Mongabay.co.id

Program Amnesti Sawit Ilegal Sarat Kritik. Sejauh Mana Kemajuannya?

 

Pemerintah Indonesia telah melakukan program pengampunan kepada perkebunan sawit ilegal yang berada di lahan hutan negara. Dari sekitar 3,37 juta hektar kebun sawit ilegal, maka seluas 237.511 hektar telah ditindaklanjuti oleh pemerintah sejak tahun 2020.

Namun program ini pun tak sepi dari kritik, dari kalangan aktivis maupun anggota parlemen. Aktivis menyebut skema ini lebih pro kepada para pelaku kejahatan hutan, yang selama ini terlibat dalam deforestasi, kebakaran hutan, dan konflik lahan. Alih-alih berpihak petani kecil, program ini, insentifnya lebih banyak dirasakan oleh perusahaan besar.

Skema program amnesti bagi perkebunan sawit yang berstatus ‘keterlanjuran’ di kawasan hutan negara adalah instrumen yang dimungkinkan dari omnibus law. Undang-Undang yang selanjutnya dikenal sebagai UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 sejak kemuculannya telah dianggap kontroversial dan tidak konstitusional.

Alih-alih menghapus hukuman pidana bagi perkebunan ilegal dan para pelakunya, Undang-Undang ini malah mengizinkan lahan yang ada untuk dilegalisasi. Dengan pembayaran sejumlah denda dan pengajuan permohonan rezonasi, pemerintah akan mengubah bentang lahan menjadi kawasan bukan hutan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut program amnesti ini sejatinya diberikan bagi para petani kecil yang selama ini mengelola kebun plasma ilegal di kawasan hutan. Namun, pihak aktivis skeptis dengan kenyataan yang ada.

“Proporsi terbesar [yang mendapat amnesti perkebunan dan penetapan ulang] adalah korporasi,” jelas Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan WALHI. “Skema dengan narasi pro-petani digunakan sebagai dasar tindakan, yang akhirnya akan memperkaya dan mengampuni dosa-dosa pihak perusahaan.”

 

Perkebunan sawit yang berbatasan dengan hutan di Sumatra, Indonesia. Foto: Rhett A. Butler / Mongabay.

 

Minim Transparansi

Terdapat dua jenis kebun yang berhak dan dianggap dapat memenuhi syarat pengajuan amnesti: yaitu perkebunan dengan izin yang relevan dari otoritas lokal tetapi bukan dari pemerintah pusat, yang disebut Pemohon 110a, serta kebun yang tidak memiliki izin sama sekali dari pemerintah lokal atau pusat, yang dikenal sebagai Pemohon 110b.

Pemohon 110a dapat mendapatkan legalisasi permanen dengan membayar sejumlah denda dan mendapatkan izin rezoning, atau surat keputusan pelepasan hutan, dari pihak KLHK.

Sebaliknya Pemohon 110b, selain membayar denda, izin operasi mereka dibatasi selama satu siklus panen, atau hingga 15 tahun. Sedang, perkebunan yang berada di kawasan hutan lindung atau konservasi tidak bisa sama sekali mendapatkan amnesti. Lahan mereka pun akan segera diambil alih pemerintah.

Namun kurangnya transparansi seputar program tersebut membuat masyarakat tidak tahu apakah perkebunan yang seharusnya masuk kategori 110b dapat dilegalkan di bawah aturan 110a, kata Uli.

“Kami tidak tahu detailnya seperti apa karena prosesnya tertutup. Ini rawan dirusak oleh konflik kepentingan. Karena tidak ada keadilan di ruang tertutup. Kami tidak memiliki kesempatan untuk memastikan mana perusahaan yang dapat masuk kategori 110a atau skema 110b,” ujarnya.

 

Perkebunan sawit di Kalimatan. Foto: Nanang Sujana

 

Risiko Korupsi

Uli menyebut bahwa tenggat yang ditetapkan oleh Kementerian. -mengacu pada tenggat UU Cipta Kerja, yaitu tanggal 2 November 2023, dapat menjadi pintu praktik korupsi. Apalagi, tanggal itu jatuh tepat sebelum dimulainya masa kampanye pemilihan legislatif dan presiden di bulan Februari 2024.

Pejabat dan kandidat di lokasi perkebunan ilegal banyak berada, amat rentan menerima dana imbalan untuk membantu mempercepat amnesti bagi operator perkebunan tersebut.

“Skema 110a dan 110b merupakan peluang transaksional yang sengaja dibuat untuk menyatukan kepentingan perusahaan dengan para elit di tahun politik ini,” ujar Uli. “Perusahaan diampuni, sedangkan para elit mendapatkan dana politik.”

KLHK memprediksi setidaknya dana Rp50 triliun akan terkumpul dari skema 110a. Namun, hingga Agustus 2022, baru mencapai Rp222,7 miliar dari 75 perusahaan.

Alien Mus, anggota DPR Fraksi Golkar dari Komisi IV yang membidangi Pertanian, Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kelautan, mengkritik KLHK saat sidang pada 6 April 2023 lalu. Dia menyebut pemerintah lamban dalam mengumpulkan denda dari konsesi ilegal.

Alien mengatakan beberapa perusahaan sempat mengeluh, mereka ingin membayar tetapi masih menunggu kementerian untuk memberi tahu mereka berapa banyak hutang mereka.

Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono, pun merespoon jika keterlambatan itu dikarenakan perusahaan terlambat menyerahkan dokumen yang diperlukan. Pihaknya pun berjanji akan mempercepat pelaksanaan skema amnesti.

Salah satu pejabat KHLK, FX Wirawan, mengatakan skema amnesti akan memprioritaskan keadilan “restoratif” atas tindakan hukum sebelumnya yang ditentukan bagi perkebunan ilegal. “Kami mengutamakan pendekatan nonlitigasi untuk menyelesaikannya,” ujarnya.

Hingga Desember 2022, KLHK telah mengidentifikasi seluas 543.411 hektar yang mencakup 616 perusahaan sawit. Kementrian sebutnya sedang melakukan proses rezonasi kawasan hutan yang teridentifikasi tersebut.

Sumber dari WALHI mengatakan KHLIK telah mengidentifikasi tambahan 531 perusahaan yang mengoperasikan perkebunan ilegal, pertambangan dan koperasi pertanian. Sehingga total yang teridentifikasi menjadi 1.147.

KLHK memperkirakan, -meski belum konfirmasi data resmi, petani kecil menguasai 514.886 hektar perkebunan sawit ilegal. Berbeda dengan perkebunan yang terkait perusahaan, KLHK masih perlu mengidentifikasi para pemilik perkebunan kecil ini.

Tulisan asli: Indonesia legalizes illicit oil palm farms in program slammed as opaque. Artikel ini diterjemahkan Akita Verseltia.

 

***

Foto utama: Pekerja sawit mengendarai sepeda motor di perkebunan kelapa sawit di Riau. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.

 

 

Exit mobile version