Mongabay.co.id

Kala Presiden Perintahkan Penyelesaian Konflik PTPN II tetapi Belum Ada Hasil, Petani Tagih Janji

 

 

 

 

Sura Sembiring tak bisa menahan tangis kala mengenang perjalanan hidup tergusur berulang kali. Dia cerita kala rumahnya di Sei Mencirim, Deli Serdang, Sumatera Utara, dirobohkan aparat pada 1969 karena disebut lahan masuk area PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II. Lalu bikin tempat tinggal lagi, kembali dirobohkan. Hidup tak ada ketenangan karena terus berkonflik dengan perusahaan pelat merah ini hingga kini.

Perempuan 61 tahun ini cerita, saat aparat merobohkan rumahnya pertama kali, bapak dan abangnya dibawa ke kantor polisi karena bertahan di lahan yang diklaim sebagai aset negara itu. Tak tahu harus berbuat apa, Sura yang kala itu berusia delapan tahun tetap berdiam di sana dengan ibu, adik dan kakak perempuannya.

“Kami tidur tanpa atap, menghadap langit. Tapi Tuhan masih menyayangi kami karena tidak ada hujan waktu itu. Saya begitu takut, orang tua saya yang laki tidak ada di situ,” ucap Sura lirih saat bertemu Mongabay di Jakarta akhir Juni lalu.

Ayah dan abangnya dilepaskan polisi. Mereka sekeluarga lalu membuat kembali gubuk di tanah yang sudah mereka garap sebelum perusahaan negara itu berdiri, namun kembali dirobohkan.

“Akhirnya kami pindah ke kampung saudara,” kata perempuan yang akrab disapa Nenek Sembiring itu.

Sejak itu, Nenek Sembiring dan ratusan petani di Sei Mencirim tak menjalani hidup tenang karena selalu berkonflik dengan PTPN II. Tidak ada penyelesaian terhadap konflik menahun ini.

Bahkan, hampir 55 tahun berselang, penggusuran dan intimidasi PTPN II yang dibekingi aparat TNI-Polri masih terjadi. Seakan deja vu, mimpi buruk terulang pada 2017 ketika PTPN dan aparat menggusur rumah dan tanah yang ditinggalinya sejak 1996.

Tak ada aset dan tempat tinggal lagi, Nenek Sembiring beserta satu anak dan tiga cucunya tinggal berpindah-pindah. Sudah dua tahun terakhir mereka numpang di rumah adiknya.

“Saya lahir di Mencirim, tapi tanah tempat saya lahir dan mengubur ari-ari sudah tidak ada. Sudah diambil oleh pemerintah,” katanya.

Konflik berkepanjangan ini pun sudah memakan fisik dan mentalnya. Untuk makan saja dia harus memetik daun ubi yang ditanam di tanah urukan parit yang dibuat PTPN. Parit ini dibuat perusahaan  untuk menghalau petani agar tak masuk ke area perusahaan pelat merah ini. Itu pun, katanya,  harus dilakukan malam hari agar keamanan PTPN tak menegur atau mengusir.

Meskipun begitu, kelemahan fisik tidak membuat suaranya mencari keadilan mengecil. Nenek Sembiring masih kuat mengikuti aksi ke Jakarta. Aksi di depan Kantor Kementerian BUMN dengan puluhan petani Sei Mencirim dan Simalingkar, 19 Juni lalu dia ikuti.

“Karena di Sumatera Utara itu petani kecil tidak ada artinya lagi. Segala aksi sudah kami lakukan tapi tidak ada perubahan,” katanya.

Saat aksi di Kementerian BUMN tak ada respons. Saat itu bertepatan dengan pertandingan sepakbola Indonesia vs Argentina.

“Sepertinya Pak Menteri itu sedang sibuk dengan tugas lain di PSSI,” kata Benny Wijaya, Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

 

 

Putus sekolah

Konflik petani Sei Mencirim dan Simalingkar dengan PTPN II mengubah kondisi sosial masyarakat. Paling terdampak, salah satu,  anak usia sekolah.

Tak sedikit anak-anak mengalami putus sekolah karena keluarga tak memiliki pemasukan. Orangtua tak ada lagi lahan berkebun atau bertani. Barry, misal, pemuda 24 tahun ini saat penggusuran masih kelas 1 SMA.

“Waktu itu saya sekolah di luar daerah. Saat konflik terjadi, Mama suruh saya pulang karena tidak ada biaya lagi. Ya, sudah, saya pulang. Berhenti sekolah,” katanya.

Sesampainya di Medan, Barry tidak bisa bersantai-santai. Dia harus membantu mamanya yang jadi orang tua tunggal sejak Barry berusia empat tahun.

Putus sekolah, Barry kerja serabutan. “Saya sempat jadi kuli bangunan dan mama jadi buruh cuci,” katanya.

Dia dan mamanya hingga kini tak memiliki hunian tetap. Walaupun masih di Simalingkar, tetapi mereka menumpang di rumah saudara.

“Mau bagaimana lagi. Mau ngontrak juga kami uang dari mana?”

