- Kendaraan listrik ‘naik daun’ kala dapat label kendaraan ‘ramah lingkungan’ karena bisa mengurangi lepasan emisi saat beroperasi. Di Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan pada 2030 adopsi mobil listrik mencapai 2 juta dan 13 juta sepeda motor.
- Seiring ‘demam’ kendaraan listrik dunia, nikel—yang jadi bahan baku pembuatan baterai listrik– nusantara pun seakan mau dikuras sebanyak-banyaknya. Tambang nikel beserta pabrik pengelolahan muncul di berbagai daerah.
- Di daerah-daerah tambang dan kawasan industri nikel, berbagai persoalan terjadi, dari ruang hidup masyarakat hilang, sampai kerusakan lingkungan di darat sampai lautan.
- Terlepas dari hiruk pikuk tambang dan smelter nikel, satu hal yang perlu dilihat yakni bahwa 75% mobil listrik yang terjual di Indonesia tahun lalu tidak menggunakan baterai nikel, namun lithium iron phosphate (LFP) baterai berbasis besi. “Apakah kendaraan listrik Indonesia akan menggunakan nikelnya, masih menjadi pertanyaan. Ke mana dan siapa pengguna nikel-nikel dari Indonesia?
Bintari Trias dan Hisyam Ardi ingin beli sepeda motor listrik sejak 2020. Saat itu pasangan ini belum percaya diri mengingat kajian soal kendaraan listrik masih minim. Baru awal bulan sekitar pertengahan 2023, Tari dan Hisyam memutuskan membeli Alva One, motor listrik keluaran Ilectra Motor Group (IMG), bisnis baru grup Indika Energy.
Di atas kertas, daya maksimum motor ini 4,8 kilowat dengan daya isi 1,1 kilowatt, jarak tempuh 69,3 km. Setiap hari kerja, Tari dan suaminya pakai motor ini dari rumah di Pamulang, Tangerang Selatan menuju stasiun kereta Mass Rapid Transit (MRT) Lebak Bulus sejauh 14 km, kemudian melanjutkan perjalanan menuju kantor masing-masing di Jakarta Pusat. Untuk menempuh sekali perjalanan pulang pergi, motor ini menghabiskan 50% daya baterai.
“Hemat ditambah ramah lingkungan,” alasan Tari beralih dari sepeda motor bahan bakar bensin ke listrik.
“Karena paling gede bannya, kalau dipakai boncengan lebih firm. Baterai yang penting lithium ion yang terbukti bagus,” tambah Hisyam.
Meski demikian pasangan ini masih menyangsikan keawetan motor ini. Masih ada kekhawatiran soal jarak tempuh karena saat ini mereka hanya mengisi daya 3-4 jam, di rumah.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan pada 2030 adopsi mobil listrik mencapai 2 juta dan 13 juta sepeda motor. Seiring ‘demam’ kendaraan listrik dunia, nikel—yang jadi bahan baku pembuatan baterai listrik– nusantara pun seakan mau dikuras sebanyak-banyaknya.
Satu potret dari sekitar 2.300 km dari ibukota Jakarta, di Pulau Obi Halmahera Selatan, Maluku Utara, sejumlah perusahaan menambang nikel yang antara lain bakal jadi salah satu komponen baterai kendaraan listrik.
Setidaknya, ada lima perusahaan di pulau seluas 286 kilometer persegi ini. Ada PT Halmahera Persada Lygend, PT Gane Sentosa Damai, PT Trimegah Bangun Persada (TBP), PT Megah Surya Pertiwi (MSP) dan PT Halmahera Jaya Feronikel (HJF).
Tampaknya, harapan konsumen pakai kendaraan listrik agar ramah lingkungan, termasuk dari rantai pasoknya, tak terlihat di Pulau Obi.
Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) sekitar 2017-2018 lahan perkebunan warga di Desa Kawasi, Pulau Obi, tergusur paksa untuk penambangan dan smelter nikel TBP. Banyak catatan soal ganti rugi yang tak adil dan penuh intimidasi.
