Mongabay.co.id

Kala Warga Tebo Berkonflik Lahan dengan Perusahaan Karet Grup Michelin

 

 

 

 

Sore itu, Ali tengah khusuk berdoa, di bawah batang sawit. Tak jauh darinya, pondok semi permanen porak-poranda. Atap, dinding, tiang hancur berserakan.

Pada 7 November 2022 malam, sebelum orang-orang di Muaro Sekalo, Kabupaten Tebo, Jambi,  sembahyang Isya, delapan gajah keluar dari hutan Mandelang, menyeberangi sungai menuju perkebunan warga.

Mereka lapar masuk kebun sawit dan mengobrak-abrik pondok beserta isinya. Daun-daun sawit muda berantakan, tercerabut dari batang. Kotoran di mana-mana. Hujan yang turun beberapa malam membuat tanah gembur dan jejak gajah begitu kentara.

Sumiarsih, adik ipar Ali, hanya bisa menangis, meratapi pondoknya. “Salah apa aku, kok dirusak gini? ”

Malam sebelumnya, kawanan gajah itu juga merusak pondok dan kebun sawit seorang pendeta di sebelahnya.

Ali bilang, sudah dua kali gajah masuk, Maret dan November 2022.

Hidup Ali dan keluarga, terbilang susah. Beli atap pondok rumah sampai ngontrak kebun sawit pun utang.

Sebetulnya, Ali dan keluarga bisa hidup cukup dari hasil kebun karet namun keadaan berubah ketika rombongan lelaki tak dikenal mendatangi rumah Supartin—sekarang istri Ali– di Dusun Sungai Rambutan, Desa Semambu, Kecamatan Sumay, Tebo, akhir 2018.

Perempuan 54 tahun itu dipaksa menyerahkan 16 hektar kebun karet karena diklaim masuk konsesi PT Lestari Asri Jaya (LAJ). Supartin takut, bingung mau mengadu kepada siapa. Hampir setiap hari orang suruhan LAJ mendatangi rumahnya. Ali melihat preman kampung dan seorang yang diduga aparat kepolisian ikut dalam rombongan.

Pada 2 Januari 2019, 10 hari sebelum acara pernikahan dengan Ali, alat berat LAJ masuk dan meratakan kebun karet Supartin.

“Istri saya [Supartin] waktu itu janda, sering didatangi preman-preman, akhirnya mau nggak mau-lah, akhirnya pasrah,” kata Ali.

LAJ memberi Rp1 juta sebagai ganti rugi kebun karet 14 hektar. “Sekarang sisa dua hektar itu untuk nyambung umur, untuk cari menir.”

Konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan berawal ketika LAJ mendapatkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman (IUPHHK-HT) untuk perkebunan karet seluas 61.495 hektar di Kecamatan Sumay, Serai Serumpun, VII Koto Ilir dan VII Koto, Tebo, Jambi.

Mulai Maret 2010, LAJ mendapatkan izin membabat hutan di Desa Semambu, Suo-suo, Muara Sekalo, Madelang, Sungai Salak hingga Pemayungan.

Dari laman situs perusahaan menyebutkan, LAJ merupakan anak usaha PT Royal Lestari Utama (RLU), perusahaan Michelin Group—produsen ban terbesar di dunia asal Prancis. RLU dibentuk pada 2015, hasil patungan Michelin Group dengan Barito Pasific Group.  Michelin memiliki saham 49% dan Barito 51%.

Pada Juli 2022, Michelin mengakuisisi RLU sebagai pemegang saham tunggal.

RLU punya visi jadi perusahaan karet alam terkemuka di dunia. Ia ingin menunjukkan, kalau karet alam dapat diproduksi berkelanjutan dan ekonomis dengan melindungi hutan dan keanekaragaman hayati, serta meningkatkan mata pencaharian masyarakat lokal.

