Mongabay.co.id

Mika Ganobal, Camat Pejuang Lingkungan dari Kepulauan Aru

 

 

 

 

Hari itu, medio Agustus 2013, beberapa pemuda mendatangi ruangan SPKT Polres Kepulauan Aru untuk memasukkan surat izin berdemo. Mereka berniat aksi damai menolak investasi perkebunan tebu perusahaan,  PT Menara Group.

Para pemuda ini lupa surat permohonan izin kepada kepolisian tak memiliki penaggung jawab. Mereka diminta berembuk memilih koordinator aksi.

Mereka berdiskusi. Para pemuda ini menunjuk Mika Ganobal sebagai penanggung jawab atau koordinator aksi. Mika sempat berdebat, namun akhirnya mengalah.

“Ceritanya, biking surat ke Polres untuk aksi demonstrasi ini seng tahu siapa mau tanda tangan surat untuk jadi koordinator aksi,” katanya.  Saat itu, Mika ada di luar Kantor Polres.

Teman-temannya keluar dan menyodorkan surat pertanyaan.

“Bung yang tanda tangan.”

“Bung koordinator sudah,  katong sudah percayakan.”

Itulah awal mula Mika mendapat kepercayaan sebagai koordinator penolak perkebunan tebu di Kepulauan Aru.  Kala itu, Masyarakat Aru mulai bergerak melawan dan protes konsorsium perusahaan, Menara Group,  yang akan masuk di bumi Jargaria. Perusahaan ini dapat izin konsesi di Kepulauan Aru hampir 500.000 hektar!

Mika dan masyarakat Aru melawan dengan nama Gerakan “SaveAru.”

Mika merupakan pegawai negeri di Aru. Dengan status itu tak membuat membuat Mika kendor dan takut. Dia dapat banyak dukungan dari kerabat maupun masyarakat Aru.

 

Baca juga: Cerita Perjuangan Panjang Warga Selamatkan Kepulauan Aru

Hutan mangrove dan perairan Kepulauan Aru. Foto Forest Watch Indonesia.

 

Perjuangan ini banyak tantangan, seperti intimidasi hingga ancaman dipecat dari pekerjaan sebagai pegawai pemerintah.

“Jadi, memang kondisi sebagai PNS intimidasi pasti ada, bahkan ancaman pemecatan ada, misal, non-job terus dilakukan oleh penguasa. Kalau pemerintah berpikir ini kita melawan negara, bagi saya itu melawan kebijakan negara yang tidak sesuai,” kata Mika.

Sejak 2013, perlawanan warga mulai meluas. Jalan-jalan berubah jadi lautan Masyarakat Adat Aru yang turun ke jalan.

 

Baca juga: Nasib Hutan dan Savana Kalau Peternakan Sapi Masuk Kepulauan Aru

Kepulauan Aru terbentang sekitar 185 kilometer dari utara ke selatan dan 90 kilometer dari timur ke barat. Ukurannya hampir sama dengan dua kali Pulau Bali.

 

Mika mengenang, pertengahan Maret 2013, Pemerintah Kepulauan Aru mengundang para kepala desa dari Kepulauan Aru di Gedung Sita Kena di Dobo. Tujuan rapat itu untuk mensosialisasikan Undang-undang Desa terkait tata kelola birokrasi desa.  Mika cium tujuan lain karena ada beberapa pejabat perusahaan hadir.

Simon Kamsy, aktivis lingkungan Kepulauan Aru, rekan tim Mika hadir dalam rapat itu. Simon menolak keras kehadiran Menara Group. Mereka juga bersama Dolfince Gaelagoe, atau mama Do, perwakilan perempuan adat Kepulauan Aru.

Mika dan tim “SaveAru” mulai menggalang dukungan menolak masuk perkebunan tebu Menara Group.

Katong tidak punya uang, berbekal sepeda motor, idelisme, orang juga percaya katorang (kita). Akhirnya beta dengan Mika bisa mendapat dukungan dari masyarakat banyak 80 desa lebih,” kata Simon.

Selain dukungan dari desa-desa di Aru, mereka juga menggalang dari luar seperti di Ambon atau  luar Maluku.

Komunikasi pertama dengan Jecky Manuputty, dari gereja jaringan angkatan muda GPM. Lalu Ambon bergerak, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku dan PB AMAN, Komnas HAM daerah maupun nasional dan Forest Watch Indonesia. “Kita beri informasi dan data terus kepada mereka,” kata Mika.

Jacky Manuputty,  pada 2013 itu, Direktur Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Gereja Protestan Maluku. Saat ini,  dia Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). GPM merupakan lembaga terbesar Kristen di Maluku.

Ada juga Rudy Fofid,  sastrawan dan jurnalis senior di Maluku juga diminta bergabung bersama Mika dalam koalisi “Save Aru.” Keberanian Mika, menurut Rudy,  membuat dia ikut gerakan itu. Rudy pun tak tanggung-tanggung turun dan berkampanye.

Mika, kata Rudy, juga menggabungkan pergerakan melalui remaja mesjid, angkatan muda gereja protestan Maluku, pemuda Katolik. Dia bisa komunikasi dengan berbagai organisasi adat di Kepulauan Aru.

 

Jacky (tengah) berdiri bersama Collin (ketiga dari kanan) dan para mahasiswa lain pada malam solidaritas di mana mereka menyalakan lilin pada Agustus 2013.

 

Pergerakan dengan membangun jejaring di dalam maupun luar Maluku, Mika terus dilakukan.  Dukungan bahkan datang dari berbagai negara.

Bagi Rudy, Mika memberikan banyak inspirasi perjuangan dengan cara damai.

Singkat cerita, gerakan Save Aru Island berhasil mengalahkan perusahaan kuat yang mengubah tanah-tanah untuk perkebunan tebu raksasa. Mereka menang!

