuan lanskap yang tidak ditemukan di tempat lain, yang membuatnya memiliki international value,” katanya.

 

Panorama Kampung Berua, kawasan Rammang-rammang, Desa Salenrang, Maros, Sulsel. Foto : Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

Baca juga: Kisah Belantara Karst Maros Pangkep yang Menakjubkan

 

Di Geopark Maros Pangkep juga terdapat sekitar 500-an gua, yang pernah ditinggali manusia pra sejarah, yang salah satunya merupakan lukisan gua tertua di dunia yang berada di Leang Tedonge, berumur 45.500 tahun.

Di kawasan Geopark Maros Pangkep juga terdapat Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sebagai tempat hidupnya sejumlah flora fauna endemik.

Muhammad Ikhwan atau dikenal dengan nama Iwan Dento, aktivis lingkungan Rammang-rammang Maros, berharap kehadiran UNESCO Georpark ini bisa memberi perlindungan terhadap keberadaan dan keberlangsungan karst yang ada di Maros Pangkep.

“Kita berharap ke depan perjuangan keadilan ekologi dan sosial bisa diperjuangkan bersama, tetapi tidak mengesampingkan keterlibatan masyarakat.”

Penetapan kawasan ini pun akan mendorong akses ke internasional untuk pariwisata juga semakin terbuka.

“Kami berharap pihak Geopark Maros Pangkep nantinya dalam melakukan konservasi tidak mengabaikan kepentingan ekonomi masyarakat, karena apapun akan dilakukan oleh masyarakat kalau kondisi ekonomi terancam, termasuk merusak.”

 

 

 

 

Diskusi Buku Merawat Rammang-rammang sebagai Warisan Dunia

Sebelumnya, Sabtu (1/4/2023) silam, Mongabay Indonesia telah menggelar launching buku salah satu geosite Maros Pangkep yang unik, yaitu Rammang-Rammang.  Buku setebal 213 halaman ini ditulis penulis dari kalangan jurnalis, aktivis dan akademisi.

Bupati Maros HAS Chaidir Syam menyambut baik buku ini yang menurutnya akan menjadi legasi dan referensi untuk dokumen ke UNESCO.

“Kalau Geopark Maros Pangkep menjadi warisan dunia, buku ini menjadi warisan bagi masa depan anak-anak kita semua, menjadi catatan sejarah di tengah kita berjuang memelihara, mempertahankan dan juga melestarikan kawasan Geopark Maros Pangkep ini. Geosite Rammang-rammang ini menjadi identik bahwa wajah Geopark Maros Pangkep,” katanya.

Dia mengatakan, kawasan wisata dengan pesona pegunungan kapurnya ini harus dijaga dan dirawat bersama-sama, bukan hanya tugas pemerintah daerah yang merawat tapi seluruh pihak, bahkan masyarakat dunia, karena telah berstatus kawasan geopark dunia.

 

Penyerahan buku dari Ridzki R. Sigit, Head of Operation Mongabay Indonesia kepada Bupati Maros HAS Chaidir Syam dalam peluncuran buku ‘Merawat Rammang-Rammang: Upaya Selamatkan Ekosistem Karst Unik Sulawesi” di Rammang-rammang, Kabupaten Maros, Sabtu (1/4/2023). Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Syam selanjutnya berjanji akan menjadikan buku itu sebagai bacaan wajib bagi para siswa sekolah dasar hingga jenjang menengah atas agar mengetahui dan memahami pentingnya menjaga ekosistem karst unik Sulawesi itu.

Ridzki R. Sigit, Head of Operation Mongabay Indonesia mengatakan buku ini menggabungkan antara pengalaman pribadi, observasi, kajian literatur dan tentunya wawancara dengan berbagai pihak pemangku kepentingan.