Pada 2018, RLU menerima obligasi keberlanjutan US$95 juta dari Tropical Landscapes Finance Facility (TLFF)—proyek kemitraan antara UNEP, World Agroforestry Center, AMD Capital, dan BNP Paribas—untuk program pengendalian iklim, ramah satwa liar dan produksi karet alam yang inkusif secara sosial. RLU jadi korporasi pertama penerima dana kemitraan ini di Asia.

“Setelah mendapat dana TLFF, justru dipakai untuk modal mengintidasi masyarakat,” kata Abdullah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi, merujuk pada meningkatnya kasus intimidasi oleh LAJ dalam rentang 2017-2020 dalam mengusai lahan masyarakat.

Dia menduga, laporan RLU kepada TLFF tak menggambarkan kondisi sebenarnya di lapangan. Bahkan,  ada indikasi tanda tangan beberapa perwakilan desa dalam dokumen sosialisasi analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal) LAJ, dipalsukan.

Dalam laporan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Frankfurt Zoologicaal Society (FZS), Eyes on the Forest dan WWF Indonesia, berjudul “Last Chance to Save Bukit Tigapuluh” yang rilis 14 Desember 2010, menyebut, perusahaan konsultan yang ditunjuk LAJ untuk menyelesaikan studi amdal menambahkan tanda tangan dari lima perwakilan desa secara tidak benar ke daftar peserta pertemuan sosialisasi amdal pada September 2009.  Wakil desa itu diketahui tak hadir dalam pertemuan.

Meski demikian, katanya, LAJ tetap mendapatkan izin IUPHHK-HTI berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 141/Menhut-II/2010 tertanggal 31 Maret 2010, untuk empat blok konsesi HTI berdasarkan amdal yang jelas-jelas cacat. LAJ juga mengantongi kelayakan lingkungan lewat surat keputusan Gubernur Jambi No.10/Kep.Gub/BLHD/2010.

Mongabay menemui Ishak,  mantan Kepala Desa Pemayungan akhir tahun lalu. Dia menjabat Kades Pemayungan periode 1998-2010. Di akhir jabatannya LAJ masuk Pemayungan.

Ishak bilang, tidak pernah menandatangi dokumen sosialisasi amdal LAJ.  “Sayo jugo kaget kok ado tanda tangan sayo,” katanya.

Selain Ishak, ada beberapa kepala desa lain yang ikut tanda tangan, tetapi dia tidak tahu apakah juga dipalsukan.

Kasus dugaan pemalsuan tandatangan itu sempat dilaporkan ke Mabes Polri. Tetapi Ishak memilih tidak melanjutkan, setelah Mabes Polri menyerahkan kasus itu pada Polda Jambi, kemudian dilimpahkan ke Polres Tebo.

“Saya tidak mau lagi. Kalau di atas [Mabes Polri] aja nggak selesai, apalagi di bawah. Orang (LAJ) banyak duit.”

 

 

Sumiarsih berdiri di sebelah pondoknya yang telah rata dengan tanah dihancurkan kawanan gajah. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

 

 

Surat “cinta”

Konflik lahan antara masyarakat dengan LAJ memanas. Warga di Pemayungan yang ditemui Mongabay menyatakan, dapat surat panggilan polisi. Suparjo—bukan nama sebenarnya—tiga kali dikirimi surat panggilan dari Polres Tebo.

Dalam surat tertanggal 17 Oktober 2019  yang ditunjukkan pada Mongabay, tertulis Unit Hardabangtah Sat Reskrim Polres Tebo sedang melakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana kehutanan sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Surat itu tidak berlanjut, setelah kebun karet bapaknya diserahkan pada LAJ.

“Banyak yang dapat ‘surat cinta’ dari polisi. Ditakut-takuti kalau [lahan] tidak diserahkan masuk penjara, ditangkap polisi,” katanya.

Pada 7 November 2020,  Sup ditangkap polisi karena membakar tumpukan kayu bekas tumbangan—warga menyebutnya merun. Dia bebas setelah 20 hektar lahan diserahkan ke LAJ.

