Mongabay.co.id

Cerita Sedih Suku Balik, Terasing Ditengah Hadirnya IKN Nusantara

 

 

Rimba [57] tengah memanen tanaman obat di samping rumahnya, di Jalan Datu Nondol, Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara [PPU], Kalimantan Timur. Dia tidak memiliki kebun, hanya mengandalkan pekarangan rumah yang dijadikan  apotek hidup mini.

“Ini tanaman obat, ada jeringau, serai, pasak bumi, kelor, dan akar-akaran,” terangnya, Rabu [08/03/2023].

Lelaki ini dikenal sebagai penyembur atau tukang sembur, istilah pengobatan ringan bagi Suku Balik. Pendapatan dari profesinya itu digunakan untuk menopang ekonomi keluarga.

“Namanya tukang sembur ya menyembur saja, biayanya juga seikhlasnya. Tidak boleh meminta,” sebutnya.

Rimba adalah satu dari ratusan warga Suku Balik yang rumahnya terancam direlokasi akibat pembangunan proyek intake Sungai Sepaku. Meski menolak, dia tidak pernah unjuk rasa atau menemui pemerintah daerah setempat. Dia memilih fokus bekerja setiap hari.

“Saya ini punya keluarga, harus mencari uang untuk makan besok.”

Sebelum ada desas-desus relokasi, Rimba dan puluhan warga Jalan Datu Nondol pernah berupaya mengurus legalitas kepemilikan tanah. Mereka memiliki surat segel untuk sebidang tanah yang mereka tempati. Segel tersebut diserahkan ke pemerintah derah setempat untuk pemutihan atau mengganti dengan surat hak kepemilikan tanah.

“Urusannya belum selesai lalu proyek pembangunan Ibu Kota Negara [IKN] Nusantara berjalan. Sampai sekarang, kami tidak tahu di mana surat segel itu,” paparnya.

Di rumahnya, bukan hanya Rimba dan istri yang mendiami, ada juga anak, menantu, serta cucunya. Mereka tidak memiliki tanah lain untuk membangun rumah.

“Kalau ada rezeki lebih, mungkin kami bisa menabung, tapi untuk sehari-hari saja kami mengandalkan hasil dari menyembur dan pergi ke hutan. Kami bukan tidak khawatir pembangunan IKN, tapi lebih cemas dengan nasib keseharian,” katanya.

 

Rimba, warga Suku Balik yang hidupnya terasing ditengah hingar-bingar hadirnya IKN Nusantara. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Lebih percaya sembur

Suku Adat Balik merupakan komunitas kecil yang jumlahnya tidak lebih dari 1.000 jiwa [200 KK]. Di Sepaku, mereka tersebar di Desa Bumi Harapan, Kelurahan Sepaku, dan Kelurahan Pemaluan yang masuk kawasan inti IKN Nusantara.

Sebagai warga PPU, masyarakat Adat Suku Balik memiliki BPJS kelas 3 yang biayanya dibebankan ke Pemkab PPU. Di Sepaku, terdapat fasilitas Rumah Sakit Umum Daerah [RSUD] dengan ruang rawat inap beserta peralatan medis untuk pelayanan tersebut.

Namun, warga Suku Balik jarang menggunakan BPJS. Alasannya, pengobatan tradisional dipercaya lebih manjur dan cepat sembuh.

“Efeknya lebih cepat terlihat. Tapi, kembali ke masing-masing orang, kalau kami sekeluarga mengutamakan pengobatan tradisional,” lanjut Rimba.

Beberapa penyakit yang mungkin bisa disembuhkan oleh penyembur adalah maag akut, sakit jelang melahirkan, ambeien, keputihan pada wanita, demam tinggi, sakit kuning,  malaria, juga campak.

Untuk penyakit kiriman seperti santet atau pelet, hanya bisa disembuhkan oleh mulung dukun yang memiliki kemampuan tersebut.

“Penyembur hanya bisa meringankan rasa sakit fisik yang dialami pasien.”

Untuk menyembuhkan penyakit, Rimba hanya menggunakan hari baik. Hari Jumat dipercaya dapat melebur segala macam penyakit. Metode penyembuhan dilakukan dengan cara tidak menyentuh pasien.

Rimba hanya menggunakan obar herbal yang diramu menjadi minuman dan air sebagai media jampi-jampi yang sebelumnya sudah diberi bacaan doa. Air itu boleh diminum atau dimandikan pada pasien.

“Boleh percaya atau tidak, tapi jika yakin, segala penyakit akan sirna. Ini bagian kepercayaan yang belum hilang pada Masyarakat Adat Suku Balik,” ungkapnya.

 

Rimba merupakan penyembur atau tukang sembur, istilah pengobatan ringan bagi Suku Balik. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Sejarah yang terlupakan

Sebelum Sepaku ditetapkan sebagai wilayah IKN Nusantara, tidak banyak yang tahu tentang Suku Balik. Dulunya, Suku Balik dikenal sebagai Suku Paser, padahal keduanya berbeda. Bahasa yang digunakan Suku Paser dapat dimengerti Suku Balik, namun Bahasa Suku Balik tidak dimengerti suku lain.