“Kami melihat di sinilah pentingnya kita membangun suatu narasi, di mana rekan-rekan penulis telah membuat dokumentasi yang tertulis. Bayangkan 5 atau 10 tahun lagi, tulisan yang dibuat pada tahun 2022-2023, nantinya bisa jadi rujukan peristiwa yang terjadi.”

Bagi jurnalis, tambahnya, buku ini menjadi penting karena juga akan menjadi watchdog ketika suatu saat nanti terdapat faktor-faktor yang bisa menyebabkan kerusakan lingkungan, khususnya di Rammang-rammang.

 

Artefak lukisan babi kutil yang ada di Leang Tedongnge, Kampung Biku, di kawasan karst Maros-Pangkep, Sulsel. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Baca juga: Buat Bangga, Lukisan Gua Tertua di Dunia Ternyata ada di Indonesia

 

Iwan Dento, sebagai aktivis penggagas dan penggiat lingkungan di Rammang-rammang, menyatakan buku ini sebagai sebuah rangkuman perjalanan proses mereka dilakukan selama 10 tahun terakhir.

“Ini adalah penghargaan tertinggi bagi kami, orang-orang dan komunitas yang selama ini berjuang untuk Rammang-rammang,” katanya.

Iwan juga mengapresiasi upaya Pemerintah Daerah Maros pada tahun 2013 silam yang mengeluarkan moratorium izin tambang.

“Ini moratorium pertama menurut saya, tak ada bupati yang berani mengeluarkan moratorium terkait izin tambang pada saat itu selain yang dilakukan Pemda Maros.”

Iwan Sumantri, arkeolog dari Universitas Hasanuddin berharap buku ini nantinya bisa membawa pesan-pesan keilmuan terkait moralitas dan terkait lingkungan ke publik. Dia mendorong agar ke depan buku serupa akan ditulis oleh orang Rammang-rammang sendiri.

 

Kawasan ekowisata Rammang-Rammang, salah satu geosite yang merupakan bagian dari kawasan geopark Maros-Pangkep. Foto : Suriani Mappong

Baca juga: Dukungan Ragam Kuliner Kembangkan Ekowisata Rammang-Rammang

 

Pentingnya Bentang Kawasan Karst

Masri Tajuddin, salah satu penulis buku ini menjelaskan pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh selama menulis buku ini.

“Dari penjelasan yang saya terima, menarik mengetahui bahwa lukisan gua adalah sebuah ekspresi nenek moyang saat sedang bersantai, saat  kehidupan telah sejahtera menimbulkan keinginan untuk menikmati seni,” katanya.

Nenek moyang pun berdasarkan penelusuran karbon, telah memilah jenis hewan buruan, yang hanya menangkap yang hewan dewasa.

“Ini artinya sudah ada kesadaran ekologis pada saat itu,” tambahnya.

Suryani Mappong, penulis dari kalangan jurnalis, mengatakan proses penulisan buku ini adalah tantangan tersendiri baginya.

“Saya menulis dari sisi ekowisata dan menemukan bahwa proses Rammang-rammang menjadi kawasan wisata adalah suatu jalan yang panjang, tidak serta merta menjadi ekowisata.”

Dia berharap tulisan dalam buku dapat menjadi motivasi bagi pengelola wisata dan masyarakat lainnya. Dengan pola pikir yang ada, masyarakat tak perlu berlomba menjajakan apa yang berasal dari luar, atau membangun rumah dalam kawasan, yang justru dapat merusak keasrian Rammang-Rammang.

 

Mongabay Indonesia telah menerbitkan buku berjudul ‘Merawat Rammang-Rammang: Upaya Selamatkan Ekosistem Karst Unik Sulawesi”  Buku ini dapat diperoleh dan diunduh cuma-cuma di tautan ini atau scan barcode di bawah ini. Silakan untuk mengisi form yang disediakan terlebih dahulu.

 

***

Foto utama; Lansekap kawasan karst Maros Pangkep, Sulawesi Selatan yang indah dan menakjubkan. Foto: Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Exit mobile version