Mongabay.co.id

Berakhir Sudah, Kegiatan Tambang Pasir di Perairan Pulau Rupat

 

Penolakan atas terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut terasa begitu kuat disuarakan banyak pihak dalam beberapa pekan terakhir ini. Upaya tersebut diperjuangkan, karena dampak yang timbul dinilai sangat membahayakan.

Di antara penolakan itu, terselip penolakan terhadap kegiatan penambangan pasir laut yang dilaksanakan oleh PT Logomas Utama (LMU) di pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Penolakan itu disuarakan dengan beragam cara, baik oleh nelayan dan penduduk lokal, atau pegiat lingkungan.

Selama bertahun-tahun, penolakan terus disuarakan dalam berbagai kesempatan. Sampai akhirnya, pada awal 2022 lalu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menghentikan seluruh aktivitas penambangan pasir laut di pulau tersebut.

Alasannya, karena saat itu penambangan dideteksi sebagai kegiatan ilegal yang tidak dilengkapi izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). Padahal, untuk memanfaatkan ruang laut, izin PKKPRL menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki.

Tetapi, setahun lebih sejak penghentian kegiatan penambangan pasir laut, masyarakat dan pegiat lingkungan masih terus menyuarakan penolakan kegiatan tersebut di Rupat. Alasannya, karena degradasi lingkungan di wilayah pesisir pulau sudah semakin terasa.

baca : Nelayan Minta Presiden Cabut Izin Tambang Pasir di Laut Rupat

 

Para nelayan Desa Suka Damai, Kecamatan Rupat Utara melakukan aksi bentang spanduk untuk menyuarakan tuntutan penyelamatan pulau Rupat dari ancaman tambang pasir laut, Senin (12/6/2023). Foto : Walhi

 

Tak menunggu lama, KKP langsung merespon banyaknya penolakan dengan menerbitkan surat penghentian secara permanen kegiatan penambangan pasir laut di pulau Rupat. KKP mengeklaim, penghentian tersebut menjadi wujud komitmen untuk melindungi ekosistem pesisir di sana.

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Adin Nurawaluddin menyebut, kegiatan penambangan pasir laut di Rupat sudah terbukti menimbulkan kerusakan pada ekosistem mangrove dan padang lamun.

Dia mengatakan kalau kesimpulan munculnya kerusakan bukan atas asumsi belaka, melainkan hasil dari tim ahli ekosistem pesisir dan laut yang sengaja dibentuk KKP untuk kasus di pulau Rupat. Dari tim tersebut, didapatkan fakta bahwa kerusakan yang terjadi di perairan Rupat didominasi oleh manusia.

“75 persen disebabkan faktor tindakan atau kelalaian manusia, dan 25 persen disebabkan oleh faktor alam,” ungkap dia awal pekan ini di Jakarta.

Hasil penelitian yang dilakukan tim ahli tersebut, semakin menguatkan KKP untuk menghentikan secara permanen kegiatan penambangan pasir laut di Rupat. Kemudian, KKP menyampaikan permintaan evaluasi perizinan penambangan di perairan Pulau Rupat kepada Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM).

“Selain itu, PT LMU dan perusahaan lain yang turut menyebabkan kerusakan juga dikenakan denda administratif sebagai pertanggungjawaban atas kerusakan yang ditimbulkan,” tambah dia.

baca juga : Pulau Rupat Terancam, Terbebani Izin Ekstraktif di Darat dan Laut

 

Aparat KKP menghentikan permanen pertambangan pasir laut di perairan Pulau Rupat, Bengkalis, Riau. Foto : KKP

 

Tentang kekhawatiran para nelayan lokal dan pegiat lingkungan bahwa penerbitan PP 26/2023 akan berimplikasi buruk, hal itu dibantah oleh Adin Nurawaluddin. Menurut dia, kehadiran PP tersebut justru untuk mengantisipasi kasus seperti di Rupat dan tidak terjadi di pulau lain.

Melalui PP 26/2023, lokasi tambang sedimen hanya bisa ditentukan berdasarkan hasil penelitian dari tim ahli. Dengan demikian, lokasi yang boleh ditambang adalah lokasi yang terdapat sedimen yang boleh diambil, bukan pasir yang menjadi bagian penting dalam keberadaan pulau atau ekosistem laut.

Menurut dia, sebelum PP 26/2023 lahir, pasir laut masih dianggap sebagai salah satu materi pertambangan dan menjadi salah satu dasar pertimbangan untuk menerbitkan izin di perairan pulau Rupat.

Namun, merujuk pada PP tersebut, perairan di Rupat tidak bisa untuk dijadikan lokasi penambangan sedimentasi di laut, karena merupakan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT). Status PPKT membuat perairan di sekitar pulau Rupat mendapat perlindungan penuh dari Pemerintah Indonesia.

“Penambangan di Rupat menjadi tidak diperbolehkan selamanya, karena di lokasi tersebut tidak mungkin ditetapkan sebagai lokasi sedimen karena merupakan pulau-pulau kecil terluar yang dilindungi,” jelas dia.

Berdasarkan PP No.62/2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar, dan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.6/2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar, pemanfaatan pulau Rupat hanya diperbolehkan untuk wilayah pertahanan, konservasi, dan kesejahteraan masyarakat.

baca juga : Nelayan Tak Mau Ada Tambang Pasir di Perairan Rupat

 

Peta tumpang_tindih pencadangan konservasi Perairan Rupat, Bengkalis, Kepulauan Riau. Sumber : Walhi

 

Ekosistem Beting

Sebelumnya pada Senin (12/6/2023), para nelayan dari Desa Suka Damai Kecamatan Rupat Utara yang didominasi masyarakat Suku Akit, melakukan aksi bentang spanduk untuk menyuarakan tuntutan penyelamatan pulau Rupat dari ancaman tambang pasir laut.