Sejumlah sumber air lenyap seperti Air Cermin dan Sungai Loji. Sungai Ake Lamo juga hilang. Air terjun masih ada namun keruh dan terkontaminasi zat beracun. Sungai Toduku penuh sedimentasi ore nikel, dan Danau Karo juga diprivatisasi perusahaan.
Selain sumber air, pembuangan limbah dari aktivitas eksplorasi perusahaan juga meracuni laut. Setidaknya ada 12 biota laut diduga tercemar logam berat karena penambangan nikel.
Tak hanya itu, operasional perusahaan pakai PLTU batubara juga menyebabkan infeksi saluran pernapadan atas (ISPA) dan jadi masalah kesehatan utama di desa ini.
PLTU digunakan untuk peleburan bijih nikel berteknologi rotary kiln electric furnace (RKEF) yang dioperasikan MSP.
Selain itu perusahaan juga hendak memindahkan warga ke lokasi yang disebut Eco Village milik perusahaan. Perusahaan juga akan membuang limbah tailing di kawasan desa ini.
Tak hanya di Pulau Obi, tambang dan smelter nikel juga ada di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Salah satunya PT Gema Kreasi Perdana (GKP).
Dari penelusuran Jatam, perusahaan-perusahaan ini saling berkaitan dan berada di bawah Harita Group milik keluarga Lim Hariyanto Wijaya Sarwono. Grup ini bergerak di sektor sumber daya alam, mulai tambang nikel, bauksit, batubara, perkebunan sawit hingga perkapalan dan kayu.
GKP tercatat memiliki saham di PT Halmahera Persada Lygend sebesar 31,55%. Sebagian saham lain dimiliki Ningbo Lygend Mining asal Tiongkok. Sebanyak 63,1% saham HJF dimiliki TBP dan 36.9% dimiliki Lygend Resources & Technology juga asal Tiongkok. Ningbo Lygend dan Lygend Resources berada di bawah Lygend Group.
Sekitar 40% saham MSP dimiliki Xinxing Qiyun Investment Holding juga asal Tiongkok.
GKP juga punya catatan menerobos lahan warga penolak tambang,
“Kendaraan listrik jadi simbol ekonomi rendah karbon. Dampak negatif dan ekstraksi mineral dan logam yang dibutuhkan seringkali diremehkan,” kata Melky Nahar, Koordinator Jatam Nasional.
Operasional tambang dan smelter nikel yang energi listrik dari batubara, menuntut pembongkaran pulau lain yang kaya batubara.
“Setiap pulau dipaksa untuk saling memangsa,” katanya.
Baca juga: Moncer Baterai Kendaraan Listrik, Suram bagi Laut dan Nelayan Pulau Obi [1]
Lantas untuk apa dan kemana nikel dibawa?
Nikel Indonesia ditambang mula-mula untuk kebutuhan industri baja (stainless steel). Dengan tren peningkatan penggunaan kendaraan listrik, nikel kini juga diolah jadi baterai sebagai komponen dasar mobil dan motor listrik.
Menurut kajian Bussines and Human Rights Resources Center (BHRRC) yang rilis pertengahan Mei lalu, sebagian besar nikel Indonesia dibawa ke Tiongkok.
Kajian yang fokus pada dua rantai pasok utama nikel di Asia Tenggara, the Rio Tuba Nickel Mining Corporation (Rio Tuba) di Filipina dan dua perusahaan di Indonesia, Zhejiang Huayou Cobalt (ZHC) dan CNGR Advanced Materials (CNGR) ini, juga melihat bagaimana praktik tambang dan smelter nikel di dua negara itu.
ZHC terlibat dalam riset, pengembangan dan pabrikasi material baterai litium berbasis di Tongxiang Development Zone, Zhejiang, Tiongkok. CNGR yang menjadi penyedia bahan pembuat baterai lithium, berbasis di Dalong Economic Development Zone, Guizhou, China Barat.
Di Indonesia, ada dua grup besar yang memproses nikel, the Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tengah dan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Pulau Halmahera, Maluku Utara. Nikel dari dua kelompok industri ini untuk menyuplai industri baterai ZHC dan CNGR di Tiongkok.