Berbagai cara dilakukan perusahaan untuk menguasai kebun masyarakat. Mulai dari gunakan preman, aparat kepolisian, petugas kehutanan, terkadang kebun warga diukur diam-diam kemudian digusur.

Sams, petani di sana mulai masuk Pemayungan sejak 2008, menetap 2011. Dia sempat didatangi karyawan LAJ, bersama aparat kepolisian dan pegawai Dinas Kehutanan. “Orang Kehutanan ngomong pasal-pasal, pusing kito dibuatnyo, kito dibilang merambah hutan.”

Dia akhirnya pasrah ketika kebun karet dan sawit seluas 1,5 hektar digusur LAJ pada 2018. Sams hanya dapat ganti rugi Rp3 juta. “Kalau tidak mau menyerahkan akan digusur semua.”

Ishak pun setelah tak menjabat kepala desa, bolak-balik didatangi orang perusahaan diminta menyerahkan kebun karetnya. “Sehari bisa dua kali datang ke rumah. Kalau tidak mau menyerahkan lahan baik-baik, keno dumas [diambil paksa].”

Pada 2019, Ishak akhirnya merelakan kebun karet seluas tujuh hektar dan belukar lima hektar diambil LAJ. Dia dapat ganti rugi Rp57 juta. Lahan itu jadi kawasan konservasi untuk satwa liar.

“Karena takut dapat surat cinta itulah saya serahkan,” kata Ishak. “Kalau dulu salah sedikit, dihukum.”

Anggota Serikat Tani Sumai Mandiri (STSM) yang dibentuk 2018, dan diketuai Aposan Sinaga juga banyak yang mendapat surat cinta dari Polres Tebo. Ujung-ujungnya mereka diminta menyerahkan kebun pada LAJ.

“Tidak dirampas, ado ganti rugi, tapi judulnyo sudah ganti rugi, ya tetap rugi,” kata Sumbasri.

“LAJ meski memberikan ganti rugi, tetapi lahan itu didapat dari hasil intimidasi. Kadang-kadang itu yang diadunya sesama masyarakat. Kalau sekira orang itu agak sulit baru ada surat cinta.”

 

Kebun karet PT Lestari Asri Jaya di Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

 

Bukan tanah kosong

Sumbasri termasuk orang lawas.  Dia pertama kali masuk Desa Pemayungan pada 1975, usaha kayu bulat. Waktu itu,  wilayah Muaro Sekalo, Blimbing, Semambu hingga Pemayungan,  bukan tanah kosong.

Dia ingat warga sudah banyak tinggal, ada mesjid dan sekolah patikulir. Di Pemayungan,  ada rumah tua milik Depati Darani—pemimpin dusun—yang dibangun 1941.

Konsesi LAJ merupakan bekas izin PT Industries et Forest Asiatiques (IFA), perusahaan kayu asal Prancis yang dibeli Barito. IFA mendapatkan izin konsesi lebih 100.000 hektar pada 1970-an. Izin berakhir sekitar 2007. Pasca reformasi 1998,  perusahaan itu sudah tak beroperasi.

Selama IFA beroperasi di Tebo, katanya,  ada 300 keluarga dari program transmigrasi yang tinggal di dalam konsesi. Ada juga warga lokal, sekitar 150 keluarga  tetapi tak pernah terjadi konflik.

Sekitar 2003, banyak warga masuk kawasan hutan bekas IFA untuk membuka kebun. Perambahan makin marak setelah PT Wira Karya Sakti (WKS),  Sinarmas Grup membangun jalan koridor—untuk mengangkut kayu—yang membelah kawasan hutan bekas izin IFA, pada 2007. “Karena ini open acess, jadi masyarakat terus masuk,” kata Abdullah.

Setidaknya,  dalam tiga tahun terahir, masih banyak orang dari luar Jambi datang dan menggarap puluhan hektar kebun sawit di dalam kawasan izin LAJ.

