Mongabay.co.id

Ekspor Pasir Laut Dibuka Jokowi, Mimpi Buruk Nelayan Kepri Terjadi Lagi

 

Masih jelas dalam ingatan Amirullah (59 tahun) tokoh nelayan Kabupaten Tanjung Balai Karimun, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) 22 tahun lalu. Laut mereka yang jernih, tiba-tiba keruh, karang-karang rusak, ikan menghilang. Petaka itu datang kala perusahaan tambang mengeruk pasir laut di pesisir Karimun.

Saat itu, pendapatan Amirullah dan nelayan turun drastis akibat laut yang rusak. “Pada tahun 2001 itu kami sangat terdampak, hasil tangkapan tidak ada lagi, terumbu karang habis,” kata Amir bercerita kepada Mongabay Indonesia, Selasa, 30 Mei 2023.

Mayoritas nelayan di Karimun menggunakan jaring untuk menangkap ikan dengan kapal ukuran dibawah 5 gross tonnage (GT). Area tangkap mereka berada di pesisir laut. Di lokasi yang sama juga beroperasi kapal isap tambang pasir laut yang merusak. “Tambang pasir lautnya dekat dengan pulau, dengan adanya tambang pasir laut ketika itu, terganggu hasil tangkapan kami,” kata Amir.

Melihat dampak kerusakannya dari penambangan pasir laut yang diekspor untuk reklamasi pulau Singapura, Presiden Megawati kala itu kemudian melarang ekspor pasir laut melalui surat keputusan (SK) Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Alasan utama dilarang karena dinilai merusak lingkungan yang berpotensi menenggelamkan pulau-pulau kecil

Petaka kerusakan laut itu agaknya bakal terulang kembali, setelah Presiden Joko Widodo membuka keran ekspor tambang pasir laut yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No.26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut. Perusahan-perusahaan tambang pasir kembali marak, terutama di Kepulauan Riau salah satu titik lokasi pertambangan pasir laut.

baca : Jokowi Buka Keran Ekspor Tambang Pasir Laut Setelah 20 Tahun Dilarang

 

Nelayan di Pulau Kojong Lingga, Kepulauan Riau, melaut dengan latar belakang pesisir pulau yang ditambang pasirnya. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Amir mengaku belum mendapatkan kabar tersebut. Ia juga tidak mendapatkan sosialisasi apapun baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. “Saya baru tahu dari kawan-kawan media. Kami ingin apapun soal laut, sosialisasikan dulu kepada nelayan,” kata Amir.

Padahal, saat ini laut di Karimun sudah mulai pulih meskipun tidak 100 persen setelah 22 tahun lalu rusak parah akibat tambang pasir laut. “Ini baru mau pulih, sekarang hasil tangkapan sudah mulai membaik, eh (tambang pasir laut) ini mau dibuka lagi,” kata Amir.

Tidak hanya di Karimun, perairan di Kota Batam juga menjadi langganan tambang pasir laut. Nelayan juga khawatir dampak lingkungan akibat tambang pasir yang terjadi pada tahun 2000 terulang kembali.

Salah seorang nelayan Hamdan Umar bercerita, tahun 2000 tambang pasir laut pernah beroperasi di perairan Kelurahan Pemping, Belakang Padang, Kota Batam. Kala itu dampak tambang pasir dirasakan nelayan dan masyarakat pesisir.

Bahkan tidak hanya membuat tangkapan nelayan hilang, aktivitas tambang ini juga menciptakan abrasi atau pengikisan daratan. “Dulu itu tiang-tiang rumah panggung warga di Pulau Labuh sudah melayang, karena pasir tempat tiang itu ditancapkan terkikis,” kata Hamdan.

baca juga : Benarkah Demi Kesehatan Laut, Pemanfaatan Sedimentasi Laut Dilakukan?

 

Salah satu pulau yang terus mengalami abrasi air laut di Kota Batam. Batam menjadi salah satu lokasi penambangan pasir laut. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Pada tahun 2019 kata Hamdan, dua perusahaan tambang mengajukan kembali izin penambangan pasir laut. Masyarakat nelayan menolak aktivitas itu, pasalnya tidak menginginkan kejadian kerusakan pada tahun 2000 terulang kembali. Selain itu, perusahaan yang mengajukan izin juga disinyalir melanggar aturan sehingga penambangan tidak jadi dilakukan.