Rimba merupakan kerabat Ketua Adat Suku Balik, Sibukdin. Keduanya kakak beradik, namun berbeda ibu. Orangtua mereka adalah saksi sejarah Suku Balik sejak Indonesia belum merdeka. Rimba maupun Sibukdin lahir di hutan belantara di Sepaku.

Seperti Rimba, Sibukdin juga masih ingat bagaimana perjuangan Suku Balik mempertahankan ruang hidupnya yang terus tergerus. Cerita bermula pada 1942, ketika terjadi perang besar di wilayah adat Suku Balik di Balikpapan.

Saat itu, Suku Balik hidup di pesisir Kota Balikpapan. Wilayah adatnya adalah daerah kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Adji Muhammad Sulaiman. Suku Balik yang tinggal di hutan, kerap membuat papan untuk menyuplai kebutuhan Kerajaan Kutai. Tersebutlah nama Kota Balikpapan, yang berasal dari Suku Balik penghasil papan.

“Cerita leluhur itu Balikpapan berasal dari nama Suku Balik dan hasil papan yang sering dibawa ke Kerajaan Kutai. Mungkin catatan sejarah sudah berubah, tapi faktanya Suku Balik dulu adalah warga asli Balikpapan,” kata Sibukdin, Kamis [09/03/2023].

Setelah terjadi perang, warga yang ketakutan bersembunyi di hutan. Mereka berada di batas terakhir wilayah adat yang kini menjadi Kecamatan Sepaku.

“Sepaku ini wilayah adat terakhir milik Suku Balik. Sudah paling ujung, itu juga alasannya kenapa kami tidak bisa pindah. Ini rumah kami sejak Indonesia belum merdeka,” sebutnya.

Sejak pindah ke Sepaku, Suku Balik tenggelam dan tidak pernah mengenal budaya mereka. Hingga Indonesia merdeka, Kesultanan Kutai pun menyerahkan wilayahnya kepada NKRI. Suku Balik sendiri, tetap memilih berdiam di Sepaku.

 

Tampak seorang perempuan suku Balik memetik tanaman di kebunnya. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Sekitar tahun 1970,  untuk pertama kalinya Suku Balik kedatangan tamu. Pemerintah membuat program transmigrasi dari Pulau Jawa ke wilayah Sepaku Semoi. Para transmigran diberi sebidang tanah yang luasnya satu hektar, lengkap dengan legalitas dari pemerintah.

Seiring datangnya transmigran, Sepaku juga kedatangan perusahaan hutan tanaman industri [HTI] dan perkebunan sawit. Tanah-tanah milik warga mulai dijualbelikan. Saat itu, masyarakat Suku Balik tidak mengerti pentingnya legalitas tanah. Ladang-ladang yang mereka miliki bisa dijual dengan harga murah, sesuai kebutuhan.

“Bahkan, dulu ada tetangga saya yang menukar satu hektar tanahnya dengan radio dari jawa. Kami tidak teliti soal legalitas tanah, kami juga tidak tahu kalau Sepaku ini bisa jadi Ibu Kota Negara,” kisah Sibukdin.

Pada pertengan Desember 2019, Presiden Jokowi menetapkan Kecamatan Sepaku sebagai titik Ibu Kota Negara [IKN] Nusantara. Keadaan itu juga digunakan Sibukdin bersama warga adat lain untuk berkumpul, memutuskan bangkit untuk memulihkan adat kebudayaan Suku Balik yang terlupakan.

“Kami akan membangkitkan lagi tradisi budaya dan adat Suku Balik. Kami ingin Suku Balik dikenal sebagai penduduk asli IKN Nusantara. Dimulai dari kearifan lokal, kami ingin melindungi Suku Balik dari ancaman pembangunan yang masif,” paparnya.

 

Saat hutan makin tergerus, masyarakat Suku Balik mengandalkan hasil padi di sawah maupun tanaman di kebunnya. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Menghidupkan kembali budaya

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN] Kalimantan Timur Saiduani Nyuk mengatakan, kebudayaan adat Suku Balik nyaris hilang seiring banyaknya pendatang di wilayah Sepaku. Sejak tahun 90-an, kehidupan berbudaya yang sebelumnya sangat kental, tergerus faktor sosial yang membuat warganya malu menunjukan identitas Suku Balik.

“Mereka pernah merasa terkucilkan di wilayah mereka sendiri. Itu faktor kehidupan sosial, karena banyak pendatang di Sepaku. Sebagai warga lokal, jumlah mereka tidak banyak. Mereka minder karena dinilai kolot, lalu mulai meninggalkan tradisi adat,” jelasnya, Sabtu [25/03/2023].

Saiduani mengungkapkan, hilangnya tradisi dan kebudayaan adat Suku Balik dipengaruhi banyak faktor, namun utamanya akibat hutan yang terdegradasi. Tahun 1970-an, PT. Internasional Timber Corporation Indonesia [ITCI] Kartika Utama hadir, yaitu perusahaan logging. Tidak berselang lama, program transmigrasi mendatangkan ratusan orang ke Sepaku.

Setelah itu, sebagian wilayah Sepaku juga menjadi hak guna usaha [HGU]. Warga Suku Balik terpaksa menjalani hari-hari dengan mengubah kebiasaan mereka. Terlebih hutan mulai  gundul, sehingga tidak lagi menyediakan kebutuhan ritual adat mereka.

“Adat itu sangat beririsan dengan ritual. Suku Balik tak bisa lagi membuat ritual kebudayaan karena bahan-bahan untuk ritual sudah tidak ada di hutan. Mereka butuh hutan, bukan hanya untuk ritual tapi juga menunjang kehidupan mereka,” ujarnya.

Dijelaskan Saiduani, semua warga Suku Balik masih mengingat jelas tradisi dan sejarah para leluhurnya. Mereka berniat menghidupkan kembali semua kebudayaan itu untuk pengakuan identitas di wilayah IKN.

“AMAN Kalimantan Timur bekerja sama dengan komunitas adat membangun studi etnografi dan peta wilayah adat. Kami bangun kembali wilayah adat dan kebudayaan mereka. Salah satunya, sekolah adat Suku Balik di Sepaku.”

Dari hasil penelitian AMAN Kaltim, Suku Balik terbagi empat komunitas, yakni Sepaku, Mentawir, Maridan, dan Pamaluan.

“Mereka masih ada dan harus diakui. Warga Suku Balik masih ingat secara utuh aktivitas dahulu dan ritualnya. Semua masih bisa didokumentasikan. Kami tengah menyusun peta partisipatif secara rinci dan global wilayah adat di IKN,” imbuhnya.

 

Ketua Adat Suku Balik, Sibukdin, yang paham betul akan kondisi masyarakatnya. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten PPU, Pitono, menyebutkan Kabupaten Penajam Paser Utara [PPU] belum memiliki peraturan daerah perlindungan masyarakat hukum adat. Namun, PPU telah mengesahkan Peraturan Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Pelestarian dan Perlindungan Adat Paser.

“PPU tengah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pelindungan dan Pelestarian Budaya Adat Kerajaan Nusantara. RUU itu diinisiasi DPD RI,” ungkapnya, Selasa [11/04/2023].

Dijelaskan dia, di Kabupaten PPU, terdapat kelompok-kelompok masyarakat dengan identitas kedaerahan atau adat tertentu dari suku-suku asli Kalimantan Timur. Identitas kedaerahan atau nilai budaya inilah yang harus dilestarikan. RUU tersebut tidak merujuk pada salah satu suku saja, namun semua suku yang ada di PPU.

“PPU ini kan seperti daerah kebhinekaan, banyak suku yang hidup berdampingan. RUU ini bertujuan melindungi dan melestarikan semua budaya adat yang ada di PPU dan di IKN Nusantara,” jelasnya.

 

Peta Wilayah Adat di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Peta: AMAN Kaltim

 

IKN milik semua masyarakat Indonesia

Deputi Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita Ibu Kota Nusantara [OIKN], Myrna Asnawati Safitri, menyebutkan IKN adalah Indonesia. Pihaknya tidak akan membuat kebijakan yang merugikan semua kalangan, terutama masyarakat adat di wilayah IKN.

“Itu bentuk pengakuan terhadap masyarakat adat,” katanya, Rabu [15/03/2023].

Dijelaskan dia, persoalan tanah yang tengah dihadapi masyarakat adat seharusnya sudah selesai sejak lama. Badan OIKN selalu memerhatikan beragam keluhan dan segera menyelesaikan segala permasalahan, baik itu persoalan tanah maupun legalitas kepemilikan.

“Tidak semua masalah itu dilimpahkan ke OIKN, tapi karena ini berada di wilayah IKN ya kami harus terima. Persoalan legalitas juga akan diperhatikan,” sebutnya.

Dia melanjutkan, prinsip pembangunan IKN tidak merugikan kelompk masyarakat manapun terlebih lokal atau masyarakat adat. Pemerintah memerhatikan dari segala aspek, baik itu kesehatan, ekonomi, sosial dan budaya.

“Segala isu akan tetap diperhatikan, apalagi kelompok rentan seperti lansia, perempuan, dan anak -anak. Segala isu akan tetap diperhatikan, menjadi list untuk ditanggapi dan dicari solusi bersama,” ujarnya.

Terkait masalah identitas masyarakat adat yang melekat di IKN, Myrna menjawab, jika IKN adalah miliki semua warga Indonesia. Tidak membedakan satu suku. Semua suku ada di dalamnya.

“Pembangunan IKN tidak akan menghapus identitas lokal yang ada. Harus diingat, IKN milik kita semua. Identitas yang ada adalah identitas nasional, tidak mengurangi identitas kesukuan yang lain,” sebutnya.

Badan OIKN pun tengah mengkaji kebijakan yang mungkin berbentuk pengakuan masyarakat adat di wilayah IKN.

“Bila selesai akan kami konsultasikan ke masyarakat adat,” pungkasnya.

 

Liputan ini merupakan program Environmental Citizen Journalism Program 2023 yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Forest Watch Indonesia [FWI].

 

Exit mobile version