Mongabay.co.id

Menanti Kopi Siap Seduh dari Kebun Kamojang

 

 

 

 

Kopi jadi komoditas unggulan para petani di Desa Ibun, Kampung Kamojang, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Petani di Kawasan Kamojang ini sudah merasakan dampak secara ekonomi. Tiap tiga bulan 7-8 kali kopi mereka panen.

Selama ini, mereka belum merasakan kopi yang mereka tanam alias jual mentah semua hasil panen. Akhir 2022, mereka bikin Rumah Kopi, yang jadi tempat pemrosesan kopi-kopi yang mereka hasilkan. Harapannya, produksi para petani Ibun tak hanya  kopi mentah juga siap seduh.

Atep Suryana, petani muda Desa Ibun mengeluarkan kopi kemasan dari kantong perbekalan dari rumah. Merobek, menuangkan ke gelas dan mencampurkan dengan air panas lalu diaduk. Menyeruput perlahan selepas berkebun dan menanam bibit kopi.

Tiap hari setidaknya, tiga sampai empat kali minum kopi kemasan di sela-sela berkebun kopi Atep. Serupa petani muda lain, Nanang Saripudin.

“Kita mah belum pernah ngerasain kopi sendiri. Kebanyak dari warung, sachetan wae tiap hari,” kata Atep tertawa saat ditemui Mongabay di sela-sela menanam bibit kopi.

“Sebetulnya mau tau gimana prosesnya dan mengolah kopinya sendiri,” ujar Nanang menimpali Atep. Asep Rohimat juga begitu.  “Saya disini tanam kopi, tapi beli kopi renceng.”

 

Baca juga: Cerita para Petani Kelola Sekaligus Pulihkan Hutan Kamojang

 

Para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Mulya Tani I Kelompok Usaha Perhutanan Sosial Sauyunan Desa Ibun belum pernah merasakan kopi yang mereka panen sendiri. Kelompok tani belum proses kopi jadi produk jadi. Mereka jual biji kopi mentah.

Asep, Atep dan Nanang merupakan petani muda yang sempat bekerja keluar desa lalu kembali dan jadi petani. Tumbuh sebagai anak petani, membuat mereka pulang. “Rindu tanaman hejo teh. Enak jadi petani, lebih menantang karena menjadi pahlawan pangan,” celetuk Asep.

Pada 2017,  masyarakat di sekitar Gunung Rakutak, Jawa Barat menerima izin pemanfaatan hutan dalam skema perhutanan sosial. Kawasan hutan yang kini dikelola Kelompok Mulya Tani 1 Desa Ibun ini awalnya dikelola Perum Perhutani.

Melalui izin ini, kata Asep, mereka membentuk KUPS Sauyunan yang wilayah kelola seluas 20-30 hektar oleh sekitar 30 petani.

KUPS Sauyunan pun membagi area perhutanan sosial jadi dua zona utama, yakni,  zona lindung dan pemanfaatan. Pada zona lindung, para petani sepakat tidak ditanami komoditas. Wilayah itu juga memiliki kemiringan lebih 60 derajat.

Untuk zona pemanfaatan, petani boleh menanam komoditas yang beragam. Meski kopi sebagai komoditas utama, petani juga menanam umbi-umbian, lemon, jeruk, cabai, kol, buah-buahan, kacang dan lain-lain.

 

Hasil panen kopi Desa Ibun. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Mereka pun menanam kayu keras untuk tegakan pohon, seperti pohon alpukat, nangka, eucalyptus dan kayu manis.

Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan,  dalam rentang waktu 2017-2018 masyarakat secara kolektif melakukan pemulihan kawasan terlantar. “Mereka juga selalu memilih tanaman yang sesuai ekologi dan cocok untuk ditanam di wilayahnya.”

Izin perhutanan sosial ini, kata Uli, menjadi pintu masuk dalam pemberdayaan masyarakat, baik secara ekonomi maupun ekologis.

Bagi Asep, Nanang dan Atep menjadi petani memang bukan perkara mudah namun harus terus lanjut. Menyerah bukan salah satu pilihan bagi mereka.

”Kalau menyerah mah gak ada generasi nanti. Yang membangun hutan siapa lagi, gak ada yang lain.”

Penyiapan lahan dan modal menjadi tantangan bagi para petani muda. Lahan penuh ilalang dan kaso—akar tanaman ini menancap dalam hingga lebih 30 cm– membuat biaya besar.  Kalau kemarau datang, kebutuhan air menjadi tantangan.

“Cita-citanya teh leuweung hejo, rakyat ngejo,” kata Nanang tertawa. Keinginan dia dengan hutan hijau maka masyarakat bisa hidup makmur.

 

 

Petani KTH Mulya Tani Desa Ibun, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Harapan baru

Pada akhir 2022, Rumah Kopi didirikan atas inisiasi masyarakat yang tergabung dalam KUPS Sauyunan. Rumah Kopi yang belum memiliki nama ini jadi harapan baru bagi para petani kopi. Di sinilah nanti, kopi-kopi produksi mereka akan diproses dari bahan mentah sampai siap konsumsi.

“Ini jadi cita-cita agar bisa ngerasain kopinya sendiri,” ujar Asep.

Berkat ada skema Dana Nusantara, para petani muda pun menggantung harapan baru. Asep berharapm dengan ada skema dana nusantara bisa mendorong semangat para pemuda dalam bertani.

Tak hanya bercocok tanam namun skema ini menjadi ruang belajar dalam mengelola hasil tani, baik kopi ataupun komoditas lain. “Program ini berguna untuk kita belajar untuk bisa meningkatkan nilai tambah hasil tani kami begitu.”

Konsorsium yang mengelola dana nusantara adalah Walhi, Aliansi Masyarakat Adat Nusatara (AMAN), dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). KUPS Sauyunan merupakan kelompok petani yang didampingi Walhi.

 

 

Asep Rohimat, petani muda KUPS Sauyunan di Desa Ibun, Kamojang. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Uslaini, Kepala Divisi Wilayah Kelola Rakyat Walhi Nasional berharap, lahan di Desa Ibun bisa jadi contoh baik masyarakat sekitar hutan mampu berkontribusi dalam pemulihan hutan.

“Dana Nusantara menjadi skema baik dalam mendorong masyarakat terus melindungi dan memulihkan lingkungan.”

Semangat Asep, Atep dan Nanang untuk mengelola lahan menjadi contoh baik upaya akses hutan bagi masyarakat sekitar. “Kita teh percaya usaha kita bisa bikin hutan jadi hijau, bukan ilalang lagi,” ujar Nanang.

Selain akses pasar dan pemberdayaan petani dalam pengelolaan hasil tani, para petani muda juga berharap ada bantuan pemerintah dalam subsidi pupuk dan akses akan air di lahan mereka.

Saat kemarau datang, pasokan air berkurang menyebabkan banyak tanaman kopi mati. Mereka harus rutin menyulam atau mengganti tanaman mati dengan bibit baru.

“(Pupuk dan air) susahnya minta ampun. Makanya kita menanam pisang, pelepahnya untuk menyimpan air saat kemarau. Itu cara kita bertahan,” ujar Asep.

 

Kopi petani diu Desa Ibun, Kabupaten Bandung. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia
Kondisi lahan eks Perhutani yang hanya ada ilalang. Para petani Desa Ibun, Kamojang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat mengelolanya untuk ditanami tanaman yang berguna bagi ekonomi masyarakat dan ekologi. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

*****

 

Exit mobile version