Menurut kajian ini, tambang dan smelter nikel pada perusahaan-perusahaan ini menunjukkan peningkatan insiden terkait pelanggaran HAM dan lingkungan.
“Kesepakatan CNGR dengan IMIP punya dampak tidak langsung terhadap ruang hidup, kesehatan dan lingkungan di Morowali. Polusi udara yang menyebabkan gangguan pernapasan, kehilangan hutan, pencemaran air dan kerusakan pesisir,” kata peneliti BHRRC Pochoy P. Labog saat peluncuran laporan.
ZHC, katanya, juga bikin risiko kehidupan bagi warga di Luwu Timur, Sulawesi Selatan dan Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Antara lain, pencemaran air, perampasan lahan dan kriminalisasi terhadap warga lokal dan masyarakat adat.
Investasi ZHC di IWIP, menurut laporan ini, juga berdampak serupa untuk pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan termasuk pencemaran sungai dan pesisir, menyebabkan banjir besar dan perampasan lahan warga.
Masalahnya, beberapa produsen kendaraan listrik, seperti Tesla dan Ford, bikin kerja sama dengan ZHC dan CNGR. Tesla bikin kerja sama dengan ZHC dan CNGR senilai US$5 miliar. Tesla akan disuplai oleh ZHC sejak 1 Juli 2022 hingga akhir 2024 dan oleh CNGR pada 2o23-2025.
Baca juga: Cerita dari Pulau Obi, Daerah Penghasil Bahan Baku Baterei Kendaraan Listrik [1]
Selain itu, Ford juga akan disuplai oleh ZHC bersama perusahaan tambang Brazil, PT Vale sebagai rekanan untuk pengolahan nikel US$4,5 miliar di Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Smelter ini produksi 120.000 ton material per tahun untuk baterai kendaraan listrik.
Vale juga punya catatan soal pencemaran di Danau Mahalona, Pulau Mori, perampasan lahan di Desa Asuli, Luwu Timur, dan kriminalisasi tujuh aktivis dan masyarakat adat lingkar tambang pada Maret 2022.
“Perusahaan-perusahaan lain seperti Volkswagen, BMW dan Hyundai juga diduga menggunakan nikel dari Indonesia,” kata Pochoy.
Bedanya dengan Filipina, nikel yang ditambang Rio Tuba, diproses Coral Bay Nickel Corporation lalu dikirim ke Jepang untuk pemurnian. Filipina belum punya smelter nikel seperti Indonesia.
Nikel hydroxide kualitas tinggi dari Filipina dipakai oleh Sumitomo Metal Mining untuk produksi material baterai yang dijual ke Panasonic Corporation yang menjadi baterai yang kendaraan listrik seperti Tesla dan Toyota.
Seperti di Indonesia, kajian ini menyatakan, operasi tambang nikel di Filipina juga menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Ada keluhan soal kurangnya persetujuan warga lokal dan masyarakat adat.
Masyarakat kehilangan ketahanan pangan dan tambang merusak hutan mereka. Juga ada kasus pencemaran air karena tambang.
Baca juga: Warga Kawasi Terancam Relokasi Ketika Ada Kawasan Industri Nikel [2]
Investasi Tiongkok
Pengembangan smelter nikel di Indonesia bermula sejak pelarangan ekspor bijih nikel pada 2019. Tujuannya untuk meningkatkan nilai tambah komoditas ini. Pemerintah Indonesia berharap ini akan menarik investasi untuk pemurnian nikel maupun pabrik kendaraan listrik.
Masih dari kajian itu, hingga kini, investasi untuk rantai pasok nikel didominasi Tiongkok sekitar US$30 juta termasuk untuk IMIP dan IWIP.
IMIP adalah kawasan industri yang didirikan oleh Tsingshan dan penambang Indonesia, Bintang Delapan Group.
Tsingshan, melalui anak perusahaannya, Shanghai Decent Investment Group, punya 50% saham IMIP. Grup Bintang Delapan dan PT Investasi Pertambangan Sulawesi, masing-masing punya 25%.
