Mongabay.co.id

Akar Wangi, Tanaman Konservasi, dan Minyaknya Bernilai Tinggi

 

 

 

 

 

Dari kejauhan sekilas bentuk seperti serabut kelapa dengan warna krem kecokelatan. Saat dilihat lebih dekat, ternyata sekumpulan akar yang dihimpun dalam satu bendel ikatan. Akar ini bukan sembarang akar. Ia punya ciri khas, beraroma wangi. Alasan itu pula yang jadikan tumbuhan ini populer dengan sebutan akar wangi.

“Ini biasa diolah untuk diambil minyaknya, minyak akar wangi,” kata Nuryana, petani akar wangi asal Kabupaten Garut, Jawa Barat di sela temu kader Akademi Reforma Agraria Sejati (ARAS) di Kabupaten Ciamis, belum lama ini.

Nuryana sudah membudidayakan tanaman akar wangi lebih 20 tahun lalu. Di atas lahan seluas setengah hektar, dia bisa meraup Rp25 juta sekali panen dari jual mentah.

Selama ini produk akar wangi banyak dipasarkan ke luar negeri. Beberapa negara di Asia hingga Eropa merupakan pembeli terbesar produk bernilai ekonomi tinggi ini antara lain, Singapura, Jepang, India, Hong Kong, Inggris, Belanda, Jerman dan Swiss.

Para petani biasa menjual minyak jadi dengan harga Rp2,7-3,5 juta per liter. Ada juga yang menjual mentahan harga Rp7.000-Rp8.000 setiap kilogram akar.

Proses penyulingan biasa dengan mesin ketel kapasitas 1,5 ton. Satu ton bahan mentah, bisa menghasilkan 10-15 kilogram minyak.

 

Tanaman akar wangi. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Budidaya mudah

Bernilai ekonomi tinggi, budidaya akar wangi tidaklah sulit. Perbanyakan bisa dengan memotong bagian akar yang ada mata tuntasnya.

“Jadi, hanya perlu bibit saat pertama menanam. Setelah itu bisa perbanyakan sendiri. Tinggal potong, tanam,” kata Wildan, petani lain.

Dia bilang, tanaman yang masuk kelompok rerumputan ini dapat berkembang baik di ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Di bawah itu, tetap hidup meski perkembangan tak maksimal.

“Di tanah liat tetap bisa. Tapi akarnya nggak bisa banyak, kalau di tanah gembur bisa panjang dan banyak,” katanya. Untuk bibit, biasa Rp10.000 per kilogram.

Nuryana bilang, penanaman bisa dengan membuat jarak 50 sentimeter per lubang. Jarak ini agar tanaman memiliki zona perakaran yang baik.

Akar wangi, katanya, memiliki akar serabut kuat. Karena itu, ia termasuk kelompok tanaman konservasi yang berguna untuk menahan erosi.

“Makanya, tebing-tebing di tol Jogorawi itu juga banyak ditanami akar wangi,’ kata petani yang menjabat sebagai Kepala Bidang Penataan Produksi dan Pemasaran Serikat Petani Pasundan (SPP) Garut ini.

Menurut dia, akar wangi merupakan tanaman yang tidak mudah terkena hama dan penyakit. Tidak sulit seperti tanaman holtikultura lain yang memerlukan pemupukan atau perawatan rutin.

Proses pembuatan minyak akar wangi, katanya, dengan penyulingan suhu tertentu antara 60-70 derajat Celcius. Lama penyulingan sekitar delapan jam. Terlalu panas, minyak jadi jelek dan gosong. Terlalu rendah, kadar minyak kurang jernih.

“Memanennya dengan dipotong, daun ditimbun untuk pupuk. Baru akar diambil,” kata Nuryana.

Kabupaten Garut dikenal sebagai salah satu penghasil akar wangi (vetiver root oil/Andropogon zizanioides). Pemkab setempat bahkan menerbitkan kebijakan khusus lewat Peraturan Bupati untuk  mendukung pengembangan komoditas ini.

 

Minyak akar wangi. Foto: A Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Dalam Perbup nomor  520/SK.196-HUK/96 tertanggal 6 Agustus 1996, bupati menetapkan lahan 2.400 hektar untuk budidaya dan pengembangan akar wangi di empat kecamatan. Yakni, Kecamatan Samarang 750 hektar,  Kecamatan Bayongbong 210 hektar.

Lalu, Kecamatan Cilawu 240 hektar, Pasirwangi 450 hektar dan Kecamatan Leles 750 hektar.  Dari luas pengembangan itu, produksi minyak akar wangi mencapai 72 ton per tahun.

Secara rinci, volume produksi minyak akar wangi mencapai 7,2 ton dari Kecamatan Cilawu, 6,3 ton dari Kecamaran Bayongbong. Kemudian, 22,5 ton dari Kecamatan Samarang, 13,5 ton dari Kecamatan Pasirwangi dan 22,5 ton dari Kecamatan Leles.

Sebanyak 4.027 keluarga terlibat dalam pengembangan akar wangi ini. Mereka terdiri dari 1.964 orang sebagai pemilik dan 2.063 orang sebagai petani atau penggarap.

Ribuan petani itu tergabung ke dalam 28 kelompok tani, 18 berada di Kecamatan Samarang dan Pasirwangi, Kecamatan Leles ada lima, Cilawu (4) dan satu kelompok di Bayongbong.

Jumlah pengolah atau penyuling ada 33 unit tersebar di Kecamatan Samarang dan 21 di Pasirwangi 21, Sembilan di Leles, satu Bayongbong dan dua di Cilawu.  “Semua produk minyak akar wangi mampu terserap oleh pasar,” tulis portal Pemkab Garut itu.

