Mongabay.co.id

Mengapa Air Laut Asin?

 

 

Pernahkah Anda bertanya, mengapa air laut asin dan dari mana garamnya berasal?

Sebagian garam, sebenarnya berasal dari gunung. Air hujan yang turun dari langit, melarutkan mineral garam dari bebatuan di gunung hingga berkumpul di laut. Oleh petani garam, air laut itu diambil dan dijemur di bawah terik matahari. Air laut yang menguap, meninggalkan kristal garam.

Air sungai yang melarutkan mineral dari daratan, juga mengandung garam. Namun, kadarnya sangat rendah. Ini berbeda dengan air laut, yang melebihi ambang batas untuk bisa dikonsumsi manusia.

Lalu, mengapa air sungai terasa hambar?

Dalam dokumen yang diterbitkan US Geological Survey dijelaskan bahwa kandungan natrium dan klorida air laut cukup tinggi. Natrium klorida [NaCl] adalah rumus kimia garam dapur. Konsentrasi unsur natrium air laut sekitar 30,53 persen. Sedangkan air sungai hanya sekitar 6,98 persen. Sementara, kandungan klorida air laut mencapai sekitar 55,16 persen sedangkan air sungai mencapai 8,64 persen.

Meski begitu, air sungai memiliki kandungan kalsium [Ca] lebih banyak dibanding air laut. Demikian pula kandungan bikarbonat, yang jika bersenyawa dengan natrium akan menjadi garam bikarbonat NaHCO3 atau soda kue.

Baca: Penelitian: Wilayah Kepulauan Diperkirakan Lebih Tahan pada Dampak Bencana Global

 

Laut yang indah merupakan tempat hidupnya biota air dan penting bagi kehidupan manusia. Foto: Pixabay/Walkerssk/Public Domain

 

Laut bisa diibaratkan sebagai kolam raksasa yang menjadi muara banyak sungai pembawa kalsium. Tapi mengapa kadar kalsium air laut lebih rendah dibanding sungai?

Pakar menjelaskan, makhluk hidup di laut berperan besar dalam menyerap unsur kalsium di laut. Misalnya kerang, remis, dan tiram diketahui menyerap kalsium untuk membentuk kerangka dan cangkang mereka. Sementara kelompok udang membutuhkan banyak kalsium untuk membuat kulit pelindung tubuh mereka.

Selain dari pelapukan dan pengikisan bebatuan di gunung, sumber garam di laut juga berasal dari rekahan batu dan sedimen di dasar laut. Aktivitas vulkanik baik di dalam laut maupun di darat itu kemudian melepas sejumlah garam dan mineral.

Masih dikutip dari USGS, air hujan yang sedikit bersifat asam mengikis bebatuan dan membawa garam serta mineral dari sungai ke laut. Garam dan mineral yang terbawa air berwujud ion.

Ion ini yang banyak dimanfaatkan makluk hidup di laut, baik hewan maupun tumbuhan. Sebagian lainnya tidak digunakan dan menumpuk dalam jangka waktu sangat lama. Ion yang paling banyak di laut adalah dari unsur natrium dan klorida, jumlahnya sekitar 90 persen.

Konsentrasi kadar garam di laut disebut salinitas. Ukuran ini dibagi dalam seribu atau permil atau part perthousand. Jika disebutkan salinitas air laut suatu kawasan besarnya adalah 35 ppt, maka ini berarti dalam satu liter air laut didapat berat sebesar 35 gram.

Tingkat salinitas air di laut tergantung beberapa faktor. Antara lain, banyaknya air sungai yang mengalir, curah hujan, salju, penguapan, angin, arus laut, juga lelehan es.

Baca: Hadapi Krisis Iklim Peneliti Kembangkan Padi Tahan Cuaca Panas

 

Petani garam yang mengolah air laut untuk dijadikan garam. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pengaruhi Iklim

Kadar garam di laut ikut memengaruhi pola arus laut dan iklim global. Dalam sebuah laporan di jurnal Geophysical Research, 2022, dipaparkan bahwa lautan yang lebih asin menghasilkan iklim yang lebih hangat dan moderat.

Artikel itu menjelaskan bagaimana salinitas ikut berpengaruh terhadap pencairan es pada masa lalu. Peneliti memperkirakan, peningkatan salinitas dari 20 ppt menjadi 50 ppt menghasilkan pengurangan 71 persen lapisan es laut di permukaan bumi.

Pengaruh kadar garam terhadap iklim juga diungkap dalam laporan di jurnal Nature, 2023. Peneliti memperkirakan aliran air dengan kadar garam sangat tinggi dari Samudera Hindia menuju Samudera Atlantik mungkin telah menyebabkan berakhirnya zaman es pada 15 ribu tahun lalu.

“Studi baru kami menunjukkan, garam yang membuat arus ini padat dan sangat kuat bersumber dari arah 10 ribu kilometer di Samudera Hindia,” kata Steve Barker dalam penjelasan yang dikutip dari Livescience. Dia merupakan profesor ilmu kebumian pada Cardiff University di Wales yang terlibat dalam penelitian ini.

Tempat itu diperkirakan berada di kepulauan Indonesia. Peneliti menjelaskan, turunnya permukaan laut pada periode Glasial lebih dari 1,2 juta lalu telah membuat peningkatan konsentrasi garam di Samudera Hindia. Kala itu, permukaan laut turun hingga 120 meter yang mengakibatkan sebagian dari dasar laut di kepulauan Indonesia tersingkap dan menghentikan arus ke Samudera Hindia dari Samudera Pasifik.

Baca juga: Paparan Ultraviolet ke Bumi Meningkat, Akibat Letusan Supervolcano Toba

 

Garam yang dihasilkan dari air laut. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Peneliti lain, James Rae dikutip dari phys.org mengatakan, penelitian kami memperlihatkan bagaimana bagian lain dari sistem iklim secara mengejutkan saling berhubungan.

“Perubahan arus dan salinitas di satu bagian dapat berpengaruh besar pada bagian lain di planet ini. Dengan demikian, kita harus menghentikan pemanasan global untuk mencegah gangguan atas sistem sirkulasi yang rentan,” paparnya.

 

Exit mobile version