Mongabay.co.id

Pungutan Liar Warnai Distribusi Lahan di Pasuruan

 

 

 

 

 

Redistribusi lahan dari program Tanah untuk reforma agraria (Tora) kadang tercoreng oleh aksi-aksi penyelewengan para pelaksana, seperti yang terjadi di Pasuruan, Jawa Timur. Program pemerintah yang niatnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus mengurangi kesenjangan kuasa lahan ini di Pasuruan, diwarnai dugaan pungutan liar (pungli). Kejaksaan Negeri (Kejari) telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini.

Tiga tersangka adalah Jatmiko, Kepala Desa Tambaksari, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan dan Cariadi, selalu Ketua Panitia Redistribusi Lahan. Satu tersangka lain, Suwaji, Koordinator Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial (GemaPS) asal Kabupaten Malang.

Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, Jatmiko dan Cariadi dijebloskan ke tahanan Kejari Pasuruan, dua pekan lalu. Menyusul kemudian Suwaji, yang berperan sebagai perantara antara pemerintah desa dengan Kementerian ATR/BPN.

Agung Tri Raditya Kasi Intel Kejari Kabupaten Pasuruan, mengatakan, sementara ada 250 petani yang jadi korban pungutan oleh kedua tersangka. Jumlah dimungkinkan bertambah lantaran lahan yang disertifikatkan mencapai 352 bidang.

“Program ini sebenarnya gratis dari pemerintah. Faktanya, mereka (kedua tersangka) memungut biaya kepada para penerima atau petani,” kata Raditya saat dihubungi Mongabay.

Dalam aksinya, para tersangka saling berbagi peran. Jatmiko dan Cariadi bertugas menarik pungutan kepada para petani calon penerima sertifikat. Oleh mereka, para petani diminta membayar Rp2.400 per meter sebagai biaya pembuatan sertifikat ataubila ditotal Rp24 juta setiap hektar.

“Sudah ada Rp1,3 miliar terkumpul,” kata Raditya sesaat setelah penahanan kedua tersangka, 8 Juni lalu.

Sekitar Rp400 juta diberikan kepada Suwaji sebagai fee atas usahanya memfasilitasi ke Kementerian ATR/BPN dengan pihak desa.

 

Lahan petani terhimpit, bahkan banyak petani tak miliki lahan, itulah salah satu tujuan program Tanah obyek reforma agraria (Tora). Ini fotosaat  aksi petani di Kantor Pusat BPN Jakarta, beberaa tahun lalu. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Waspada tak tepat sasaran

Redistribusi lahan di Pasuruan sejatinya merupakan jawaban atas sengketa lahan yang terjadi antara petani di Tambaksari dengan Perhutani. Kendati sudah puluhan tahun beraktivitas disana,  keberadaan warga tak pernah diakui. Sebaliknya, lahan diklaim sebagai wilayah Perhutani.

Laman Pemerintah Pasuruan, menyebut, tanah obyek reforma agraria (Tora) di Tambaksari sebelumnya merupakan tanah negara. Lahan sudah dikuasai warga sejak 1940 untuk berkebun dengan menanam kopi, pisang hingga cengkih dan ragam komoditas perkebunan lain.

Walau sudah hampir 100 tahun ada di sana, warga tak memiliki legalitas atas lahan itu. Hingga pada 2007, pemerintah desa mulai mencari cara agar para petani memiliki legalitas atas kebun garapannya.

Pada 2021, pihak desa mengajukan legalisasi kepada pemerintah yang ditindaklanjuti dengan penelusuran atas riwayat lahan. Hasilnya, diketahui lahan yang dalam penguasaan masyarakat itu merupakan area penggunaan lain (APL) bukan kawasan hutan.

Oleh pemerintah, permintaan itu pun disetujui. Hingga Desember 2022, Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto datang ke Tambaksari guna menyerahkan sertifikat kepada para petani. Saat itu, total ada 352 sertifikat, dengan 10 dilakukan secara simbolik.

Namun, sertifikat-sertifikat itu tak bertahan lama dalam penguasaan pemiliknya. Pasalnya, dua hari kemudian, bersama Ketua Panitia Redistribusi, Cari, menarik kembali sertikat-sertifikat ini dengan dalih untuk pengurusan pajak.

Tohari, petani di Tambaksari mengatakan, sekitar dua bulan sebelum sertifikat itu diterima, mereka didatangi pihak desa dan panitia redistribusi yang menyampaikan rencana peningkatan hak lahan garapannya. Atas rencana itu, dia diminta membayar Rp2.400 per meter persegi.

Tohari memiliki dua bidang lahan masing-masing seluas 2.500 dan 600 meter persegi. Dengan begitu, dia harus menyiapkan duit hampir Rp5 juta untuk diberikan kepada panitia dan kepala desa.

“Bilangnya untuk peningkatan hak. Tidak disampaikan kalau ini program redistribusi, jadi ya saya ikut saja,” katanya.

Tohari tak pernah tahu ada program redistribusi tanah itu. Pengetahuan ini baru dia peroleh saat Menteri ATR/BPN datang ke desanya untuk menyerahkan sertifikat itu kepada para petani tetapi sertifikat tak bertahan lama. Dua hari setelah sertifikat diterima, kepala desa dan panitia redistribusi datang mengambilnya.

“Katanya untuk pengurusan pajak,” kata Tohari.

Bahkan, hingga kades dan ketua panitia dijebloskan ke tahanan, dua setifikat miliknya tak kunjung dikembalikan.