Meskipun saat ini ada potensi perusahaan tambang pasir laut akan datang lagi ke Pemping, Hamdan memastikan akan tetap menolak. “Saya akan hidupkan asosiasi menolak tambang pasir laut ini lagi, kita tetap teguh menolak, berkaca dari kerusakan yang terjadi pada tahun 2000,” katanya.

 

Kompensasi Bukan Solusi

Nelayan di Kepulauan Riau tidak bisa berbuat banyak dengan kebijakan pemerintah. Meskipun tambang pasir laut akan marak kembali, mereka minta pemerintah memperhatikan nasib nelayan.

Amirullah berharap ada solusi bagi mereka dan tidak diadu domba dengan perusahaan penambang. Solusinya bukanlah perusahaan memberikan kompensasi Rp600.000 – Rp1 juta untuk nelayan terdampak, tetapi solusi jangka panjang. “Kalau kompensasi misalnya Rp1 juta, dua hari sudah habis, padahal ada anak dan istri yang harus dihidupi,” katanya.

Ia menawarkan solusi agar perusahaan tidak perlu memberikan kompensasi, tetapi memberikan bantuan kapal yang lebih besar dari 5 GT agar nelayan Karimun bisa melaut lebih jauh dari titik lokasi tambang pasir laut. “Kalau sekarang kapal kita melaut di pinggir dimana ada tambang pasir laut, akan menimbulkan masalah,” katanya.

Begitu juga yang dikatakan Hamdan, kompensasi perusahaan bukanlah solusi, karena nilai kompensasi tidak sebanding dengan penghasilan nelayan ketika melaut dengan laut yang sehat. “Kita seharian melaut, bisa dapat jutaan rupiah. Makanya saya minta ke kawan-kawan nelayan jangan tergiur kompensasi,” kata Hamdan.

Apalagi kalau karang sudah rusak, kata Hamdan, beberapa penelitian jelas menyebutkan karang itu bisa hidup sempurna lagi butuh waktu puluhan tahun. “Kalau kita terima tambang pasir laut ini, itu sama saja dengan menyusahkan diri sendiri, dampaknya ngeri,” katanya.

baca juga : Tambang Pasir Laut di Makassar Rampas Ruang Hidup Nelayan

 

Nelayan di Kepulauan Riau melaut di kawasan perairan Singapura. Perairan ini menjadi salah satu lokasi tambang pasir laut pada tahun 2002 lalu. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Penolakan Berbagai Pihak

Perwakilan masyarakat pesisir dari berbagai wilayah Indonesia yang didampingi oleh beberapa LSM seperti Walhi, Greenpeace Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dan Destructive Fishing Watch (DFW) pada Rabu, 31 Mei 2023 kemarin beramai-ramai menolak terbitnya PP No.26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Regulasi tersebut dinilai hanya akan memicu banyak dampak negatif yang merugikan banyak aspek kehidupan.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menanggapi bahwa peraturan tersebut dilatarbelakangi oleh pertimbangan eksploitatif dan berorientasi pada bisnis semata. Itu bertolak belakang dengan komitmen Menteri Kelautan dan Perikanan yang ingin menjadikan ekologi dan lingkungan sebagai panglima di laut.

Sedangkan WALHI bersama seluruh eksekutif daerah di berbagai provinsi juga menolak tegas menolak pemberlakuan PP 26/2023 dan meminta aturan itu dicabut.

Manajer Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin mencatat, penerbitan PP 26/2023 merupakan langkah mundur jauh ke belakang dalam konteks perlindungan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut Indonesia. Termasuk, perlindungan wilayah tangkap nelayan yang merupakan produsen pangan laut utama di Indonesia.

Sementara Greenpeace Indonesia menilai penerbitan PP 26/2023 adalah bentuk pencucian hijau (greenwashing) yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Praktik tersebut adalah tipuan pemasaran melalui pencitraan palsu.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah menyebut apa yang dilakukan Pemerintah, adalah bermain kembali dengan narasi yang seakan mengedepankan pemulihan lingkungan dan berkelanjutan.

“Tapi, nyatanya malah menggelar karpet merah untuk kepentingan bisnis dan oligarki,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version