Mongabay.co.id

Mengenal ‘Nepenthes rigidifolia’, Kantong Semar Langka dari Sumatera

 

 

 

 

Nepenthes rigidifolia merupakan kantong semar langka dan masuk status critically endangered menurut The International Union for Conservation of Nature (IUCN). Di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, tumbuhan ini biasa disebut takur-takur atau tahul-tahul.

Joko Witono, peneliti Senior dari Pusat Riset Biodiversitas dan Evolusi Tumbuhan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan, N. rigidifolia adalah jenis kantong semar endemik Sumatera. Ia ditemukan di Sumatera Utara.

Habitat alami N. Rigidifolia, katanya, terbatas di Kabupaten Karo dan Kabupaten Dairi.

“Tumbuhan ini membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk tumbuh dan mengembangkan kantung sempurnanya. Saat ini, populasinya di alam liar hanya tersisa sekitar dua rumpun atau 20 batang,” katanya saat diwawancarai di Taman Hutan Rakyat Berastagi, Karo.

 

Anak kantong semar sebelum merambat, ditemukan di habitat N. rigidifolia. Foto: Barita N. Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Spesimen pertama Nepenthes rigidifolia ditemukan oleh C. Lee pada 1998 di Berastagi. Pada 2004 ia diklasifikasikan sebagai Nepenthes aptera sebelum resmi dan sah diberi nama Nepenthes rigidifolia. Tumbuhan ini umumnya hidup di habitat pegunungan atau dataran tinggi di daerah Sumatera.

“Tumbuhan ini dapat tumbuh di tanah yang miskin nutrisi dan sering terpapar sinar matahari cukup,” kata Joko.

Keberadaan Nepenthes rigidifolia yang makin langka hingga perlu jadi perhatian penting dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati. Melalui kesadaran dan perlindungan yang tepat, dia berharap tumbuhan ini terus bertahan atau tak punah di alam liar.

Kantong semar jenis ini jadi target buruan. Perdagangan ilegal N. rigidifolia secara daring melalui perusahaan yang berlokasi di Malaysia dan Jerman dengan kisaran harga hingga Rp1.300.000 per tanaman.

 

Nepenthes rigidifolia dewasa. Foto: Barita Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Ciri dan keunikan

Kantong semar adalah tumbuhan termasuk kelompok karnivora, berarti memakan serangga. N. Rigidifolia,  satu jenis kantong semar yang menarik dan punya ciri dan keunikan nan istimewa.

Daun-daun berukuran sekitar setengah jengkal, dan tangkai pendek (10-30 cm). Kantongnya seperti cawan atau corong berwarna cerah, hijau, kuning, atau merah keunguan. Pola kantong berbintik-bindik dan berbeda-beda.

“Setelah mengambil sari dari bunga jantan, rangga hinggap dan terperangkap di dalamnya menjadi makanan kantong semar,” kata Joko.

Menurut penelitian, N. rigidifolia dilapisi cairan yang mengandung enzim pencernaan. Serangga tertarik dengan aroma dan warna kantong itu, masuk dan terjebak. Di dalam kantong, serangga dicerna oleh enzim dan nutrisi yang diperoleh dari serangga membantu N. rigidifolia tumbuh dan berkembang.

Nepenthes rigidifolia,  katanya, juga bisa menjalin hubungan simbiosis dengan serangga tertentu. Beberapa serangga, seperti semut dan laba-laba kecil, hidup di dalam kantong semar ini dan memberikan manfaat seperti melindungi kantong dari serangga lain atau memberikan nutrisi tambahan.

Rigidifolia hidup menjalar, di hutan pegunungan di sekitar Karo dan Dairi di ketinggian 1.400-1.600 meter,” kata Joko.

Selain species N. rigidifolia, di lokasi itu ditemukan juga species kantong semar lain seperti N. Tobaica, N. spectabilis, dan N. longiptera. Masing-masing memiliki ciri dan karakter berbeda.

 

Kantong semar N. tobaica, ditemukan di sekitar N. rigidifolia. Foto: Barita N. Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Ancaman kepunahan

Nepenthes rigidifolia termasuk dalam daftar tumbuhan hampir punah.  Joko bilang, ditemukan hanya 24 spesimen di alam liar dan semua berada di luar taman nasional dan cagar alam. Keberadaan makin terancam antara lain karena pemburuan masif dan degradasi lahan.

BRIN melakukan penyadartahuan juga mensosialisasikan,  memperkenalkan dan memberitahukan bagaimana cara memperbanyak N. rigiifolia dengan cara setek atau cangkok. Hal itu dia peragakan di Taman Hutan Raya Berastagi, Tongkoh, dan Karo.

Degradasi lahan makin mengkhawatirkan bagi keberadaan kantung semar ini. Seperti di jalan lintas Karo-Dairi, tebing tergerus untuk pelebaran jalan.

Para peneliti BRIN juga mengambil sampel N. rigifolia dari anakan yang masih berbentuk bunga daun untuk diteliti dan dikembangkan.

Joko mendorong, upaya konservasi kantong semar ini dapat dilakukan warga dan jadi perhatian pemerintah.

“Setidak-tidaknya bisa diperbanyak dan dikembalikan ke habitatnya (alam liar),” kata lulusan Universitas Hirosima, Jepang ini.

 

Spesimen pertama Nepenthes rigidifolia ditemukan oleh C. Lee pada 1998 di Berastagi. Pada 2004 ia diklasifikasikan sebagai Nepenthes aptera sebelum resmi dan sah diberi nama Nepenthes rigidifolia. Tumbuhan ini umumnya hidup di habitat pegunungan atau dataran tinggi di daerah Sumatera. Foto: Barita N Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

 

Serap emisi dan obat tradisional

Bentuknya yang indah, hingga banyak yang jadikan kantong semar sebagai tanaman hias. Selain itu, tumbuhan ini juga jadi obat-obatan tradisional. Tak hanya itu, ia juga sekaligus bisa berfungsi ekologis sebagai penyerap emisi karbon hingga membantu mengurangi pemanasan global.

Dalam jurnal tahun 2016, Muhammad Mansur, ahli botani, mengatakan, perasan daun atau akar kantong semar dapat sebagai penyegar, obat disentri, batuk, dan demam. Selain sebagai obat tradisional, tumbuhan ini juga memiliki peran penting secara ekologis.

Kantong semar juga dapat membantu mengendalikan hama serangga dan berfungsi sebagai penyerap gas karbondioksida (CO2) di udara, merupakan salah satu penyebab pemanasan global.

Penelitian di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menunjukkan jenis kantong semar Nepenthes gymnamphora Nees dapat menyerap gas karbondioksida dengan tingkat rendah sampai tinggi, yakni, sekitar 2,44 µmol/m2 /s sampai sekitar 29,12 µmol/m2 /s.

Kondisi ini menunjukkan, kantong semar memiliki potensi dalam mengurangi gas karbondioksida di udara hingga , yang dapat membantu mengurangi pemanasan global.

Di Sumatera Utara pun masyarakat turun menurun mengenalnya sebagai tumbuhan obat. “Kalau disini kami pakai untuk obat telinga. Yang dipakai cairan yang dari kantung tertutup, bukan cairan yang sudah terbuka dan dihinggapi serangga”, kata Pak Bukit,  warga Karo.

 

Biji N. riidifolia. Foto: Barita N. Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

*******

Exit mobile version