Sedangkan IWIP adalah perusahaan patungan antara 40% saham Tsingshan melalui anak perusahaannya, Perlus Technology, 30% masing-masing ZHC dan Grup Zhenshi. Tsingshan memiliki beberapa investasi di IWIP, bersama ZHC dan PT Weda Bay Nickel (WBN).
Saham WBN 10% dimiliki PT Antam dan Strand Minerals, 57% milik Tsingshan dan 43% Eramet, perusahaan tambang Prancis. Eramet bermitra dengan perusahaan kimia Jerman, BASF, untuk membangun kilang di Halmahera.
ZHC juga punya perjanjian dengan Vale untuk mengembangkan proyek pengolahan High-Pressure Acid Leaching (HPAL) Di Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara. Vale juga yang mengoperasikan tambang nikel. Proyek ZHC dengan Vale diperkirakan menelan biaya US$6,3 miliar.
Ford bergabung dengan kedua perusahaan untuk memproduksi bahan untuk baterai.
CNGR punya hubungan dengan Tsingshan untuk memasok hingga 40.000 ton produk nikel. CNGR juga investasi dengan perusahaan lain, Rigqueza, untuk dua proyek nikel matte di Sulawesi, dengan kapasitas pasokan tahunan hingga 60.000 ton.
Kedua perusahaan ini selanjutnya sepakat bersama-sama berinvestasi dalam tiga proyek di Teluk Weda untuk memproduksi nikel matte di Maluku Utara demi memenuhi peningkatan permintaan produk nikel terkait baterai.
Menanggapi temuan ini, kepada BHRRC, ZHC menyatakan berkomitmen mengurangi dampak operasinya dan mendukung ekonomi lokal, masyarakat dan lingkungan di mana perusahaan beroperasi.
Vale mengatakan, tidak ada dampak besar dari tumpahan minyak di Laut Lampia. Untuk dugaan pencemaran di Danau Mahalona, Vale mengaku sudah diaudit Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan atas dugaan sedimentasi tak ada pelanggaran.
Mengenai Pulau Mori, Vale bilang menggandeng pihak ketiga yang independen dan terakreditasi untuk mengaudit pencemaran tumpahan belerang.
“Hasil analisis air dan tanah sampel, disimpulkan tidak ada polusi sesuai data yang diterima pada 20 September 2021,” tulis manajemen Vale dalam keterangan tertulisnya.
Baca juga: Mereka Suarakan Kerusakan Pulau Obi Dampak Industri Nikel
Tentang dugaan pengambilan tanah pertanian dan tanah adat, Vale mengklaim tidak ada masyarakat adat di wilayah operasionalnya. Terkait dugaan kriminalisasi, kata Vale, demonstrasi pada Maret 2022 menyebabkan karyawan dan kontraktor PT Vale luka-luka, dan ada perusakan aset.
Sementara, penambangan nikel Weda Bay Nickel (WBN), perusahaan patungan yang sebagian dimiliki Eramet mempengaruhi daerah hutan hujan yang luas di Halmahera. Di sana hidup masyarakat Hongana Manyawa, suku pemburu-pengumpul nomaden terakhir di Indonesia.
Eramet menegaskan saat ini menjalankan studi kelayakan, dalam kemitraan dengan BASF, untuk mengembangkan pabrik pengolahan nikel dan kobalt, yang dikenal dengan proyek sonic bay, di pesisir tengah Pulau Halmahera. Eramet juga membenarkan ada Hongana Manyawa, atau Orang Tobelo Dalam, yang tinggal di bagian pulau tertentu. Namun, menurut Eramet, WBN telah berhasil selama bertahun-tahun mengembangkan ‘interaksi yang saling menghormati’ dengan mereka.
Eramet mengklaim lebih lanjut bahwa “sampai saat ini, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa akan ada Orang Tobelo Dalam yang terjamah yang tinggal di sekitar konsesi WBN.”
BASF menegaskan saat ini mengevaluasi investasi dengan Eramet untuk pengembangan nikel-kobalt kompleks penyulingan untuk memasok pasar kendaraan listrik. Namun, mereka belum memutuskan apakah proyek ini akan dilaksanakan.
