Mongabay.co.id

Permakultur, Solusi Pertanian Berkelanjutan?

 

 

Hamparan lahan seluas 200 meter persegi itu terlihat hijau. Ada jagung, bawang merah, kacang panjang, sayuran, dan cabai. Beberapa tiang bambu sengaja ditancap sebagai media untuk merambatkan tanaman.

Ada juga kolam ikan wader dengan jajaran paralon di atasnya sebagai media tanam hidroponik sawi. Sementara di pinggir lahan ditanami pohon buah naga, pepaya, jeruk, manggis, dan alpukat.

Itulah gambaran demplot permakultur di Desa Sumberwangi, Kecamatan Sempu, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, yang dikelola warga Yayasan Arek Lintang [ALIT] sekitar dua tahun ini. Beberapa jenis tanaman ada yang diganti setelah dipanen.

Kasiyanto, warga Sumberwangi yang menjadi penanggung jawab lahan, menyatakan pertanian permakultur ini menggunakan pupuk alami.

“Semua diarahkan untuk kembali ke yang alami, agar tanah kembali subur,” terangnya, baru-baru ini.

Model permakultur, diharapkan mengembalikan pola pikir masyarakat tentang pertanian berkelanjutan. Menurutnya, selama ini cara berpikir masyarakat sudah diracuni penggunaan pupuk kimia yang dapat mempercepat pertumbuhan tanaman dan hasil lebih banyak.

“Sayur dan buah organik itu sangat bagus untuk tubuh kita. Pastinya tidak terkontaminasi pestisida dan pupuk kimia. Otomatis, tubuh kita lebih sehat.”

Baca: Pertanian Organik dengan Hidroponik, Mengapa Tidak?

 

Buah labu siap panen dari kebun permakultur. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Kunci pertanian permakultur, menurut Kasiyanto, adalah kesabaran dan ketekunan mengolah tanah serta merawat tanaman. Kualitas hasil panen dan manfaat untuk kesehatan, merupakan hal utama model ini.

“Kesehatan tanah sebagai media tanam berumur panjang harus diperhatikan.”.

Sistem permakultur sangat cocok diterapkan di setiap rumah tangga. Selain memenuhi kebutuhan harian juga meningkatkan ketahanan pangan.

“Kedepan, kami akan menanam padi dengan sistem organik, supaya aman dikonsumsi,” imbuhnya.

Sunarto, warga Sumberwangi yang turut mengelola pembenihan, menekankan pentingnya bibit untuk pembenihan.

“Bibit kita persiapkan sendiri. Dari benih sampai berkembang dan berbunga, butuh sekitar 45 hari. Setelah dipindahkan ke tanah sampai siap dipanen, total 60-75 hari,” terangnya.

Baca: Pertanian Bawah Tanah, Solusi Pangan Masa Depan?

 

Menanam sawi dengan sistem hidroponik, diatas kolam pembenihan ikan wader. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Kurangi bahan kimia

Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang, Sitawati, mengatakan permakultur merupakan pola hubungan manusia dengan alam, khususnya pertanian dan peternakan yang selaras atau menyatu dengan bumi.

“Jadi, semua ruang itu dimanfaatkan sesuai persyaratan ekologinya.”

Sitawati menuturkan, pada masa lalu masyarakat mengambil hasil bumi, termasuk bahan pangan sesuai kebutuhan. Tidak berlebihan, yang berarti turut menjaga kelestarian alam.

Saat ini, pertanian pangan lebih mengutamakan capaian jumlah. Produktivitas sering mengabaikan faktor lingkungan.

“Lingkungan kadang diabaikan, bumi tidak diperhatikan, hanya dieksploitasi,” ujarnya.

Baca juga: Agama Dorong Pertanian Berkelanjutan, Caranya?

 

Buah pepaya yang diambil bijinya untuk pembenihan. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Pemerintah, menurut Sitawati, telah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang mendorong petani memproduksi bahan pangan sehat. Salah satunya dengan mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia, bahkan hingga seratus persen secara bertahap beralih ke organik.

“Kalau langsung zero agak susah, tidak bisa dipaksa. Tapi, kita sudah mengarah ke organik, agar  lingkungan tidak semakin rusak.”

Pada pertanian permakultur, jumlah produksi pangan tidak dijadikan ukuran. Namun, permakultur dipastikan mampu memenuhi kebutuhan harian masyarakat di tingkat lokal.

“Bumi yang sehat harus kita utamakan. Dengan konsep ini, masyarakat tetap mendapat nilai ekonomi sementara lingkungan tetap terjaga,” tandasnya.

 

Kebun Permakultur di Desa Sumberwangi, Sempu, Banyuwangi menjadi percontohan pertanian berkelanjutan. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version