Penuturan sama disampaikan Eko Widodo, petani lain yang juga sempat didatangi kades agar membayar Rp12 juta untuk meningkatkan status kepemilikan lahan. Karena waktu yang diberikan terlalu mepet, Eko tak sanggup membayarnya.

“Dia datang habis magrib, malam itu juga saya harus bayar. Duit dari mana? Karena tidak sanggup membayar, akhirnya saya ditinggal. Tidak ikut didaftarkan,” kata petani yang memiliki lahan sekitar setengah hektar itu.

Pungutan liar bukanlah satu-satunya penyimpangan yang mewarnai redistribusi lahan di Purwodadi. Dalam praktiknya, redistribusi lahan ini juga diduga tak tepat sasaran.

Beberapa warga menyebut, ada pihak-pihak lain non penggarap yang juga menerima sertifikat. Bahkan, seorang warga Malang dikabarkan mendapatkan sertifikat untuk 10 bidang lahan. Padahal, menurut warga, yang bersangkutan tak pernah tercatat sebagai petani penggarap di lahan dimaksud.

Sebaliknya, warga yang selama ini menggarap lahan justru harus tersisih. “Ini aneh. Pak kades dan keluarganya juga dapat semua. Istrinya, anak-anaknya dapat,” ujar warga yang menolak disebutkan namanya.

 

 

Pemerintah punya program Tora, mendistribusikan lahan secara gratis  antara lain untuk petani tempatan yang menggarap lahan sejak lama tetapi belum mendapatkan kepastian hak . Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Achmad Rozani,  Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial (AP2SI) menyayangkan praktik pungutan liar dalam redistribusi lahan di Pasuruan. Apalagi praktik lancung ini melibatkan kepala desa. “Ini seharusnya tidak boleh terjadi karena program ini gratis,” kata petani yang akrab disapa Ucok ini.

Ucok bilang, semangat dari program ini adalah untuk petani lokal melalui legalisasi kepemilikan lahan. Dengan begitu, petani bisa lebih produktif  hingga bisa meningkatkan kesejahteraan mereka.

Dia pun menyayangkan perilaku sang kades mengambil untung dengan mengorbankan kepentingan petani.

Ucok juga sempat menyoroti dugaan pihak luar non penggarap yang turut menerima alokasi redistribusi lahan. “Kalau itu benar, berarti program ini tidak tepat sasaran. Itu tidak boleh.”

Redistribusi lahan,  katanya, harus adil dan merata berdasar eksisting agar tidak menimbulkan konflik baru di kalangan petani.

Basis utama redistribusi lahan, sebagaimana berlangsung di Purwodadi adalah usulan. Oleh pemerintah desa, berkas pengajuan disampaikan ke Kantor ATR/BPN, selanjutnya verifikasi dan validasi. Karena itu, jika pada akhirnya didapati petani non pengarap yang merima bidang lahan, Ucok pun mempertanyakan mekanisme validasi Tim ATR/BPN.

“Karena prosesnya tidak mudah. Penerima harus benar-benar petani penggarap yang ditulis dalam berita acara dengan disaksikan petani lain yang berbatasan dengan lahan miliknya.”

Iman Dani Ramdani,  Asisten Bidang Pemeriksaan Perwakilan Ombudsman Jawa Barat, dalam ulasannya juga sempat memberikan catatan terkait pelaksanaan redistribusi-realokasi lahan oleh pemerintah. Dia bilang, salah satu tujuan redistribusi lahan adalah memperbaiki kondisi sosial-ekonomi masyarakat melalui pembagian lahan secara adil dan merata.

Indikator keberhasilan dari kebijakan ini adalah meningkatnya kepemilikan tanah oleh warga agar dapat dipergunakan secara prpoduktif. “Namun, banyak sekali tantangan dan persoalan di lapangan guna mencapai pemerataan dan ketepatsasaran ini,” katanya.

 

***

Redistribusi tanah sebenarnya bukan kebijakan baru pemerintah saat ini, karena sudah mulai sejak 1961. Namun, hasil evaluasi menunjukkan pengetahuan atau informasi ke warga minim soal program ini hingga dinikmati kalangan tertentu, termasuk korporasi.

Iman mengatakan, merujuk data Direktorat Jenderal Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN, luas Redistribusi Tanah tahun 1961-2021 adalah 3.648.878 hektar. Angka ini mungkin bertambah sejalan dengan realisasi redistribusi lahan 2022.

Meskipun sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam, sejauh ini belum ada data otentik yang menunjukkan petani non pemilik lahan, atau kaum marginal lain sebagai prioritas penerima.

“Apakah penguasaan tanah hasil redistribusi menempatkan petani tak bertanah (landless peasant) dan petani miskin sebagai prioritas penerima?” tulis Iman.

Menurut dia, ada banyak tantangan dihadapi pemerintah terkait redistribusi lahan, sebagaimana Perpres Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria.

Pada aturan ini, subjek penerima redistribusi mengalami perluasan, tak hanya petani penggarap dan PNS/TNI/Polri dengan kriteria tertentu, juga nelayan, pembudi daya, penambak, honorer, pedagang, buruh, pegawai tidak tetap, swasta dan lain-lain yang ditetapkan menteri.

“Jika pemerintah melalui Tim Reforma Agraria di pusat maupun daerah tidak berhati-hati dalam “bagi-bagi” tanah kepada para subjek penerimanya, akan menyebabkan perselisihan, kecemburuan dan konflik baru di masyarakat.”

 

 

 

*******

Exit mobile version