Yang jelas, itu bagian dari proses evaluasi termasuk penilaian intensif terhadap risiko lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG).
Mereka gunakan tolok ukur dari Standar International Finance Corporation (IFC), Equator Principles dan International Responsibility Standar Mining Assurance (IRMA) untuk perusahaan yang jadi rantai pasok mereka.
“Tesla dan Grup Tsingshan tidak menanggapi laporan kami,” kata Pochoy.
Harita Grup membantah tuduhan soal pencaplokan lahan, kerusakan lingkungan, pembuangan ore nikel ke sungai maupun limbah ke laut.
Anie Rahmi, Corporate Affairs Manager Harita Nickel, mengatakan, perusahaan punya izin lingkungan dari pemerintah dan selalu mendapat inspeksi dan pengawasan berkala baik dari pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten.
Baca juga: Fokus Liputan: Morowali di Bawah Cengkeraman Tambang Nikel Para Jenderal
Bagaimana dengan produsen kendaraan listriknya?
Volkswagen, salah satu perusahaan yang melalui PowerCO akan investasi pembangunan smelter nikel dengan teknologi high pressure acid leaching (HPAL) di Sulawesi Selatan menyatakan proyek ini masih dalam negosiasi dan belum disetujui.
Dalam jawaban tertulisnya, Volkswagen menyatakan, akan memastikan nilai-nilai dan standar kepatuhan dan keberlanjutan global terpenuhi.
Mercedes-Benz mengklarifikasi dengan menyatakan, saat ini mereka tak ada rencana mengambil nikel langsung dari Indonesia, tetapi memantau situasi pasar di seluruh dunia. Kalaupun mereka akan mengambil sumber langsung dari Indonesia, mereka akan mempertimbangkan standar pengadaan yang bertanggungjawab.
Sisi lain, BMW juga menjelaskan tidak memiliki hubungan pasokan langsung atau kerja sama dengan pemasok nikel di Indonesia. Mereka memastikan pemasok langsung mereka wajib memenuhi persyaratan hukum, standar lingkungan dan sosial yang luas termasuk untuk sub pemasok.
Perusahaan-perusahaan lain seperti Thsinghan, Tesla, Harita Group, Indonesia Battery Corp., Merdeka Copper Gold, Ningbo Lygend Mining dan Bahan Energi Baru QMB; serta “off-taker” Hyundai Motor yang disebut dalam laporan ini, tidak memberi tanggapan.
Melawan penurunan emisi
Ambisi Indonesia mengikuti tren kendaraan listrik setidaknya mulai dengan Peraturan Presiden No 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Diikuti Instruksi Presiden No 7/2022 tentang penggunaan KBLBB sebagai kendaraan dinas opersional untuk pemerintah pusat dan daerah. Dengan landasan dua aturan ini, pemerintah memuluskan jalan adopsi kendaraan listrik dengan memberikan sejumlah insentif fiskal dan non fiskal.
Puspa Dewy, Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional mengatakan, yang terjadi di rantai pasok kendaraan listrik, terutama tambang dan smelter nikel, bertentangan dengan semangat penurunan emisi gas rumah kaca. Karena dalam proses itu, terjadi deforestasi dan penggunaan batubara untuk pembangkit listrik.
Catatan Walhi, pada 2021 diperkirakan luas konsesi tambang nikel mencapai 999.587,66 hektar, dengan 653.756,16 hektar antara lain ada dalam kawasan hutan. Pada 2022, luas bertambah jadi 1.037.435,32 hektar, dengan kawasan hutan 765.237,07 hektar.
Senada temuan Jatam dan BHRRC, dia benarkan pencemaran di wilayah sungai dan pesisir Maluku Utara yang mengganggu kehidupan masyarakat pesisir, termasuk perempuan nelayan.
“Hasil tangkapan ikan menurun dan ekosistem laut hancur,” kata Dewy.