Pada 2014  Zulkili Hasan, Menteri Kehutanan, nyatakan tak berikan izin pelepasan Kawasan hutan karena Aru tak cocok buat tebu.

Empat tahun setelah itu, tepatnya, November 2019,  Mika diangkat jadi Lurah di Kelurahan Siwa Lima, Kecamatan Pulau Aru, Kepulauan Aru, Maluku.

Sebagai lurah, Mika tetap berdiri sebagai pejuang lingkungan dan pelayan masyarakat.  Mika selalu siap berjuang untuk menjaga Aru dari kerusakan.

“Intinya katong apapun posisinya advokasi tetap jalan. Pencerahan pikiran dan diskusi dengan masyarakat itu tetap jalan.”

 

Mika Ganobal (tengah), saat berpose bersama Direktur FWI, dan Koordinator Program Mongabay Indonesia Ridzki R Sigit, di Hutan P Kobror, Aru Tengah. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, sebagai ASN itu punya tugas pokok sebagai pelayan masyarakat. “Beta maknai atau pahami sebagai pelayan, ya melayani yakni memberikan informasi yang benar kepada masyarakat, misal soal kerusakan lingkungan itu bagian dari ASN juga ketika kita memberikan informasi yang benar.”

Kemudian, katanya, sebagai ASN ini panggilan nurani sebagai anak negeri dan anak adat. “Kita boleh ASN tapi ketika kembali ke masyarakat kita menjadi anak negeri atau anak adat. Ini yang beta maknai hingga tidak bisa dipisahkan.”

Meskipun ancaman dari investasi skala besar mereda, tetapi tantangan menjaga kelestarian Aru tetap ada. Kini, kata Mika, ancaman paling besar adalah pembalakan liar.

Dia bilang, izin-izin keluar dari Dinas Kehutanan Maluku, tidak dari Dinas Kehutanan Kepulauan Aru. Dengan perubahan nomenklatur ini, izin keluar tanpa meninjau lapangan. “Ada kasus di Aru, izin [menebang] di tempat lain dan penebangan di tempat lain. Jadi itu ancaman paling besar sebetulnya,” katanya.

Selain itu, ancaman laut juga kapal-kapal cantrang. “Semua eksodusnya ke Aru yang jadi korban ini masyarakat lokal.”

Bagi Mika,  kepercayaan yang diberikan akan dia dijaga.

Mika naik pangkat. Dia tak lagi menjadi lurah tetapi camat. Mika memulai jabatan baru pada 11 Maret 2022. Dia Camat Aru Utara Timur.

Saat ini, Mika juga aktif memberikan edukasi bagi generasi Aru dan Maluku untuk mencintai lingkungan.

“Mika sekarang orang yang di depan untuk bisa menghalau pembalakan liar. Dia sampai sekarang masih aktif,”  kata Alo Tabela, Kadis Perdagangan dan Perindustrian Kepulauan Aru.

 

Mika Ganobal. Kini menjabat sebagai Camat Aru Utara Timur, Kepulauan Aru, Maluku. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

***

Kecintaan terhadap lingkungan dia juga tanamkan kepada anak-anaknya. Dalam keluarga, Mika dan istri, Dina Somalay, menumbuhkan rasa sayang anak-anaknya kepada lingkungan mulai dari diri sendiri, keluarga, rumah, dan pohon dominan, mangrove. Anak-anak mereka kenalkan dengan beragam mangrove.

Kepulauan Aru, Maluku,  tercipta sebagai surga mangrove. Orang Aru menyebutnya pohon wakat. Hamparan wakat sepanjang mata memandang, jadi cincin hijau melingkari nyaris seluruh kepulauan Mutiara itu.

Sejak zaman purba, orang Aru punya relasi intim dengan wakat. Buah diolah jadi makanan, selain buah raja (Cycas rumphii), dan sagu. Wakat diandalkan juga sebagai rumah alam bagi pemijahan ikan, kepiting bakau, benur udang.

 

Kepulauan Aru yang terdiri dari pulau-pulau yang saling berhimpitan dan terbentang dari timur ke barat oleh tiga aliran utama yang terhubung dengan laut. Foto oleh Forest Watch Indonesia.

 

Selain itu, di areal hutan wakat bisa dijumpai siput yang disebut bia koli, ikan merah wakat, dan berbagai jenis ikan pada saat air pasang. Bahkan, pohon wakat yang sudah mati dan membusuk pun masih menghasilkan sensasi khas.

“Kayu wakat yang membusuk menghasilkan cacing tambelo. Tambelo bisa dimakan mentah sebagai kohu-kohu, atau direbus lalu diolah. Orang habis melahirkan disarankan makan tambelo untuk rangsang air susu ibu,” kata Mika di Dobo, belum lama ini.

Orang Aru sangat sayang pada wakat karena mereka hidup dan makan dari sana.

“Wakat-wakat  yang rusak hanya di Dobo, Pulau Wamar, karena perluasan pemukiman warga. Ki kampung-kampung, sepanjang pengamatan, warga sangat menjaga wakat-wakat karena hidup orang kampung memang di wakat,” kata Mika.

Anak-anak mereka empat orang, semua lelaki. Anak ketiganya, diberi nama Leisava. Dia lahir saat sang ayah sedang gencar dalam perjuangan Save Aru. Leisava pun terinspirasi dari gerakan itu.

“Beta namakan Leisava. Lei adalah lelaki, sedangkan Sava adalah kependekan Save Aru. Nama Leisava diharapkan jadi memori perlawanan sepanjang usia,” kata Mika.

 

Mika Ganobal di Hutan Pulau Kobror, Aru Tengah, Maluku. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

*******

 

Exit mobile version