Aksi yang dilaksanakan di sekitar Beting Aceh dan Pulau Babi, Rupat Utara ini merespon diterbitkannya PP 26/2023 yang dinilai sudah memberikan ruang untuk menambang pasir laut dengan dalih sedimentasi.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau yang mendampingi aksi tersebut, menyebutkan kalau para nelayan Rupat juga menyerukan agar Gubernur Riau segera mengambil keputusan untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Logomas Utama.

WALHI Riau kemudian mengutip pernyataan Andre, salah satu nelayan dari Dusun Suling. Dia menyatakan keberatan atas aktivitas tambang pasir laut, karena mengganggu aktivitas nelayan saat mencari ikan.

“Aktivitas penyedotan pasir laut yang mereka lakukan dalam waktu beberapa bulan saja telah membuat hasil tangkap nelayan turun drastis, apalagi jika mereka terus beroperasi hingga beberapa tahun nanti. Sudah pasti ikan habis, pulau kami pun rusak dan tenggelam,” ucap dia.

Aksi bentang spanduk dilakukan nelayan di sekitar Beting Aceh, yang berjarak sekitar 2 kilometer (km) dari pulau Rupat bagian utara. Di sana, terdapat Beting Tinggi yang sempat hilang ketika PT LMU beraktivitas menyedot pasir laut.

Melalui aksi tersebut, saat itu para nelayan ingin memberi peringatan kepada Pemerintah bahwa Beting Aceh, Beting Tinggi, Beting Tiga, dan beting-beting lainnya adalah ekosistem penting yang harus dijaga dan tidak boleh ditambang.

perlu dibaca : Kegiatan Tambang di Pesisir Pulau Kecil adalah Pelanggaran Konstitusi

 

Nelayan memperlihatkan papan penghentian sementara kegiatan penambangan pasir laut oleh PT LMU di perairan Pulau Rupat, Bengkalis, Riau oleh KKP. Foto : Walhi

 

Guru Besar Manajemen Sumber daya Perairan Universitas Riau Adnan Kasry seperti dikutip WALHI Nasional, mengungkap bahwa sedimentasi berasal dari hasil erosi di Daerah Aliran Sungai (DAS) berupa tanah, lumpur, pasir, dan mineral, serta berbagai unsur kimia yang dibawa oleh aliran sungai ke muara (estuaria).

Material untuk kegiatan reklamasi pantai ini dapat juga berasal dari pelapukan batuan di kawasan pantai dan dasar laut. Di kawasan estuaria yang kondisi geografisnya relatif datar, sebagian besar hasil erosi tersebut akan mengendap di kawasan estuaria membentuk timbunan lumpur dan pasir (beting).

Kata dia, dalam prosesnya beting akan membesar dan membentuk pulau-pulau delta. Sementara, sedimentasi yang terbentuk di sekitar kawasan pantai akan menyebabkan terbentuknya daratan yang menyatu dengan daratan sekitarnya, sehingga daratan pantai bertambah luas.

”Inilah yang disebut natural land reclamation, reklamasi tanpa campur tangan manusia dan tanpa biaya. Kemungkinan sedimentasi itu diperlukan bagi organisme dasar (demersal), karena mengandung berbagai sumber makanan, sebagai habitat dan tempat pemijahan,” papar dia.

Di sisi lain, Adnan Kasry juga menyebut kalau sedimentasi sebenarnya menjadi baik untuk pertumbuhan tanaman mangrove, karena bisa menjadi habitat dan dasar pertumbuhan. Sedimentasi diketahui mengandung sumber makanan atau senyawa kimia yang baik bagi mangrove.

”Padang lamun di muara sungai juga diuntungkan dengan adanya sedimentasi,” tambah dia.

 

Perairan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Riau. Foto : Walhi

 

Sebagai penegasan, dia juga menjelaskan bahwa beting bisa berfungsi sebagai pengubah arus di perairan laut atau pesisir. Beting yang sudah permanen juga memiliki fungsi lain untuk mengurangi abrasi yang terjadi di pulau.

”Apabila beting ini ditambang, yang paling dirugikan dari segi ekonomi adalah nelayan karena daerah tangkapan ikan yang akan hilang dan semakin jauhnya daerah tangkapan ikan,” pungkas dia.

Pada Mei 2023, WALHI Riau juga menerbitkan keterangan kepada publik tentang pulau Rupat. Direktur Eksekutif WALHI Riau Even Sembiring saat itu mengatakan kalau Pemerintah Provinsi Riau sudah abai menindaklanjuti komitmen konservasi laut.

Komitmen tersebut sangat kuat karena diterbitkan melalui Keputusan Gubernur Riau Nomor Kpts.565/II/2019 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Rupat Utara Kabupaten Bengkalis. Keputusan ini terbit pada 15 Februari 2019, ketika Gubernur Riau dijabat oleh Wan Thamrin Hasyim.

Keputusan tersebut diterbitkan tepat lima hari sebelum pasangan Syamsuar dan Edy A Natar Nasution dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Riau periode 2019-2024. Itu artinya, lebih dari empat tahun Pemprov Riau masih belum mampu menindaklanjuti maupun berkoordinasi untuk menyegerakan penetapan Konservasi Perairan Taman Pesisir di laut Rupat bagian utara.

“Hampir empat tahun pemerintahan Gubernur Syamsuar tidak banyak mengubah rupa pengelolaan sumber daya alam,” ungkap dia.

 

 

Exit mobile version