Baca juga: Nestapa Warga Wawonii Kala Air Bersih Tercemar
Selain itu, intensitas banjir meningkat sejak 2021 hingga kini, baik di kawasan industri maupun pemukiman sekitar. Misal, di Desa Kulo Jaya, Woejarana, Woekop, dan Dusun Lukulamo, Lelilef Woibulen di Kecamatan Weda Tengah yang menjadi kawasan industri IWIP.
Kemiskinan di lingkar tambang di IWIP juga terlihat dari penurunan nilai tukar petani. “Harga kopra murah, padahal ini adalah komoditi unggulan. Alih fungsi lahan pertanian seperti pala, cengkih, cokelat, dan kelapa yang dijual ke perusahaan menyebabkan masyarakat kehilangan mata pencaharian.”
Intimidasi dan kekerasan juga sering dialami masyarakat dan perlindungan pekerja juga lemah. “Ini bikin potensi ketimpangan sosial termasuk ketidakadilan gender.”
Bagi Walhi, katanya, mobil listrik adalah solusi palsu atas krisis iklim yang merugikan masyarakat, menghancurkan kawasan esensial dan sumber penghidupan rakyat. Juga, meningkatkan ketidakadilan gender, mengancam keamanan dan keselamatan masyarakat.
Untuk itu, Walhi menilai perlu penegakan hukum dan larangan menambang di kawasan essensial seperti hutan, pesisir dan kawasan yang mempengaruhi penghidupan rakyat.
“Perlu solusi yang tidak menimbulkan kerusakan, kerugian, dan mengancam keselamatan rakyat, perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia termasuk perempuan,” ujar Dewy.
Terkait banyaknya keluhan soal investasi dari Tiongkok ini, Komisioner Komnas HAM, Saurlin P. Siagian mengatakan kebijakan dan praktik transisi energi harus meghormati hak asasi manusia.
Saurlin bilang, saat ini belum ada mekanisme komplain yang bisa diajukan untuk investasi dari Tiongkok, berbeda dengan investasi dengan lembaga keuangan global seperti Asian Development Bank (ADB) maupun World Bank.
“Kalau ada masalah dari transisi energi ini mekanismenya apa dan harus mengadu kemana, itu memang belum ada,” katanya.
Saat ini, tim Komnas HAM menggodok policy brief untuk mengantisipasi agenda transisi energi. Komnas HAM juga akan membuat peraturan Komnas HAM tentang hak asasi dan iklim.
“Mudah-mudahan tahun depan rampung,” katanya.
Baca juga: Menanti Eksekusi Putusan Mahkamah Agung soal RTRW Pulau Wawonii Tak Boleh Ada Tambang
Nikel Indonesia untuk siapa?
Terlepas dari hiruk pikuk tambang dan smelter nikel, satu hal yang perlu dilihat yakni bahwa 75% mobil listrik yang terjual di Indonesia tahun lalu tidak menggunakan baterai nikel, namun lithium iron phosphate (LFP) baterai berbasis besi.
Menurut Putra Adhiguna, Kepala Peneliti Teknologi Energi Asia Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) tren sama mungkin akan berkembang di segmen roda dua.
“Apakah kendaraan listrik Indonesia akan menggunakan nikelnya, masih menjadi pertanyaan,” kata Putra.
Nikel untuk baterai dengan performa lebih tinggi, dengan konsekuensi harga lebih mahal. Saat ini, daya beli masyarakat Indonesia untuk mobil masih berada di kisaran Rp300 juta ke bawah. Dengan level ini mobil listrik yang diproduksi masih pakai baterai FLP yang tak gunakan nikel.
Perlu dipertimbangkan juga, ujar Putra, mayoritas perusahaan otomotif Jepang seperti Toyota, Suzuki, Daihatsu, Mistubishi dan Honda, yang mendominasi pasar Indonesia, tidak begitu ambisius mengembangkan kendaraan listrik.
Sejauh ini, ada dua produsen mobil listrik yang investasi di Indonesia, Hyundai dan Wuling. Wuling Air EV pakai FLP yang harga lebih terjangkau dan tak mengandung nikel.
