Mongabay.co.id

Upaya Selamatkan Pulau Mendol dari Sawit, Organisasi Masyarakat Sipil Ajukan Sahabat Peradilan

 

 

 

 

 

 

Keputusan Bupati Pelalawan mencabut izin usaha perkebunan budidaya (IUPB) dan perintah menghentikan seluruh kegiatan pembukaan areal untuk perkebunan di Pulau Mendol, mendapat perlawanan dari PT Trisetia Usaha Mandiri (TUM) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pekanbaru. Majelis hakim menerima seluruh materi gugatan TUM. Pemerintah Palalawan banding. Berbagai organisasi masyarakat sipil pun menyampaikan sahabat peradilan (amicus curiae) kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) di Medan.

Dalam gugatan itu, TUM beranggapan, keputusan Bupati Pelalawan bertentangan dengan asas memenuhi harapan wajar dan asas motivasi pengambilan keputusan. Kesimpulan itulah yang diamini Majelis Hakim Misbah Hilmy, Endri dan Rahmadian Novira, pada sidang putusan, 22 Februari lalu. Bupati Pelalawan diperintah mencabut kembali keputusan itu.

TUM pertama kali memperoleh izin pelepasan kawasan hutan di Pulau Mendol pada 1997. Baru 2013, Bupati Pelalawan, Muhammad Harris, menerbitkan IUPB. Empat tahun setelahnya, Menteri ATR/Kepala BPN Syofian Djalil pun memberikan izin hak guna usaha (HGU).

Belakangan, Haris mencabut kembali IUPB  pada 2020, dengan alasan perusahaan terlampau lama tak memanfaatkan areal. TUM malah mengerahkan alat berat membuka lahan dan buat kanal hingga menimbulkan gejolak di masyarakat.

Alhasil, Zukri, bupati pengganti Harris, memerintahkan TUM menghentikan aktivitas,pada 2022. Pemerintah sebelumnya telah mencabut izin yang pernah diberikan. Bahkan, Menteri ATR/Kepala BPN pun mencabut kembali HGU perusahaan ini awal 2023. Alasannya,  lebih kurang sama TUM menelantarkan konsesi.

PTUN Pekanbaru tidak memandang fakta-fakta itu termasuk gejolak  di tengah masyarakat Pulau Mendol. Menyikapi putusan itu, Bupati Pelalawan mengambil langkah hukum ke Pengadilan Tinggi TUN Medan. Permohonan banding dikirim 17 Mei lalu.

“Menurut kami, sebenarnya tidak tepat hakim mengenyampingkan norma lain dalam memutus, bahwa pencabutan IUP bertentangan dengan hukum. Dalam perkembangannya pencabutan IUP juga diikuti pencabutan HGU,” kata Direktur Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembiring, beberapa waktu lalu.

Aksi Bupati Pelalawan memantik dukungan sejumlah organisasi masyarakat sipil, antara lain Walhi, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)  dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Mereka ajukan sahabat peradilan (amicus curiae).

Mereka sepakat, keputusan hakim tak mempertimbangkan risiko kerusakan dan dampak serta hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang baik. Ancaman itu akan terjadi bila TUM tetap bangun perkebunan sawit.

Satrio Manggala, Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi Nasional, mengatakan,  Bupati Pelalawan yang mencabut IUPB dan memerintah TUM menghentikan kegiatan, bagian dari penegakan hukum pemerintah daerah.

Hakim PTUN Pekanbaru yang membatalkan keputusan ini dinilai melupakan prinsip keadilan, menyangkut kepentingan generasi sekarang dan mendatang serta kepentingan manusia dan ekosistemnya.

 

Baca juga: Hutan dan Gambut Pulau Mendol Terancam Perusahaan Sawit, Warga pun Resah

Kanal yan dibangun perusahaan sawit di lahan gambut menuju pantai. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Linda Dewi Rahayu,  Staf Departemen Advokasi Kebijakan dan Pengembangan Jaringan KPA,  menyebut,  peran PTUN di Indonesia seharusnya lebih dari sekadar memeriksa urusan administrasi. PTUN, katanya, harus jadi bagian upaya melindungi hak atas tanah masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan.

