Mongabay.co.id

Berkah Biogas dari Sampah TPAS Manggar

 

 

 

 

 

 

Sampah biasa dipandang sebagai masalah.  Namun tidak di Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) di Jalan Proklamasi, Kelurahan Manggar, Balikpapan, Kalimantan Timur, yang berdiri pada 2002 ini . Di tempat ini sampah jadi berkah. Dari sini,  sampah-sampah bisa menghasilkan biogas, pupuk kompos dan lain-lain.

Suyono, warga yang tinggal sekitar 1,5 kilometer dari TPAS ingin sampah-sampah itu bisa bermanfaat.  Kala itu, wadah sudah pakai metode sanitary landfill. Sistem pengelolaan sampah dengan ditumpuk di lahan yang dibuat jadi cekung lalu dipadatkan dengan tanah lantas ditanami tanaman.

Baru pada 2012, tempat pemrosesan akhir dari sampah di timur Balikpapan ini mulai mengonversi sampah jadi energi yang diambil dari air lindi. Dari cairan inilah gas metana ditangkap dengan bantuan leachate treatment plant atau instalasi pengolahan air lindi. Penggunaan sebatas internal TPAS Manggar.

Suyono ingin alirkan itu buat warga sekitar. “Ide saya juga sama, cuma gas metana itu ingin saya alirkan ke rumah-rumah warga,” kata Suyono 20 Mei lalu.

Seiring waktu, pengetahuan Suyono bertambah. Dari hasil membaca buku, dia tahu kalau gas bisa ditangkap langsung dari sumbernya atau  dari tumpukan sampah.

Saat menjabat Ketua RT 61 pada 2014, dia memberanikan diri meminta bantuan kepada PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM). Pilihan diambil setelah diskusi warga sekitar dan beberapa ketua rukun tetangga lain.

“Kami meminta bantuan pipa paralon. Nanti pipa ini dipakai menyalurkan gas dari TPAS ke rumah-rumah warga,” kata Yono, sapaan karibnya.

 

Biogas dari TPAS Manggar. Foto: Yuda Almerio

 

Bantuan pipa sudah diberi, Pertamina pun mau biogas juga ngalir ke warga.  Untuk itu, peninjauan dilakukan. Bantuan disanggupi PHM,  ada bantuan 300 pipa dengan ragam ukuran.

“Kami bersyukur. Dari situ, warga bisa menikmati biogas dari sampah hingga kini,” kata Yono.

Proyek penangkapan gas metana pun mulai dengan memasang pipa ke tumpukan sampah di TPAS Manggar. Ada yang vertikal untuk menangkap gas metana, ada pula horizontal guna mengalirkan gas ke rumah-rumah. Distribusi biogas pun tidak gunakan mesin. Hanya pipa saja yang dipakai untuk membagi aliran gas dan separator, berfungsi mengurangi kadar air.

“Alirannya masih tersendat-sendat, tidak 24 jam seperti sekarang dan pengguna hanya ada RT 36 dan 61 sebanyak 21 keluarga.”

Sepanjang 2014-2018,  bersama Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Balikpapan dan warga lain, Yono menambah sambungan pipa paralon. Penerima manfaat pun makin bertambah di dua rukun tetangga itu jadi 41 keluarga.

Pada 2019, warga yang menggunakan biogas ada 75 rumah. Jumlah naik lagi selama wabah COVID-19. Saat ini, ada 305 keluarga memanfaatkan biogas dari TPAS Manggar.

“Tambahan itu datang dari warga RT 95 dan RT 97,” katanya.

Yono bilang, sebagian besar warga di TPAS Manggar dari ekonomi menengah ke bawah. Biogas ini, katanya, sangat membantu mereka.

Mereka tak perlu lagi membeli gas melon Rp30.000 setiap bulan, cukup iuran Rp10.000 sudah bisa menikmati sambungan gas tanpa batas selama 24 jam.

Iuran rupiah dari 305 keluarga tadi untuk membayar teknisi Rp600.000 per bulan. Sisanya, ditabung atau membeli pipa baru untuk mengganti yang sudah usang.

“Warga sekitar TPAS Manggar tak lagi bergantung pada elpiji sejak ada biogas.”

Lantaran sudah banyak yang pakai biogas, Yono berharap di Kelurahan Manggar diberi nama Kampung Gas Metana. Meski begitu, atas usulan PHM dipilih nama Wasteco. Ia akronim dari waste to energy for community.  Yono bilang, sebutan itu lebih representatif.

Dengan pipa paralon seharga puluhan hingga ratusan ribu, 305 keluarga bisa mendapatkan manfaat ekonomi untuk dapur dari sampah.

“Saya ingin semua warga Balikpapan juga bisa menikmati gas metana untuk keperluan rumah. Seperti di luar negeri,” katanya.

 

TPAS Manggas seluas lebih 40 hektar terbagi dalam bberapa zona. Foto: Yuda Almerio

 

Kurangi lepasan emisi karbon

TPAS Manggar punya tujuh lubang timbun sampah di lahan seluas 49 hektar yang disebut zona dengan metode sanitary landfill. Semua zona punya ukuran berbeda.

Zona 1 seluas 2,6 hektar, zona II (3), zona III punya dimensi 0,6 hektar, zona  IV seluas 1,5 hektar. Kemudian, zona V seluas 2,6 hektar, zona VI dan VIII sekitar 3,3 hektar.

Dari jumlah itu, zona I-IV sudah ditanami vegetasi dan jadi penyangga TPA. Pada zona V baru ditutup, dan zona VO dan VII masih menerima sampah.

Satu zona memerlukan waktu 4-5 tahun baru ditutup dengan volume sampah tak lebih 500.000 meter kubik.