Hasil pemetaan partisipatif Walhi Jambi bersama masyarakat menunjukkan, hampir sepertiga dari 33.687 hektar luas wilayah Desa Pemayungan masuk izin konsesi LAJ. Sebagian masuk izin konsesi PT Wanamukti Wisesa—anak usaha RLU lainnya—dan sebagian jadi Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Hanya 2.483 hektar area penggunaan lain (APL) yang aman digarap masyarakat. Masalah ini, katanya,  memicu konflik berkepanjangan.

Karmila Parakkasi, Head of Sustainability PT. Rolyal Lestari Utama mengklaim masyarakat menerima dan setuju dengan kehadiran LAJ, termasuk rencana pembangunan perkebunan karet.

“Berdasarkan diskusi dengan masyarakat saat penilaian terintegrasi Nilai Konservasi Tinggi dan Stok Karbon Tinggi  2019-2021, baik saat scoping study maupun saat penilaian penuh, serta saat konsultasi publik amdal, masyarakat umumnya menerima,” katanya dalam jawaban tertulis yang dikirim pada Mongabay, 2 Mei 2023.

Dia juga bilang, perusahaan mengedepankan dialog terbuka dengan masyarakat sesuai prinsip-prinsip persetujuan informasi di awal tanpa paksaan (padiatapa).

LAJ tidak akan melakukan persiapan lahan yang telah dikelola masyarakat tanpa ada kesepakatan (MoU). Bahkan memberikan “tali asih” untuk lahan-lahan non produktif yang sebelumnya diklaim milik masyarakat.

“Tali asih merupakan good will payment yang diberikan pada masyarakat yang terlanjur menggarap lahan.”

Karmila mengaku, telah menawarkan skema kemitraan kehutanan dan skema pengembalian lahan sebagai upaya penyelesaian konflik. Tetapi sebagian masyarakat keliru dan mengira area izin LAJ merupakan bagian dari tanah obyek reforma agraria (tora), hingga mereka menolak tawaran perusahaan.

“Kehadiran perusahaan bertujuan mengembalikan kawasan ini melalui penanaman karet berkelanjutan dan konservasi, serta meningkatkan penghidupan masyarakat.”

Dia menyebut setidaknya ada 50.000 jiwa yang hidup di sekitar konsesi LAJ. Saat ini, LAJ dan Wanamukti Wisesa membentuk 13 kelompok tani hutan dengan 300 anggota petani. Luas lahan garapan mencapai 1.200 hektar.

“Empat KTH mendapatkan SK persetujuan Kemitraan Kehutanan dari Menteri LHK, selebihnya tengah berproses.”

Karmila mengklaim, pendapatan petani mitra LAJ meningkat rata-rata 30% dari kegiatan community partnership program (CPP).

Sebagian warga tak ingin kemitraan. Mereka mau berdaulat kelola lahan yang jadi ruang hidup. Sumbasri ingatkan pemerintah tak hanya mementingkan perusahaan, harus memikirkan masyarakat kecil.

“Pemerintah kalau tidak butuh masyarakat lagi, dibunuhi saja, dibom. Jadi tinggal pemerintah dan perusahaan, jadi aman dia. Tanah ini luas ini kalau masyarakat sudah dihabisi,” katanya penuh emosi.

Masyarakat akan merasa dapat perhatian pemerintah kalau kebun mereka di kawasan hutan bisa dikelola tanpa khawatir terjadi konflik.

“Kalau itu [lahan] diberikan pemerintah sesuai peraturan, Insyallah kami bisa hidup. Pemerintah tolong kami masyarakat yang lemah ini dibina, jangan dibinasahkan.”

 

Kebun sawit dan rumah warga di Wilayah Cinta Alam (WCA) untuk area konservasi dan habitat satwa liar PT LAJ. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia
Peta konsesi PT Lestari Asri Jaya di Tebo. Sumber: Walhi Jambi

 

*******

Exit mobile version