Optimisme itu didukung fakta lain bahwa tidak banyak negara yang bermain di komoditas ini. Berdasar catatan Pemerintah Garut, pesaing utama produk ini hanya Tahiti, wilayah di selatan Samudera Pasifik. Dengan begitu, pasokan akar wangi di tingkat global masih sangat terbatas.

Namun demikian, upaya pengembangan akar wangi di Garut bukan tanpa permasalahan. Menurut pemkab, ada beberapa hal mesti dibenahi agar budidaya akar wangi terus berkembang di masa depan, seperti soal mata rantai tata niaga terlalu panjang. Situasi itu berpotensi mengurangi keuntungan para petani sebagai akibat para calo (broker).

Selain itu, keterbatasan akses teknologi juga kendala hingga kualitas minyak relatif rendah. “Tentu, ini juga harus didukung dengan akses permodalan yang baik,” tulis Pemkab.

Pemkab pada 2008 mendirikan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) untuk membantu memenuhi kebutuhan petani. Selain laboratorium, UPTD yang dibentuk hasil kerjasama dengan Kementerian Perindustrian dilengkapi unit steam dan mesin boiler.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat menyebut, data produksi akar wangi menunjukkan tren peningkatan. Pada sektor perkebunan rakyat misal, pada 2019, produksi tercatat 3,96 ton, naik jadi 15 ton pada 2020.

Pun demikian dengan sektor perkebunan swasta. Pada 2019, volume produksi mencapai 5.937 ton naik jadi 8.159 ton pada 2020.

Setidaknya ada beberapa daerah di Jawa Barat sebagai penghasil akar wangi. Selain Garut, ada Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Majalengka, Subang, Bandung Barat, Pangandaran, dan Kota Bandung, serta Sumedang dengan volume produksi paling besar.

 

Akar wangi, yang bisa jadi minyak atsiri dan bernilai tinggi. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Dorong pengembangan

Dona Octavia, peneliti agroforestri Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, Garut salah satu penghasil akar wangi terbesar di Indonesia. Para petani setempat banyak yang mengembangkan lantaran nilai ekonomi tinggi.

“Saya kira ini sesuatu yang sangat tepat untuk diperkenalkan dan dibudidayakan di tempat lain di Indonesia, tidak hanya di Garut,” katanya.

Akar wangi, katanya,  merupakan tumbuhan yang masuk dalam kelompok rerumputan. Sebelum panen, sekilas menyerupai sereh wangi sejatinya berbeda. Bila wangi pada sereh berasal dari daun, tidak demikian dengan akar wangi.

“Daun vetiver tidak mengeluarkan aroma wangi, beda dengan sereh tetapi akarnya. Itu sangat potensial.”

Menurut dia, akar wangi bisa menghasilkan minyak atsiri yang bernilai ekonomi tinggi. Bahkan, saat ini, sudah ada komunitas ekspor yang menjual minyak atsiri hingga ke pasar luar.

Di kalangan pelaku perdagangan internasional, minyak atsiri dari tanaman yang mendapat julukan sebagai Java Vetiver Oil ini memiliki kekhasan tersendiri. Senyawa vetiveron yang terkandung di dalam minyak atsiri konon belum bisa dibuat secara sintetis.

Jadi, upaya budidaya sangat penting untuk menjaga setok minyak ini tetap aman. Terlebih, minyak ini banyak dimanfaatkan untuk  pewangi berbagai produk kebutuhan, seperti parfum, kosmetik, pewangi pakaian, sabun, hingga obat-obatan.

Akar wangi tergolong tumbuhan yang cukup adaptif. Bisa tumbuh di daerah rendah hingga dataran tinggi di atas 1.000 mdpl dengan suhu udara 17-27 derajat celscius sekalipun.

Dia juga dapat tumbuh maksimal di daerah dengan curah hujan 2.000-3.000 milimeter per tahun. “Ia bisa tahan di cuaca kering.”

Tanaman ini memiliki sistem perakaran sangat panjang, bisa lima meter, jauh lebih panjang dari tanaman itu sendiri. Sedangkan daun, bisa 1,5-2 meter.

Karena itu, tanaman ini juga dinilai cocok sebagai tanaman konservasi. Cakupan akar yang panjang dan kuat disebut Dona efektif untuk mengikat tanah. Apalagi,  tanaman ini bisa tumbuh baik di lapisan tanah regosol alias yang berpasir.

 

Tanaman akar wangi yang tanam oleh petani Garut. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, perbanyakan tanaman ini juga dapat secara vegetatif, hanya dengan memotong akar atau umbi bermata tunas sudah bisa hasilkan tanaman baru. Dengan beragam kelebihan ini, katanya, akar wangi kerap disebut juga sebagai rumput ajaib karena memiliki banyak fungsi.

Akar wangi dinilai Dona sebagai tanaman efektif untuk konservasi tanah dan air. Petani hanya memerlukan alat untuk melakukan penyulingan. Sedangkan daun, selain untuk pakar ternak, bisa sebagai mulsa agar kelembaban tanah tetap terjaga. “Bahkan, bisa juga untuk bahan baku kerajinan tangan,” kata Dona.

Akar wangi, katanya,  sangat potensial meminimalisir kehilangan unsur hara pada tanah, dibanding tanaman lain. Ia juga baik untuk konservasi tanah.

Selain itu, akad wangi juga dapat membantu proses stabilisasi tanah di tebing-tebing curam, lereng-lereng sungai atau tebing jalan.

Tak kalah penting lagi, akar wangi juga dapat sebagai fitromediasi untuk membantu pemulihan pencemaran air dan tanah yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas pertanian.

“Memang layak dikembangkan.”

 

Akar wangi yang dibikin minyak atsiri oleh petani Garut. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

*******

 

Exit mobile version