Mongabay.co.id

Nissa Wargadipura dan Harapan Kedaulatan Pangan Masyarakat

 

 

Agroekologi bertujuan menjaga kelestarian ekosistem dengan tidak mengedepankan ekonomi semata.

“Kami mengembangkan konsep pertanian agroekologi, sebuah sistem pertanian yang mensyarakatkan keseimbangan ekosistem,” terang Nissa Wargadipura [50], saat bersua Mongabay Indonesia, Kamis [25/5/2023].

Ditemui saat kegiatan perempuan pejuang lingkungan di Desa Pajinian, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT], Nissa bertutur, agroekologi adalah pendekatan untuk membangun kedaulatan pangan keluarga. Namanya family farming, pertanian keluarga.

Bersama suaminya Ibang Lukmanurdin, Nissa mendirikan Pesantren Ekologi Ath-Thaariq, di Kampung Cimurugul, Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Mengutip detikom, pesantren yang berangkat dari semangat Rahmatan lil alamin dan penyelamatan lingkungan ini dijadikan representatif family farming decade oleh Organisasi Pangan dan Pertanian [FAO] Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk tahun 2018-2028.

Baca: Daun Lontar dan Anyaman Kreatif Masyarakat Flores

 

Nissa Wargadipura, perempuan pejuang lingkungan yang konsen mengembangkan pertanian agroekologi dan agroforesti berbasis keluarga menggunakan benih lokal. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Agroekologi

Menurut Nissa, agroekologi merupakan metode berbasis kearifan lokal yang penting dalam membangun ketahanan pangan keluarga.

Agroekologi juga membangun pengetahuan berkelanjutan.

“Membicarakan sistem pertanian, ilmu-ilmu menyehatkan tanah, melindungi benih, serta praktik pertanian,” jelasnya.

Dari semua itu, agroekologi menekankan perlindungan terhadap benih lokal.

“Bukan benih dari luar atau benih hibrida, apalagi benih hasil rekayasa genetika alias genetically modified organism [GMO]. Benih-benih inilah yang akan menjawab kojndisi stunting, gizi buruk, serta ibu yang kuat melahirkan dan menyusui,” ungkapnya.

Nissa menjelaskan, kepada masyarakat pihaknya melakukan pendekatan budaya Sunda bernama Buruan Bumi atau Buruan ImaBuruan itu kebun pekarangan. Selain itu, ada Kebun Talun, sebuah hutan milik komunitas orang Sunda yang agroforestrinya sangat kuat.

Wanatani atau agroforestri adalah bentuk pengelolaan sumber daya yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan dengan penanaman komoditas atau tanaman jangka pendek, seperti pertanian.

“Utamanya pohon-pohon, lalu di bawahnya ditanam tanaman atau sayuran yang tangguh dan adaptif,” jelasnya.

Baca: Menumbuhkan Kesadaran Pangan dan Ekologi di Pesantren Ath-Thaariq Garut

 

Nisya menunjukkan tanaman jewawut di kebun milik Navdanya Bija, Dehradun, India. Foto : Dok. Nissa Wargadipura/Romo Hardo Iswanto

 

Kedaulatan pangan

Nissa mengembangkan agroekologi dengan menggunakan benih lokal yang adaptif terhadap perubahan iklim. Di pesantren ekologi, benih lokal yang mulai hilang dikumpulkan.

“Yayasan Kehati mencatat, dari mulai rumput hingga pohon di pesantren ekologi ada sekitar 450 jenis tanaman,” paparnya.

Benih-benih lokal berkaitan dengan ketahanan dan kedaulatan pangan. Dan itu tak terpisahkan dengan mempertahankan keanekaragaman hayati.

“Keanekaragaman hayati menjadi bagian dari melindungi Bumi ini,” ucapnya.

Nissa menuturkan, kedaulatan pangan bermakna makanan yang mudah diakses oleh masyarakat, murah, dan berkualitas tinggi.

Untuk itu, pertanian keluarga yang berangkatnya dari kebun pekarangan atau mungkin disebut agriculture transformation, bisa dilakukan. Semua berpusat di rumah.

“Dari rumah, kita mampu mengakses makanan segar, murah, dan bernutrisi tinggi. Ini disebut kedaulatan pangan,” terangnya.

 

Para santri panen tomat di lahan sekitar rumah dengan konsep agroekologi. Foto: Dok. Nissa Wargadipura

 

Kita tidak dipusingkan dengan makanan dalam konteks skema besar pasar, yaitu harus ada uang untuk mengakses makanan. Kedaulatan pangan adalah dapat mengakses makanan tidak melalui materi atau uang.

Diharapkan, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memperkuat pertanian keluarga, sesuai program PBB tahun 2018-2028 tentang pertanian keluarga.

“Pertanian keluarga itu basisny agroekologi. Kita negara yang sangat kuno, membicarakan kearifan lokal tetapi perangkat dasarnya tidak ada,” ujarnya.

Masyarakat tidak bisa berdaulat pangan bila kebijakan pertanian keluarga, perlindungan terhadap benih lokal dengan penerapan agroekologi tidak ada.

“Penyebabnya, karena kita berhadapan dengan perusahaan multinasional. Selama kebijakan terhadap benih lokal tidak diutamakan, dampaknya kita berada diambang kehancuran,” pungkasnya.

 

Exit mobile version