Awal 2022, hampir separuh mobil baru yang diproduksi Tesla juga pakai FLP, terutama yang dijual di Tiongkok.
“Secara narasi politik ini berantakan. Hilirisasi nikel, tapi kita tidak pakai nikelnya,” kata Putra.
Meski bisa dimaklumi, katanya, berbagai kebijakan seperti insentif untuk kendaraan listrik dibikin buat menarik investor membangun pabrik di Indonesia. Kalau Indonesia punya pabrik kendaraan listrik, diharapkan harga kendaraan lebih murah, apalagi dengan potensi nikel yang mencapai separuh cadangan dunia.
Namun pengabaian terhadap rantai pasok, terutama tambang dan smelter nikel mestinya jadi perhatian pemerintah.
Menurut Putra, pemerintah tidak bisa membiarkan investasi terkait rantai pasok hanya meninggalkan sampah dan kerusakan lingkungan untuk Indonesia.
“Kalau katanya kita kaya nikel kok serampangan banget cara bekerjanya? Bargain power kita di mana?” katanya.
Sebagai negara dengan posisi tawar tinggi ini, mestinya Indonesia bisa menekan perusahaan rantai pasok, minimal untuk menjalankan good mining pratices.
“Tidak menyentuh coastal line, reklamasinya seperti apa. Itu saja tidak jalan. Kalau benar Indonesia punya setengah nikel dunia, kita punya leverage buat ngapain aja,” katanya.
Putra mengatakan, jika Indonesia berambisi meningkatkan adopsi kendaraan listrik dalam negeri, kebijakan yang tak bisa hanya memberi insentif bagi pembelian kendaraan listrik.
Dia bilang, harus ada kebijakan paralel mengenai pembatasan kendaraan konvensional, perbaikan transportasi publik dan pengembangan energi terbarukan untuk mengisi jaringan listrik.
“Harusnya prioritas untuk transportasi publik dulu.”
Kalau Indonesia terus menggenjot produksi nikel dan turunannya namun tidak menghasilkan kendaraan listrik yang terjangkau oleh pasar dalam negeri, lantas siapa yang diuntungkan dari kondisi ini?
“Pada titik saat ini yang untung ya China karena hampir semua diekspor ke sana.”
Dari aspek hukum, kalau merujuk Peraturan Pemerintah No 5/2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, Dirayati Fatima Turner dari Center for Environmental Law dan Climate Justice, Fakultas Hukum Universitas Indonesia menilai pertambangan nikel semua diklasifikasikan punya risiko tinggi.
Untuk itu, perlu diterapkan prinsip-prinsip terkait tanggung jawab korporasi, polluter pays principle (pencemar membayar), prevention principle (prinsip pencegahan), dan precautionary principle (prinsip kehati-hatian).
Prinsip pencemar membayar, kata Dira, berangkat dari konsep eksternalitas yang ditimbulkan dari operasional tambang dan smelter. Pencemar mesti membayar biaya eksternalitas seperti kerusakan lingkungan.
“Melihat ekonomi sirkular, sampah kendaraan listrik juga mestinya jadi tanggungjawab perusahaan,” kata Dira.
Untuk risiko yang dapat diprediksi, bisa dengan jalankan aturan terkait dana jaminan reklamasi dan pascatambang yang harus ditempatkan sebelum perusahaan menambang.
Untuk prinsip kehati-hatian, katanya, mestinya sejak penetapan konsesi tidak diberikan di kawasan konservasi. Penetapan wilayah, menjadi tahap kunci untuk menghindari tumpang tindih hak lahan, dan memastikan lingkungan terjaga.
“Percuma kita pakai kendaraan listrik jika sumber listrik masih energi fosil,” kata Dira.
Dira sepakat, alih-alih menggenjot adopsi kendaraan listrik saat ini perlu dorongan penataan dan penggunaan transportasi publik. Sebab, katanya, elektrifikasi kendaraan bukan satu-satunya cara menurunkan emisi di sektor transportasi.
“Ini cuma salah satunya.”
*******
*Liputan ini kolaborasi Mongabay Indonesia dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional