- Sampah perkotaan dan sampah plastik telah menjadi masalah bersama, namun masih sangat kurang mendapat perhatian. Masalah sampah juga telah menjadi masalah multi dimensional.
- Dalam kurun waktu 13 tahun sejak kehadiran UU terkait pengelolaan sampah plastik, hanya Pemda DKI dan Bali yang punya perda sampah plastik, dan 35 kabupaten/kota.
- Terkait regulasi diperlukan perubahan aturan yang terkait pelibatan para pihak dan sanksi.
- Pengelolaan sampah di Makassar harus dikelola secara kolaboratif dengan melibatkan banyak pihak termasuk NGO dan swasta, tidak hanya melibatkan pihak pemerintah semata.
Sampah, khususnya limbah plastik telah menjadi masalah dunia modern saat ini. Meningkatnya ekstra konsumsi dan gaya hidup mendorong penggunaan sampah plastik. Namun, penanganannya dianggap belum maksimal hingga saat ini.
Di tingkat pemerintah daerah penangangan permasalahan sampah plastik belum dianggap hal utama. Pemda yang memiliki regulasi masalah sampah pun masih terbatas.
“Di tingkat provinsi, baru DKI Jakarta dan Bali yang memiliki regulasi sampah plastik, sementara dari ratusan kabupaten dan kota yang ada baru sekitar 35 daerah yang memiliki regulasi sampah plastik,” ungkap Prof. Dr. Maskun, SH, dalam diskusi bedah buku “Pengelolaan dan Penegakan Hukum Sampah Plastik di Indonesia” (12/05/2023) lalu.
Di tingkat Asia Tenggara sampah asal Indonesia telah jadi perhatian. Beberapa tahun lalu, sempat viral sampah plastik asal Indonesia yang nyebrang lewat laut ke negara-negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, hingga Thailand.
“Lembaga Ecoton Surabaya pernah mengidentifikasi jumlah sampah Made in Indonesia yang tiba di Malaysia, Singapura, dan negara-negara tetangga lainnya yang berbasis laut. Setiap tahunnya, sampah plastik Indonesia hampir 11 juta ton per tahun. Yang bocor sampai ke laut itu kurang lebih 0,7 juta ton tanpa disadari,” jelas dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini,
Meski telah ada UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang mengamanahkan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk mengadakan pengaturan tentang sampah plastik, namun hasilnya belum maksimal.
“Dalam kurun waktu 13 tahun sejak kehadiran UU tersebut hanya DKI Jakarta dan Bali yang punya perda sampah plastik,” lanjut Maskun.
“Ini menunjukkan betapa keberpihakan secara regulasi dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sampah masih rendah.”
Dampak buangan sampah plastik di lautan tentu sangat mengkhawatirkan. Saat laut tercemar plastik, akan berakibat negatif pada hasil ikan tangkapan yang menjadi sumber pangan.
Baca juga: Mengapa Penanganan Sampah Masih Karut Marut?
Perda Sampah di Makassar, Efektif?
Meski Kota Makassar telah memiliki Perda Nomor 4 tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah, namun hingga kini, penanganan permasalahan sampah dianggap belum berhasil. Bagi para pegiat lingkungan hal ini tak lepas bagaimana paradigma yang digunakan oleh pemangku kekuasaan.
Di dalam Perda, disebut satu-satunya lembaga pengelola sampah adalah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) sampah.
“Tidak boleh penanganan sampah hanya dikelola pemerintah saja, harusnya melibatkan masyarakat dan swasta sebagai bagian dari stakeholders,” sebut Rizal Fauzi, aktivis dari Serikat Hijau Indonesia (SHI).
Terkait aturan sanksi pun dinilai tidak realistis. Dikatakan bahwa siapa yang membuang sampah akan didenda Rp1 juta, namun tak disebutkan institusi yang menjalankan penegakan hukumnya.
“Dikatakan kalau ada yang buang sampah maka akan ditangkap. Ditangkap dibawa ke mana? Apa Satpol mau tangkap yang buang sampah, dan setelah ditangkap akan dibawa ke mana? Setelah ditangkap tak bisa bayar akan ditahan, ditahan di mana dan siapa yang kasih makan? Perda ini kan secara perspektif administrasi publik tidak realistis, makanya tidak implementatif,” lanjut Rizal.
Dia meminta perda sampah Makassar direvisi, apalagi usianya sudah melebihi 10 tahun.
Akibat desain perda yang bermasalah, masalah pengelolaan sampah di Kota Makassar pun menjadi buruk. Dari tingkat kelurahan sampai ke TPA.
“Persoalan sampah karena tidak ada tempat ke buangan sampah di setiap kelurahan. Dari data, hanya 17 persen lokasi di Makassar yang memiliki tempat pembuangan sampah,” jelas Hikmah dari Divisi Riset WALHI Sulsel.
Menurutnya, pengawasan sampah kota kurang berjalan maksimal. Begitu pun dari segi anggaran yang begitu besar, namun dikelola tidak maksimal.
“Kalau pengelolaan sampah tidak diperhatikan serius, akan terjadi bencana hulu hilir,” tambahnya.
Kota Makassar yang terletak di pesisir, tak pelak sampahnya terbawa hingga ke pulau-pulau yang ada di sekitarnya.
“Di Pulau Kodingareng, saat terjadi abrasi banyak sampah plastik yang naik ke pulau. Sekitar pulau dipenuhi sampah, selain perkotaan juga daerah-daerah pesisir dan pulau-pulau. Mereka terus produksi sampah namun bingung mau dibuang ke mana. Belum lagi sampah dari laut.”
Hikmah pun berharap pengelolaan sampah di Kota Makassar dapat dikelola secara kolaboratif dengan pelibatan para pihak termasuk NGO dan swasta.
Di sisi lain Maskun juga berharap masalah sampah ini diselesaikan secara kolaboratif melalui penguatan kelembagaan dan melibatkan banyak pihak yang ahli di bidangnya masing-masing.
“Kita harus bekerja bersama-sama kalau mau berhasil, ada yang ke regulasi, kampanye, riset, teknologi, dan yang terpenting adalah pendidikan dan kesadaran masyarakat.”
***
Foto Utama: Foto udara warga memulung sampah di Sungai Citarum, Batujajar, Kabupaten Bandung Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia