Mongabay.co.id

Ramah Alam Lewat Arsitektur, Seperti Apa?

 

 

 

 

Alam selalu menyediakan diri untuk kebutuhan manusia, tetapi manusia banyak minta berlebih bahkan sampai merusak. Untuk itu, perlu ada interdependensi terhadap alam, hubungan saling bergantung antara manusia dan alam salah satu lewat arsitektur. Begitu dikatakan Yu Sing, arsitek yang konsern dalam arsitektur ramah lingkungan.

Dia  mengatakan, manusia seakan tidak bergantung kepada alam, meski sejatinya tidak bisa hidup sejahtera ketika alam rusak.

“Kenapa alamnya rusak? Karena kita tidak bergantung kepada alam, karena kita tidak bergantung atau kurang bergantung maka seolah-olah kita tidak perlu melestarikan alam,” katanya dalam satu diskusi daring beberapa waktu lalu.

Dalam bidang arsitektur, kata Yu Sing, masyarakat perlahan-lahan meninggalkan kekayaan dan keberagaman sumber material alami di sekitar mereka untuk jadi bahan bangunan.

Di lokasi-lokasi tertentu yang ada sumber material melimpah tidak dipakai dengan baik dan ditinggalkan.

Padahal, katanya,  banyak warisan arsitektur vernakular, kearifan lokal, yang bisa dibanggakan. Sayangnya, banyak ditinggalkan dan tak produksi lagi.

“Rumah alami tidak lagi menjadi pilihan rumah rakyat yang utama bahkan oleh negara disebut sebagai rumah tidak layak huni. Karena menggunakan material alami,” katanya,

Paling mendasar,  menurut Yu Sing bukan sekadar meniru bentuk arsitektur vernakular jadi lokal tetapi cara hidup suatu masyarakat yang bergantung kepada alam.

Dia contohkan, masyarakat Maluku akrab dengan sagu dan dulu jadi makanan pokok. Mereka juga banyak gunakan berbagai bagian dari batang sagu untuk keperluan primer lain seperti bahan material membuat rumah,  daun buat atap, pelepah buat dinding, kulit batang bisa jadi kayu.

 

Baca juga: Atasi Masalah Perkotaan di Malang, Yu Sing Usul Bangun Kampung Kota Vertikal

Bangunan berbahan bambu di Kampus Bambu Turetogo, Desa Ratogesa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur . Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Di Maluku Utara, ada mesjid menggunakan material tanaman sagu yang dibangun sejak 1464 masih berdiri tegak sampai sekarang. Mesjid itu, kata Yu Sing,  setidaknya sudah mengalami tujuh kali renovasi atau perbaikan, pada 1464, 1895, 1959, 1990, 1993, 1997, 2008.

Saat Yu Sing ke Ternate, tidak lagi menemui rumah warga yang gunakan batang sagu, sedangkan kalau di Tidore masih bisa ditemui walau sudah sangat jarang.

“Ini pun atapnya sudah jadi seng. Pemilik rumahnya bahkan sudah mengatakan, kKami tidak tahu lagi apakah ini akan bertahan sampai kapan karena sudah tidak ada lagi saat ini yang menjual pelepah sagu ini sebagai material.’”

Kasus serupa banyak ditemui di berbagai wilayah di Indonesia. Pembangunan banyak bergantung pada konstruksi beton yang membutuhkan pasir, sedangkan pasir mengambil dari daerah lain yang hanya menghancurkan pesisir laut atau bukit-bukit.

“Ketidakbergantungan kita kepada alam membuat perencanaan kota pun jadi salah arah dan kebijakan yang diambil keliru,” katanya.

Contoh lain di Jambi. Masyarakat Jambi mulai meninggalkan rumah yang bermaterial alami seperti daun nipah untuk atap. Mereka lebih memilih pakai seng karena nipah dinilai, hanya akan bertahan satu tahun.

Yu Sing menilai, ini pertanda bahwa mereka sudah tidak mengenali lagi bahwa daun nipah bisa lebih lama dari satu tahu. Pengetahuan perihal daun nipah mulai berkurang.

Padahal, katanya,  atap rumah sederhana gunakan daun nipah lebih teduh daripada seng yang membuat penghuni kepanasan dan berisik kala hujan.

Yu Sing bilang, di Vietnam ada rumah dinding dan plafon pakai daun nipah yang didesain dengan bagus dan menarik.

 

Baca juga: Yu Sing: Arsitek Harus Peka Lingkungan

Menabung air hujan, salah satu konsep desain rumah yang dibikin Akanoma Studio di Compok Cellep, Banten. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Di pesisir Riau,  orang bilang daun nipah bisa tahan lima tahun.

“Padahal,  kalau mereka pakai material alam di sekitar, katanya, harga  sangat murah karena tersedia dan tumbuh terus menerus secara alami.

Secara ekonomi pun akan berputar di antara mereka daripada harus membeli material bangunan pabrikan.

Pengetahuan lokal, katanya,  dapat hilang bila tidak memiliki interdependensi dengan alam.

Bila masyarakat bergantung kepada alam, mau tidak mau mereka harus merawat alam. Itulah yang dimaksud oleh Yu Sing sebagai interdependensi alam.

“Ini adalah harta karun, sumber material dan pengetahuan yang begitu melimpah di Indonesia,” kata pendiri rumah desain Studio Akar Anomali itu.

 

Contoh, konsep restoran ramah lingkungan Yu Sing. Foto: dari blog Yu Sing

 

Lewat Studio Akar Anomali (Akanoma), Yu Sing  berupaya membangun interdependensi alam-budaya-arsitektur sejak 2011. Meskipun Yu Sing menyadari, pergerakan lambat karena sulit untuk mendapatkan persetujuan dari klien.

Ditambah lagi,  pengolahan material juga sulit semisal agar kayu supaya benar-benar kering.

Di beberapa pekerjaan, bisa berjalan lancar, seperti pembuatan dapur Komunitas Mendira di Dusun Mendira, Desa Panglungan, Kecamatan Wonosalam,  Jombang, Jawa Timur pada 2016.

Dia dan tim merancang dapur dengan material utama bambu karena di daerah itu banyak bambu.

Ceritanya, kelompok perempuan Mendira menyewa lahan untuk perkebunan organik. Mereka memerlukan dapur komunitas sebagai tempat belajar tentang tanaman pangan liar dan sayuran organik, mengolah resep dan produk makanan serta isu-isu lain tentang pangan dan pertanian.

Maka, dalam proses pengerjaan, penebangan dan pengawetan bersama-sama dengan warga. Tulang bangunan pakai bambu dan atap dibuat terbalik untuk bisa menampung air hujan.

“Yang menarik adalah ketika semua membangun struktur bambu, semua tukangnya lokal. Tetapi tukang-tukang berkata baru kali pertama mereka sebagai tukang yang punya banyak bambu membuat konstruksi bambu,” katanya,

 

Yu Sing, arsitek yang membangun dengan ramah lingkungan dan membantu semua kalangan, terutama yang tak mampu. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Bukan hanya konstruksi tulang bangunan yang gunakan material alami dari alam, dinding juga tidak pakai semen tetapi campuran tanah, sekam padi, jerami padi, kotoran sapi, dan kapur. Komposisinya sebagai berikut: dua tanah, satu Jerami padi, satu sekam padi , satu kotoran sapi tambah batu kapur.

Selain di Jombang, Yu Sing juga mengerjakan hal serupa di Ciawi, Jawa Barat. Dia merancang hunian, penginapan, yang konstruksi banyak gunakan bambu. Materialnya juga diambil dari hutan terdekat. Penggunaan material alami bikin jejak karbon rendah.

Selain konstruksi bangunan, di hunian itu juga dibuat penampungan air hujan dan sistem filterasi hingga air bisa langsung diminum.

Untuk air kotor sisa mandi, cuci, dan kakus juga diolah hingga bisa dimanfaatkan lagi untuk kebutuhan tanaman (aquakultur).

 

Arsiteksur dari Akanoma Studio di Compok Cellep, Banten. Kolam atau bak-bak ini dibuat untuk memproses air kotor seperti dari toilet, dari kamar mandi, atau tempat cuci piring, lewat alur alami dengan empat kolam bisa hasilkan air jernih. Air inibisa dimanfaatkan lagi seperti untuk siram tanaman,. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Konsep pemukiman ramah lingkungan juga mulai diperhatikan oleh para akademisi dan praktisi lain seperti mahasiswa Institut Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya merancang konsep revitalisasi pemukiman ramah lingkungan di Kampung Nelayan Kedung Cowek, Surabaya, dengan konsep smart eco-settlement.

Konsep itu merupakan tata pemukiman yang memperhatikan kualitas lingkungan.

Oki Cahya Saputra,  Ketua Tim Mahasiswa itu, bilang,  yang dimaksud dengan kualitas lingkungan mencakup kualitas air, tanah, dan udara.

“Konsep desain inovasi kami berupa kawasan permukiman yang bernama Gala Tirta Apsara,” Kata Oki dalam rilis April lalu.

Oki bilang, konsep itu menyediakan bangun hijau seperti green building, green halte, dan open space di sekitar pemukiman serta sarana lain yang bisa menunjang kegiatan warga.

Dalam konsep itu juga ada rancangan pembuangan sampah terpadu dan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal yang terpusat hingga air limbah tak mencemari lingkungan.

Lalu ada rancangan hunian vertikal yang jadi salah satu tawaran dalam mengatasi masalah kepadatan penduduk, hunian yang menyediakan beberapa fasilitas dan utilitas yang memadai.

Ada juga rencana pemanfaatan gelombang air laut sebagai pembangkit listrik untuk penerangan jalan hingga jadi kawasan hemat energi.

Konsep yang dirancang oleh Oki Cahya Saputra, Harits Mediptyan Indrastata, dan Muhammad Rayhan Ramadha, ini berhasil meraih juara satu dalam Sayembara Rancang Kota dalam ajang Festival Kota Gadjah Mada 11.0 yang diselenggarakan Departemen Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Maret tahun ini.

 

Perempuan muda Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali depan rumah warga yang melestarikan arsitektur tradisional tembok tanah di bagian depannya. Foto Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

 

******

 

Exit mobile version