Mongabay.co.id

Anak-anak Torosiaje Mulai Terimbas Krisis Iklim

 

 

 

 

 

 

 

Tiga anak perempuan sedang menunggu ojek perahu di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, 10 Mei pagi.  Kamelya Ika, Ningsa Mado dan Arisa Majid. Ketiga anak itu dalam perjalanan ke sekolah di SMA Negeri I Popayato, sekitar lima kilometer dari rumah mereka.

Ketiganya berumur 16 tahun dan duduk di kelas 10. Menunggu ojek perahu merupakan rutinitas setiap pagi karena satu-satunya alat transportasi menuju darat. Desa mereka berada di laut sekitar 600-an meter dari daratan.

Beberapa menit kemudian, yang ditunggu tiba. Sebuah perahu kayu berukuran sekitar satu meter sepanjang lima meter menghampiri. Saat perahu bersandar, tiga anak perempuan Suku Bajo ini naik dengan berhati-hati.  Arisa duduk paling depan. Kamelya dan Ningsa di bangku kedua dan ketiga.

Sekitar lima menit  mereka sampai pelabuhan kecil yang jadi titik kumpul ojek perahu. Sampai pelabuhan, jasa ojek perahu dibayar Rp2.000 per anak–ini berlaku bagi pelajar, tidak untuk masyarakat umum atau wisatawan.

Berikutnya tiga anak Bajo ini berjalan 100 meter ke pemukiman mencari ojek bentor (becak motor) untuk lanjut perjalanan. Per anak bayar Rp5.000 sampai sekolah. Ongkos pulang-pergi sekolah tiap anak Rp14.000 setiap hari, belum termasuk uang jajan.

“Setiap hari, saya membawa uang Rp20.000, Rp14.000 untuk membayar ojek perahu dan bentor. Sisanya Rp6.000, saya gunakan membeli makanan pada jam istirahat pelajaran,” kata Ningsa Mado kepada Mongabay.

Di Gorontalo,  pendidikan gratis sudah berlaku sejak taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Untuk anak-anak Bajo, biaya Pendidikan tetap ada, setidaknya untuk menutup ongkos pergi-pulang sekolah.

Meski biaya sekolah gratis, tetapi mereka harus mengeluarkan uang setidaknya Rp520.000 setiap bulan agar bisa mengenyam pendidikan.

“Orang tua kita kewalahan. Mau tidak mau semua harus dipenuhi dengan cara apapun. Saya sebagai anak hanya bisa sabar ketika orangtua tidak punya uang,” ujar Ningsa.

 

 

 

 

Pemukiman mereka berada di laut menunjukkan kondisi sosial ekonomi sangat berbeda dengan masyarakat di daratan. Suku Bajo atau sering disebut bajau, biasa disebut dengan suku pengembara laut.

Mereka hidup 100% mengandalkan hasil laut. Satu-satunya pekerjaan adalah nelayan. Ketika tangkapan laut menurun, langsung berdampak pada kondisi ekonomi. Dampak lanjutan, nasib pendidikan anak-anak.

Ningsa cerita, beberapa kali tidak berangkat sekolah karena tak ada biaya. Pendapatan dari tangkapan ikan orangtuanya rata-rata Rp100.000 perhari. Uang itu untuk memenuhi kebutuhan keluarga sekaligus membiayai perjalanan ke sekolah setiap hari.

“Ketika uang tidak cukup, ya tidak sekolah. Biasa ongkos jalan saja yang bisa dipenuhi, uang jajan tidak ada,” kata Ningsa.

Kamelya mengalami hal serupa. Ketika tak ada uang jajan, dia membawa bekal dari rumah. Kalau tidak ada uang, anak-anak Bajo ini pulang sekolah dengan jalan kaki.

“Bapak saya mencari ikan biasa 2-3 hari di laut.”

Yang dirasakan Ningsa dan Kamelya ini selaras dengan hasil penelitian Jambura Geo Education Journal (2020), Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Studi terhadap 342 keluarga nelayan Torosiaje menunjukkan hampir 60% atau 204 keluarga mempunyai pendapatan kategori rendah dan sedang dengan kemampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari saja.

Pendapatan perbulan berkisar Rp1.680.000- Rp2.240.000, cukup jauh dari besaran upah minimum provinsi (UMP) Gorontalo Rp2.989.350.

Dari riset itu diketahui lebih sepertiga warga desa adalah penduduk miskin sekali, seperempat kategori miskin, hanya 40% tidak miskin. Meskipun di desa sudah ada SD dan SMP, seluruh anak Bajo dengan tingkat pendidikan rendah, seperempat anak tak sekolah. Kurang dari 1% pernah menamatkan jenjang perguruan tinggi.

Wiwin Kobi, seorang peneliti mengatakan, berdasar teori human capital tingkat pendidikan menentukan kualitas sumber daya manusia, selain kesehatan.  Di Torosiaje,  kedua faktor sama-sama rendah hingga kualitas sumber daya manusia mengikuti juga.

