Mongabay.co.id

Kotoran Kelelawar Ternyata Memiliki Manfaat, Risikonya?

Warga Tapanuli, Sumatera Utara, menunjukkan kelelawar yang ditangkap untuk dijual. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Guano pernah disebut emas putih. Itu dulu ketika guano, kotoran dari burung laut dan kelelawar berharga mahal. Guano dari burung laut berwarna terang, sementara guano kelelawar warnanya lebih gelap.

Guano pernah menjadi penyebab perang antarnegara. Yaitu perang di Pasifik antara Chile melawan Bolivia dan Peru kurun waktu 1864 hingga 1870. Perang itu disebut juga Guano War, karena memperebutkan Kepulauan Chincha yang kaya akan guano.

Guano berharga mahal karena dibutuhkan dalam bidang pertanian. Guano banyak mengandung nitrogen [N], fosfat [P], dan kalium [K], yang merupakan unsur penting untuk pertumbuhan tanaman yang bisa mempercepat masa panen. Selain itu, sampai Perang Dunia I, guano juga dimanfaatkan sebagai campuran bahan peledak karena sifatnya yang eksplosif dan mudah terbakar.

Seiring makin banyaknya permintaan akan hasil pertanian organik, pupuk guano kembali dilirik. Pupuk guano menjadi komoditas yang diperdagangkan di pasar global. Indonesia tercatat sebagai salah satu pengekspor pupuk guano/kotoran kelelawar.

Daerah penghasil pupuk guano kelelawar tersebar di Sulawesi, Maluku, Papua, Sumatera, Madura, hingga Nusa Tengara Timur. Sementara negara tujuan ekspor antara lain Amerika, Australia, dan China.

Baca: Nasib Kelelawar: Mampu Bertahan dari berbagai Virus, tetapi Tidak dari Manusia

 

Warga Tapanuli, Sumatera Utara, menunjukkan kelelawar yang ditangkap untuk dijual. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Lebih hati-hati

Pengalaman pandemi COVID-19 seharusnya menyadarkan manusia untuk lebih berhati-hati akan terjadinya zoonosis dari kelelawar. Namun, konsumsi kelelawar dan perdagangan produk yang berasal dari kelelawar masih berlangsung.

Mengutip VOA, guano kelelawar masih ditawarkan di toko online sebagai obat. Dalam pengobatan tradisional China, guano kelelawar dipercaya bisa memperbaiki penglihatan. Kelelawar yang lihai terbang malam telah memunculkan mitos bahwa satwa ini memiliki penglihatan tajam.

Seorang ahli virus di Wuhan bernama Shi Zhengli pada 2005 pernah meneliti sampel kotoran kelelawar yang dikumpulkan dari sejumlah gua. Salah satu sampel kotoran itu mengandung genom virus yang 96 persen identik dengan virus corona yang menyebar ke seluruh dunia itu.

Sementara penelitian lain yang lebih baru, menemukan virus corona yang masih satu keluarga dengan SARS CoV 2 dalam sampel kotoran kelelawar dari 464 individu. Penelitian ini dipimpin Marc Valitotto dari Smithsonian.

“Guano berbahaya karena mengandung virus,” kata Robert Siegel, profesor di Departemen Mikrobiologi dan Imunologi, Universitas Standford, kepada VOA.

Media itu juga menambahkan adanya laporan ilmiah yang mengungkapkan temuan virus corona di 4 persen guano kelelawar yang dikumpulkan dalam penelitian di Thailand, 2013. Untuk menghindari zoonosis, para peneliti merekomendasikan pekerja yang memanen guano dari gua, untuk melengkapi dengan alat perlindungan diri.

Baca: Habis Pandemi Terbitlah One Health

 

Kotoran kelelawar ternyata memiliki manfaat sebagai pupuk. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Jangan ganggu habitat alami kelelawar

Sementara itu, laporan yang dimuat di jurnal Applied Microbiology and Biotechnology, 2021, mengingatkan adanya sejumlah mikrobioma pada kelelawar. Mikrobioma didefinisikan sebagai mikroorganisme yang hidup bersama dalam satu lingkungan tertentu. Telah lama diketahui bahwa kelelawar merupakan mamalia terbang yang menjadi inang berbagai virus, bakteri, dan jamur.

Ivica Dimkic, ketua peneliti dari Fakultas Biologi, Universitas Beograd, Serbia, bersama tim dalam laporan itu menyebutkan, kelelawar adalah satwa yang secara alami menjadi reservoir berbagai penyakit menular ke manusia seperti ebola, nipah, marburg, rabies, henipavirus, termasuk COVID- 19. Laporan itu mengungkap dalam studi terbaru, setidaknya ada 80 spesies virus yang terdeteksi dari kelelawar.

“Di daerah yang menggunakan pupuk guano sebagai pupuk hayati, pekerja pertanian dapat mengalami peningkatan risiko kontak dengan patogen guano, yang juga dengan mudah bisa mengkontaminasi produk makanan ataupun menginfeksi ternak,” tulis laporan itu.

Baca juga: Wabah Corona: Hindari Kontak Langsung dengan Satwa Liar

 

Kalong hitam [Pteropus alecto] dengan nama lokal poniki hitam memiliki peran sebagai penyerbuk bunga durian. Foto: Dok. Sheherazade

 

Penelitian sebelumnya telah mengisolasi coronavirus dari sampel guano kelelawar di Sri Lanka, Thailand, Myanmar, dan Kazakhstan. Di negara-negara ini kelelawar dikonsumsi, sementara kotorannya dikumpulkan untuk pupuk.

Selain virus, bakteri patogen juga ditemukan pada guano kelelawar. Dalam satu dekade terakhir, berbagai penelitian dilakukan dengan menggunakan sampel kotoran kelelawar di luar habitat aslinya. Sebuah penelitian melaporkan adanya temuan bakteri patogen yang resisten antibiotiok dari spesies kelelawar yang tinggal di gedung di Slovakia. Penelitian lainnya juga menemukan bakteri yang resisten pada kelelawar di Nigeria dan Australia.

Tumpukan guano kelelawar di gua merupakan bahan organik penting bagi koloni jamur. Sejumlah jamur patogen telah teridentifikasi pada guano kelelawar. Di antaranya menyebabkan gangguan pernapasan dan demam yang parah. Dilaporkan, pernah terjadi kasus turis yang terinfeksi jamur dari tanaman yang mendapat pupuk guano di sebuah hotel di Meksiko.

Para peneliti kembali mengingatkan bahwa kelelawar dan kotorannya merupakan tempat penampungan alami mikroorganisme patogenik yang bisa menyebabkan epidemi maupun pandemi. Mengganggu habitat alami kelelawar, misalnya perluasan lahan pertanian, sama saja dengan melepas patogen yang selama ini berada di alam liar. Penting bagi manusia untuk menjaganya tetap berada di sana.

 

Exit mobile version