Asas lingkungan, katanya,  harus jadi perhatian hakim dalam memutus perkara.

“PTUN juga harus mampu melihat tujuan hukum dalam kepastian, kemanfaatan dan keadilan untuk masyarakat Pulau Mendol yang haknya tercabut oleh hadirnya konsesi TUM,” katanya dalam diskusi, beberapa waktu lalu.

Senada dengan Difa Shafira,  Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL. Dalam memeriksa perkara lingkungan hidup, katanya, hakim telah diberi pedoman oleh Ketua Mahkamah Agung lewat SK 36/2013.

Tiap hakim, katanya,  perlu melihat asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ia jadi dasar pengujian gugatan yang dilayangkan TUM terhadap keputusan Bupati Pelalawan.

“Bupati Pelalawan telah melakukan pengawasan. Ini bentuk tata kelola pemerintahan yang baik. Pencabutan IUP adalah tindakan korektif. Bentuk keberpihakan pejabat negara untuk perlindungan dan prinsip lingkungan hidup. Sesuai komitmen dan kebijakan iklim di Indonesia,” kata Difa.

Abdul Malik Akdom,  Staf Riset YLBHI,  menguatkan pendapat Difa. Pertimbangan hukum yang mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan sudah dinyatakan dalam UU Kekuasaan Kehakiman No 48/2009. Pasal 5 ayat 1 menyebut, hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

“Hakim harus melihat kehendak masyarakat Pulau Mendol dan alasan menolak TUM. Keberadaan TUM bertentangan dengan semangat reforma agraria. Anti monopoli swasta terhadap sumber daya agraria,” kata Malik.

 

 

Fakta: Mendol, pulau kecil, pulau gambut

Pulau Mendol, Kecamatan Kuala Kampar, Kabupaten Pelalawan, Riau, dinilai tak layak jadi areal perkebunan sawit. Mendol atau Penyalai yang terletak di Pantai Timur Sumatera, itu merupakan pulau kecil seluas 30.717 hektar atau 307,17 km persegi.  Ia juga pulau gambut dengan lebih separuh luasan kawasan lindung ekosistem gambut.

Fakta ini tertuang dalam lampiran keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengenai penetapan peta kesatuan hidrologis gambut nasional. Luas HGU TUM 6.055,77 hektar, mayoritas berada pada indikatif fungsi lindung ekosistem gambut. Baik kubah maupun bukan kubah gambut. Hanya 419,07 hektar untuk fungsi budi daya.

Mengacu pada UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, pulau dengan luasan kurang 2.000 km persegi, hanya prioritas untuk kepentingan konservasi dan lain-lain hingga pertahanan dan keamanan negara.

“Pulau Mendol termasuk pulau kecil. Seharusnya aktivitasnya dibatasi terutama untuk industri ekstraktif seperti perkebunan sawit,” ungkap Satrio.

Atas dasar itu masyarakat Pulau Mendol keberatan terhadap rencana pengelolaan pulau untuk investasi perkebunan sawit yang menjadi tempat tinggal mereka. Masyarakat punya kesempatan sama dalam pembangunan di sekitar ruang hidupnya. Hak ini tertuang dalam Pasal 18 angka 27 UU No 6/2023 dan Pasal 60 ayat 1 huruf a UU 27/2007.

 

Tolak sejak lama

Masyarakat Pulau Mendol menolak rencana pembangunan kebun sawit ketika mengetahui TUM mengantongi HGU pada 2018. Protes itu makin membesar setelah perusahaan menerjunkan alat berat, tahun lalu. Perjuangan itu turut mengorbankan nyawa seorang warga, saat dalam perjalanan menuju Jakarta, mendesak Kementerian ATR/BPN cabut HGU.

“Penolakan masyarakat harusnya dianggap sebagai unsur penting pembangunan perkebunan. Ini dijamin dalam UU Perkebunan. Perkebunan harus membawa manfaat bagi masyarakat,” kata Linda.

 

anaman kelapa dan tanaman lain warga di Pulau Mendol, bakal terdampak kalau perusahaan sawit masuk. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Menurut KPA, selain bertolak belakang dengan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, pemberian izin pada TUM di Pulau Mendol, juga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71/2014 atau biasa disebut PP Gambut.

Pasal 21, melarang aktivitas pembukaan lahan gambut selain untuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan dan jasa lingkungan pada kawasan lindung. Pemanfaatan areal dengan fungsi budi daya pun harus sesuai rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut itu sendiri.

PP Gambut juga menjelaskan, pembuatan kanal dan pembukaan hutan pada areal gambut lindung, tergolong kegiatan merusak kawasan gambut. Sebab itu, TUM telah melanggar kewajiban sebagai pelaku usaha perkebunan memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup. Ini tertuang dalam Pasal 67 Ayat 1 UU Perkebunan.

“Gambut termasuk ekosistem esensial dan punya kerentanan tertentu. Aktivitas TUM selaku industri ekstraktif perkebunan sawit tidak bisa dibenarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan ini,” tegas Satrio.

Berdasarkan pengecekan lapangan Walhi Riau, eskavator TUM telah membuka hutan dan menggali kanal hampir satu km dengan kedalaman lebih dua meter. Parit besar itu justru lebih banyak membentang di luar HGU. Bahkan, bermuara ke bibir pantai atau hanya lima meter lagi ke laut.

Informasinya, akan dibangun pelabuhan menunjang aktivitas perusahaan ke depan. Di sisi kanal yang terbangun juga ada 3.224 hektar tutupan hutan dengan kondisi masih baik. Kerapata  lebih 30%.

Pembukaan areal gambut TUM, ditengarai mengancam infrastruktur sumber air bersih, bagi warga Pulau Mendol yang dibangun pemerintah sejak 1997.  Ia juga akan mengancam biawak, mawas atau monyet besar, pelanduk maupun rusa. Satwa-satwa ini penghuni khas Pulau Mendol.

“Dengan kondisi alamiahnya, Pulau Mendol seharusnya sebagai wilayah lindung, berdasarkan keragaman hayatinya. Harus ada pembatasan dan pengawasan khusus terhadap segala aktivitas di atasnya,” kata Satrio.

 

Tutupan hutan di Pulau Mendol, yang masuk izin PT TUM. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Menurut YLBHI, usaha perkebunan sawit TUM berpotensi melanggar pemajuan hak asasi manusia warga Pulau Mendol. Antara lain, hak atas lingkungan hidup bersih dan sehat, partisipasi dalam pembangunan dan hak atas air.

“Aktivitas TUM berdampak besar terhadap lingkungan dan ekosistem gambut. Hal ini akan mereduksi kepentingan warga terhadap hak akses terhadap air ketika TUM terus beroperasi,” kata Malik.

Jadi, katanya, selayaknya majelis hakim PTTUN Medan membatalkan putusan PTUN Pekanbaru dan menyatakan dua keputusan Bupati Pelalawan soal pencabutan IUPB dan penghentian segala aktivitas pada bekas izin areal  itu sah. Hal itu, katanya, merupakan tanggung jawab negara dalam melindungi kepentingan masyarakat dari kerusakan lingkungan.

“Ini kesempatan bagi PTTUN Medan mewujudkan keadilan iklim bagi warga Pulau Mendol melalui perkara ini,” kata Difa.

 

raktik berisiko bagi lingkungan. Kebun sawit yang sedang membuka kanal di lahan gambut Pulau Mendol, Riau. Sawit jadi salah satu bahan baku bahan bakar biodisel yang digadang-gadang rendah emisi dan jadi solusi transisi energi, benarkah? Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

******

Exit mobile version