Mongabay.co.id

Sampah Plastik dan Perubahan Iklim, Seperti Apa?

 

 

Sampah plastik merupakan ancaman serius yang menyebabkan rusaknya lingkungan kita, terutama wilayah perairan. Penggunaan produk plastik kemasan, sampah rumah tangga, maupun limbah industri merupakan sumber utama permasalahan yang terjadi.

Menurut catatan World Population Review, dikutip dari Katadata, pada 2021 sampah plastik di laut Indonesia mencapai 56 ribu ton. Sementara, sekitar 4,8 hingga 12,7 juta metrik ton plastik masuk ke laut penjuru dunia setiap tahun.

Dari data tersebut, Indonesia menjadi negara nomor lima penyumbang sampah plastik ke lautan, setelah Filipina, India, Malaysia, dan China.

Bagaimana mengatasi permasalahan ini?

Baca: Gelombang Panas dan Dampak Nyata Perubahan Iklim

 

Sampah plastik yang masuk ke laut tidak hanya merusak lingkungan tapi juga membuat biota yang ada menderita. Foto: Pixabay/Medi2Go/Public Domain

 

Salah satu cara adalah penggunaan teknologi nuklir, yang sering disebut Nuclear Technology for Controlling Plastic Pollution [NUTEC Plastics].

Tita Puspitasari, Kepala Pusat Riset Teknologi Radioisotop, Radiofarmaka, dan Biodosimetri [PRTRRB] BRIN sekaligus National Project Coordinator RAS 1024 International Atomic Energy Agency [IAEA], akhir 2022 lalu, menjelaskan pemanfaatan teknologi nuklir untuk sampah plastik bisa dilakukan dalam beberapa pendekatan. Melalui cara monitoring asal plastik, sedimennya, umurnya, juga distribusinya pada makhluk hidup.

Sampah plastik harus dikelola dengan baik di daratan, jika tidak di-recycle maka potensi bocor ke lautan sangat besar.

“Di daratan harus diolah dulu,” jelasnya melalui keterang tertulis.

Adapun recycling produk plastik dilakukan dengan cara dibersihkan, lalu dijadikan bubur yang selanjutnya bisa dibentuk menjadi produk.

Cara recycling ini bisa menggunakan teknik radiasi nuklir. Prosesnya beragam, misalnya primer recycling, yaitu untuk produk gagal di pabrik. Ini bisa diproses lagi karena plastik bisa dibentuk kembali.

Proses selanjutnya secondary recycling, yaitu menggunakan plastik yang sudah dipakai masyarakat dan menjadi sampah. Caranya dipilah, kemudian diproses dan dibentuk kembali sehingga bisa menjadi produk lebih berguna.

“Teknologi radiasi mengolah sampah plastik bisa dicampur dengan sampah biomassa, misalnya serbuk gergaji, serbuk kayu, atau bahkan tandan kosong sawit.”

Dari campuran ini dijadikan wood plastic composite, yaitu material konstruksi masa kini, seperti kayu namun memiliki ketahanan yang tidak dimiliki kayu. Teknologi radiasi ini bisa membuat compatibilizer-nya menyatukan kayu dan plastik, memperkuat produk makin kokoh.

NUTEC Plastics diluncurkan tahun 2020 oleh Badan Tenaga Atom Internasional atau The International Atomic Energy Agency [IAEA].

Baca juga: Mikroplastik, Ancaman Nyata di Kehidupan Kita

 

Sampah plastik yang mengotori lautan merupakan persoalan global yang harus kita selesaikan bersama. Foto: Pixabay/Sergeitokmakov/Public Domain

 

Hentikan produksi plastik

Profesor Rudy Tarumingkeng, ahli konservasi alam, saat diwawancarai Profesor Hadi Alikodra, Guru Besar IPB, mengatakan sampah plastik saat ini memang sudah menjadi ancaman serius. Bahkan, banyak satwa laut mati karena makan sampah plastik. Paling sering tersiar, hewan langka penyu.

Dekan Fakultas Kehutanan IPB tahun 1968-1971 itu bahkan mengusulkan untuk penghentian  produksi plastik. Dia menyarankan masyarakat menggunakan produk ramah lingkungan.

“Baiknya menggunakan produk yang tidak sekali pakai. Lebih baik yang ramah lingkungan,” katanya.

Polusi plastik merupakan salah satu penyebab terjadinya perubahan iklim. Ini tidak lain karena plastik terbuat dari bahan etilena dan propilena yang berasal dari bahan bakar fosil. Produk plastik ini ketika terkena sinar matahari akan meningkatkan jumlah karbon dioksida di atmosfer.

“Namun ketika plastik dibuang ke laut, justru merusak lingkungan.”

Lautan, kata Rudy, adalah penyerap karbon melalui fotosintesis pada plankton dan alga.

“Juga melalui difusi ke atmosfer.”

 

Seekor pari manta tampak dikelilingi sampah di perairan Manta Bay, Nusa Penida, Bali. Foto: Marine Megafauna Foundation

 

Dari peneliti Helen V. Ford, Nia H. Jones dan kolega berjudul “The Fundamental Links Between Climate Change and Marine Plastic Pollution” yang terbit di jurnal Science of The Total Environment, volume 806, part 1, 1 February 2022, diketahui polusi plastik laut dan perubahan iklim sangat berkaitan.

Hal ini terbukti dengan tiga cara. Pertama, produksi plastik sangat bergantung pada ekstraksi bahan bakar fosil dan konsumsi sumber daya yang terbatas. Kedua, peristiwa iklim, seperti banjir, peningkatan cuaca ekstrim, mempengaruhi distribusi polusi plastik dan akan menyebar lebih jauh.

Ketiga, pemanasan global sendiri memiliki konsekuensi bencana yang dapat dibuktikan pada lingkungan laut, sementara dampak polusi plastik juga membuktikan sangat berbahaya bagi spesies dan ekosistem.

“Ekosistem dan spesies sangat rentan terhadap keduanya, seperti terumbu karang yang menghadapi penyebaran penyakit melalui polusi plastik dan peningkatan kejadian pemutihan global yang didorong oleh iklim,” tulis laporan tersebut.

Menurut peneliti tersebut, riset mendalam perlu dilakukan untuk mengetahui sekaligus mencari solusi permasalahan ini.

 

Exit mobile version