Kebiasaan buruk seperti buang sampah ke laut, masih terjadi hingga kini. Kemiskinan sulit dihalau karena andalan pekerjaan hanya nelayan. Hanya seperempat rumah milik sendiri, sisanya menumpang, itupun kondisi tak permanen.

“Salah satu penyebab warga Bajo di Desa Torosiaje masih di bawah garis kemiskinan karena mereka tidak miliki pekerjaan sampingan yang bisa jadi tambahan penghasilan,” kata Wiwin kepada Mongabay, pertengahan Mei lalu.

 

Pendidikan anak-anak terdampak kala terjadi krisis iklim. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Dampak perubahan iklim

Studi lain memberi gambaran sedikit lebih terang tentang sebab-musabab kemiskinan Komunitas Bajo. Publikasi Jurusan Ilmu Lingkungan, Universitas Halu Oleo (UHO) yang ditulis Satria Dewiyanti, Amar Ma’ruf, dan Lies Indriyani (2019) menyelidiki bagaimana nelayan Bajo menghadapi perubahan iklim.

Studi ini dengan melihat Komunitas Bajo di Soropia, Konawe Sultra. Warga Bajo di Indonesia tersebar di beberapa wilayah termasuk di Sulawesi Tenggara dan Gorontalo.

Dalam riset itu menjelaskan, pesisir dan laut merupakan wilayah paling rentan terkena berbagai dampak perubahan iklim. Dampak ini antara lain, berupa kenaikan muka air laut, perubahan keasaman air laut, peningkatan frekuensi dan intensitas iklim ekstrem.

Fenomena itu, katanya,  akan mengubah kondisi ekosistem perairan, hingga mempengaruhi keanekaragaman hayati setempat. Perubahan ini pada akhirnya punya peran menggerus sumber pendapatan nelayan Bajo.

Data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menyebut, suhu rata-rata permukaan luat mencapai 21,2 derajat sejak awal April 2023, mengalahkan suhu tertinggi sebelumnya sebesar 21 derajat pada 2016.

Menurut Erwin Suryana, pegiat Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara), kenaikan suhu permukaan laut akan membuat pemutihan karang (coral bleaching), karena tumbuhan alga yang disebut zooxanthellae mengalami kematian.

Dampak dari pemutihan koral dirasakan pula oleh mangrove dan padang lamun yang jadi habitat biota laut. Pertumbuhan dan perkembangan biota menjadi terganggu bahkan mati akibat kenaikan suhu air laut.

Perubahan iklim di pesisir, katanya, juga berdampak terjadinya peningkatan gelombang sampai titik ekstrem, ditambah permukaan laut meningkat karena es mencair di kutub.

Kondisi itu, kata Erwin, membuat garis pantai ikut berubah hingga terjadi perendaman terhadap pulau-pulau kecil.

Akibat intrusi air laut yang makin besar, pasokan air tawar, terutama di pulau-pulau kecil berkurang. Kalau terus berlanjut, situasi ini akan memicu abrasi pantai yang makin meningkat, hingga pemukiman, tambak, daerah pertanian, serta kawasan pantai lain akan rusak.

 

 

Nelayan tradisional akan terdampak kala terjadi perubahan iklim. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Terganggunya ekosistem pesisir itu berpengaruh pada produktivitas perikanan yang menurunkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan. Untuk komunitas seperti Bajo yang hidup sepenuhnya di laut dan perahu, dampak bisa lebih parah.

Dia contohkan, kenaikan risiko keselamatan nelayan saat melaut dan risiko produksi ikan berkurang sedang biaya melaut bertambah. Juga, penggunaan alat tangkap tidak efektif lagi, serta sulit menentukan wilayah tangkap.

Ujung-ujungnya, penghasilan keluarga menurun sampai anak-anak nelayan sulit mengakses pendidikan, mendapat asupan pangan bergizi, hingga kemampuan mengakses layanan kesehatan berkurang.

“Rumah tangga nelayan menghadapi berbagai tambahan tekanan, salah satunya berujung pada peningkatan kekerasan rumah tangga. Dalam beberapa kasus seperti itu, anak-anak biasa terpaksa berhenti sekolah,” kata Erwin saat memberi materi dalam Workshop Perubahan Iklim dan Dampaknya pada Anak-anak April lalu.

Karmila Tahir, antara lain yang sudah mengalami kekhawatiran ini. Dampak tangkapan ikan menurun, Karmila tak lanjut pendidikan usai lulus SMA. Dia terpaksa menikah. Menikah dianggap mengurangi beban orang tua. Opsi menikah umum diambil remaja Bajo dengan kondisi ekonomi serupa.

“Rata-rata anak-anak di desa ini langsung menikah setelah lulus SMA. Hanya orang tua yang mampu yang anak tetap lanjut kuliah di perguruan tinggi,” katanya.

Anak-anak Bajo juga rawan sakit. Penelitian Wiwin Kobi dan kawan-kawan menunjukkan, kualitas kesehatan Komunitas Bajo di Torosiaje rendah.