Secara alami, kuantitas sampah bakal terus bertambah seiring lonjakan penduduk. Selama empat tahun terakhir, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat timbunan sampah di kota ini alami peningkatan 561.1 ton. Pada 2019, produksi sampah 458.62 ton, 2020 jadi 481.82. Lalu, 2021 ada 497.21 ton dan 2022 sebanyak 514.73 ton. Rata-rata dalam sehari satu orang produksi sampah 0,61 kilogram.

Sampah yang dihasilkan pun beragam. Sebagian besar makanan (42,3%), kertas karton 10,26%, plastik 7,20%, kaca 6,56%, ranting kayu 3,87%, serta logam. Kemudian, kain, karet dan kulit dengan komposisi di bawah 3%.

Ada juga jenis sampah lain yang tak bisa didaur ulang 19,53%.

Saat masuk TPAS, sampah belum dipilah. “Semua bercampur menjadi satu,” kata Muhammad Haryanto, Kepala UPTD TPAS Manggar Balikpapan.

 

Pipa-pipa di TPAS Manggar yangberfungsi mengalirkan biogas ke rumah-rumah warga. Foto: Yuda Almerio

 

Pemanfaatan sampah TPAS Manggar jadi sumber energi warga, katanya, memang dianjurkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Terlebih, sampah organik terutama sisa makanan dapat menghasilkan gas metana lebih banyak. Senyawa ini dipercaya mampu memerangkap panas di atmosfer 25 kali lebih besar dibanding karbondioksida. Dengan kata lain, penggunaan metana sebagai gas subtitusi mereduksi efek rumah kaca.

“Kami bersyukur bisa membantu reduksi efek gas rumah kaca dan pemanasan global,” katanya.

Tak hanya mengurusi biogas, TPAS Manggar juga menginisiasi terbentuknya UMKM pada 2018. Kini, ada 22 usaha olahan makanan rumahan dengan bahan bakar dari gas metana ini.

TPAS Manggar juga jadi wadah ekspansi bahan bakar jumputan padat (BPJP) dengan mengolah sampah jadi bahan bakar pengganti batubara di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

BPJP Plant Manggar ini merupakan pilot project pertama di luar Jawa dan hasil kerja sama PLN dengan Dinas Lingkungan Hidup Balikpapan.

Untuk pengelolaan,  katanya, diserahkan kepada TPAS Manggar.

Dalam sebulan,  BPJP Plant Manggar ini bisa mengolah 20-50 ton sampah dan sehari bisa hasilkan puluhan hingga ratusan kilogram pellet dan woodchip.

Sudirman Djayaleksana, Kepala DLH Balikpapan menerangkan, TPAS Manggar memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menciptakan wadah pemrosesan sampah bersih dan tak berbau. Bahkan, TPAS ini juga jadi wadah rekreasi dan pendidikan bagi masyarakat setempat terutama dalam praktik pengelolaan sampah.

“TPAS Manggar juga dilengkapi fasilitas untuk mendukung kegiatan 3R yaitu reduce, reuse dan recycle. Dalam sehari bisa hasilkan lima ton pupuk kompos.”

 

Tempat pengolahan sampah dengan metode sanitary landfill. Bagian atasnya bisa untum menanam. Foto: Yuda Almerio

 

Di sini juga ada fasilitas daur ulang sampah plastik atau lembaran plastik menjadi barang kerajinan tangan.

Presiden Joko Widodo pun pada 2019 sempat menyanjung pengelolaan sampah TPAS Manggar terbaik se-Indonesia untuk kategori sanitary landfill. Biaya pengembangan juga didukung Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KPUPR) Rp160 miliar.

“Kami ada PR (pekerjaan rumah) terutama pemilahan sampah antara organik dan anorganik.”

Dwi Sawung, Manajer Pengkampanye Perkotaan dan Energi Walhi Nasional mengatakan, metode sanitary landfill paling disarankan. Gas metana diambil dan air lindi diolah. “Enggak banyak TPA di Indonesia yang bisa begini,” katanya.

Dia pun menyarankan, model TPAS Manggar ini bisa diikuti daerah lain.  “Saya harap kabupaten, kota di Kaltim bisa mengikuti Balikpapan dalam urusan sistem pengelolaan sampah.”

Senada dikatakan Fahrizal Adnan, akademisi dari Universitas Mulawarman (Unmul). Aturan menyarankan daerah-daerah di Indonesia pakai sanitary landfill dalam pengelolaan sampah. Dari sudut pandang teknik lingkungan, katanya,   sanitary landfill direkomendasikan bila hendak bikin TPA yang baik dan bersih.

Sawung bilang, masih banyak TPA pakai sistem kelola sampah terbuka (open dumping). Metode ini, katanya, berbahaya.  Tragedi bisa terjadi seperti di TPAS Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, akhir Februari 2005. Dalam petaka itu 157 warga tewas, bahkan dua kampung terhapus dari peta karena tergulung gunung sampah yang longsor.

“Sistem terbuka ini rawan longsor.”

Selain itu, juga tak terapkan model bakar sampah karena polusi dan beracun.

Indonesia sudah ada UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dalam aturan ini tertuang ketentuan kelola sampah yang baik.

Ironisnya, kata Sawung, satu dekade lebih setelah aturan berlaku sebagian kabupaten dan kota di Indonesia masih pakai open dumping.

“Sampah dibuang begitu saja di TPAS hingga menggunung.”

Fahrizal pun berpandangan sama. Sistem terbuka, katanya,  tidak aman karena berpotensi longsor, terbakar karena gas metana tak dimanfaatkan.

“Demikian pula dengan air lindi yang bisa mencemari lingkungan sekitar TPAS.”

 

 

******

Exit mobile version