Anak remaja seperti Kamelya, bisa seminggu absen karena jatuh sakit. Dalam dua bulan sekali, daya tahan tubuh Kamelya menurun terutama dalam satu tahun terakhir.

Hasil pemeriksaan Puskesmas,  menunjukkan tubuh rentan karena pola makan tak teratur dan perubahan cuaca tak menentu.

 

 

Risiko iklim pada anak

Apa yang dialami anak-anak Suku Bajo ini merupakan potret bentuk risiko krisis iklim pada anak. Laporan lembaga PBB untuk anak, UNICEF, tentang Pengenalan Risiko Iklim Anak (2021) menyebut,  anak-anak secara fisik lebih rentan dan kurang mampu menahan sekaligus menghadapi guncangan bencana.  Seperti banjir, kekeringan, cuaca ekstrem, gelombang panas, siklon tropis, penyakit tular vektor, degradasi lingkungan, polusi udara, serta polusi tanah dan air.

Ada 920 juta anak di dunia terpapar tinggi terhadap kelangkaan air, 600 juta anak berisiko terpapar penyakit rawan akibat perubahan cuaca seperti malaria dan demam berdarah. Lalu, 400 juta anak terpapar tinggi terhadap siklon.

Ancaman paparan karena krisis iklim terbanyak dihadapi 2 miliar anak akibat polusi udara, dan 815 juta anak karena pencemaran timbal pada udara, air, tanah, dan makanan yang terkontaminasi. Belum termasuk paparan dampak banjir, gelombang panas dan gejala alam lain.

Di Indonesia, catatan UNICEF menunjukkan,  anak-anak berada dalam posisi rentan paparan krisis iklim.

“Indonesia rumah bagi 80 juta anak dan menempati peringkat ke-46 dari 163 negara dalam hal risiko iklim terhadap anak,” kata Aryanie Amellina,  Spesialis Aksi Lingkungan dan Iklim UNICEF.

Laporan terbaru UNICEF Mei 2023 menyebut,  Asia Timur dan Pasifik merupakan satu yang paling terdampak guncangan dan tekanan iklim. Sekitar 41% anak-anak di wilayah ini menghadapi lima guncangan atau lebih, dibandingkan rata-rata dunia yang hanya 14%.

 

 

Laporan terbaru UNICEF Mei 2023 menyebut, Asia Timur dan Pasifik merupakan satu yang paling terdampak guncangan dan tekanan iklim. Sekitar 41% anak-anak di wilayah ini menghadapi lima guncangan atau lebih, dibandingkan rata-rata dunia yang hanya 14%.Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Anak-anak Bajo adalah bagian dari 240 juta anak di dunia yang terpapar dampak banjir pesisir. Data BNPB menyebut, selama 2022, Indonesia mengalami 3.544 bencana, yang mengakibatkan lebih 5,8 juta orang mengungsi.

Menurut analisis Bank Indonesia kerugian ekonomi karena cuaca ekstrem lebih Rp100 triliun per tahun. Tren berbagai bencana karena cuaca ekstrem ini menurut BMKG meningkat dalam 40 tahun terakhir.

Di Desa Torosiaje, isu krisis iklim masih sangat minim dipahami warga. Uten Sairullah, Kepala Desa Torosiaje benarkan hasil tangkapan nelayan berkurang dan berdampak pada kesejahteraan warga dan anak-anaknya. Soal kesulitan akses sekolah, ada rencana memberi bantuan agar pendidikan anak tidak terlantar.

Pemerintah Gorontalo, katanya,  pernah berjanji menyediakan perahu khusus antar-jemput agar anak bisa sekolah. Hingga kini, janji itu tak ditepati.

“Kami sempat dijanjikan perahu oleh Rusli Habibie. Waktu itu beliau menjabat Gubernur Gorontalo [2012-2022]. Sampai sekarang belum ada realisasinya,” kata Uten awal Mei lalu.

Rudi WE Daenunu, Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Gorontalo, Rudi malah mengaku tidak tahu-menahu. Dari penelusuran dan tanya-jawab, Dinas Pendidikan juga belum memiliki program berkait adaptasi perubahan iklim terhadap anak.

“Sekarang, pemerintah sudah menggratiskan anak-anak untuk bersekolah. Tinggal tanggung jawab orang tua untuk menyekolahkan anaknya,” kata Rudi.

Pemerintah seakan tak mau mengerti kondisi kehidupan warganya. Sekolah gratis, seakan menyelesaikan persoalan pendidikan tanpa memikirkan antara lain, akses anak-anak menuju ke sekolah.

“Ketika musim hujan atau cuaca ekstrem, saya tidak sekolah, takut jatuh sakit. Hujan juga sulit ke daratan untuk sekolah,” kata Kamelya.

 

 

 

*Liputan diproduksi atas dukungan dari AJI Indonesia dan UNICEF Indonesia

*******

Exit mobile version