 

Aksi petani dari Deli Serdang yang berkonflik dengan PT PN II di depan Kementerian BUMN di Jakarta. Foto: KPA

 

Tagih janji

Juni lalu, perwakilan Serikat Tani Sei Mencirim Bersatu (STMB) dan Serikat Petani Simalingkat Bersatu (SPSB) kembali ke Jakarta menagih janji penyelesaian konflik pada pemerintah. Pada 2020,  para petani sudah bertemu Presiden Joko Widodo. Presiden sudah memerintahkan percepatan penyelesaian konflik. Surat Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia Nomor B-77/KSK/11/2020, sudah keluar.

Surat ini lahir dari aksi jalan kaki para petani dari dua desa ini pada 2020. Presiden memerintahkan Kepala KSP Moeldoko membentuk Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Agraria di Desa Sei Mencirim dan Simalingkar dengan memberikan tugas-tugas pada Kementerian BUMN dan PTPN, KATR/BPN, KPUPR, Pemerintah Sumut dan Pemkab Deli Serdang, dan Bareskrim Polri.

SK juga menjamin setiap keluarga mendapat 150 meter persegi tanah untuk rumah, dan 2.500 meter persegi lahan pertanian.

“Sampai sekarang tidak ada proses lanjutan, kami di-oper-oper terus kalau tanya ini. Makanya kami ke sini (Jakarta) lagi,” kata Efendi, yang pada 2020 menjadi salah satu perwakilan petani yang bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara.

Sejauh ini sudah ada verifikasi data petani oleh Pemerintah Sumut. Dari 805 warga Simalingkar yang diajukan mendapat tanah dan rumah, hasil verifikasi mengerucut menjadi 716 nama. Lalu 707 nama yang diajukan di Sei Mencirim mengerucut jadi 692 nama.

Meski begitu, ada tindak lanjut lagi oleh pemerintah pusat maupun daerah. Padahal, Presiden pada Juli 2022 sempat mengunjungi Pasar Petisah di Medan dan menyebut kalau urusan itu sudah selesai.

“Saya bertemu Pak Jokowi di Pasar dan bilang ‘Pak Jokowi, ini saya yang waktu itu ke Jakarta jalan kaki. Mana janji Pak Jokowi?’. ‘Sudah selesai, Bu’, Dia (Jokowi) bilangnya,” kata Eliana Sembiring, terisak. Dia pun bingung kala presiden bilang sudah selesai.

“Aku terkejut dengarnya dan bilang ‘Kami sampai sekarang tidak bisa berladang’,” tambah ibu satu anak itu.

Ketidakjelasan penyelesaian konflik ini pun yang mendasari Eliana datang ke Jakarta bersama petani Simalingkar dan Sei Mencirim lain. Dia cuma ingin negara segera menjalankan apa yang sudah dijanjikan.

“Selama ini saya harus ngontrak dan menjadi buruh tani, dibayar Rp80.000 per hari. Saya sudah capek.”

 

 

Selain itu, akan ada pula aksi besar yang kemungkinan dilakukan bertepatan dengan Hari Tani Nasional 23 September. “Kami akan konsolidasi dengan serikat tani yang punya tipologi konflik yang sama untuk mendorong penyelesaian,” kata Joshua Situmorang, dari departemen advokasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Dari 532 lokasi prioritas reforma agraria, katanya, ada 123 di 151 desa yang berkonflik dengan PTPN. Hingga kini, lokasi yang berkonflik dengan PTPN tidak pernah ada penyelesaian.

Menurut catatan KPA, konflik-konflik ini terjadi di tujuh provinsi dengan luas hingga 250.000 hektar. Konflik melibatkan PTPN VII, PTPN VIII, PTPN XII dan PTPN 14. “PTPN ini sarang konflik. Modelnya cenderung sama, ada klaim yang kemudian merugikan masyarakat,” kata Joshua.

Petani Sei Mencirim dan Simalingkar termasuk yang memiliki kemajuan dalam penyelesaian karena ada SK Kepala KSP, tetapi tak kunjung selesai. Di daerah lain, tidak ada yang memiliki progres berarti.

“Lebih mudah penyelesaian konflik dengan swasta daripada dengan BUMN, terutama PTPN ini,” katanya.

 

De facto vs de jure

Konflik yang melibatkan petani Sei Mencirim dan Simalingkar dengan PTPN ini sebetulnya terjadi karena ada klaim aset negara di atas tanah yang sudah digarap masyarakat sejak 1951.

Kala itu, katanya, lahan ini merupakan tanah bekas perkebunana Belanda Deli Maatschappij di masa kolonial dari 1926-1938.

Lahan terbengkelai di masa penjajahan Jepang. Setelah Indonesia merdeka, Belanda pun diusir dan lahan yang mati ini digarap masyarakat hingga mereka makin banyak pada 1954.

Nasionalisasi perkebunanan Belanda membuat aset-aset milik Belanda jadi milik Indonesia. Sayangnya, tidak ada verifikasi di lapangan untuk melihat kondisi eksisting hingga lahan itu secara de jure diserahkan kepada perkebunan negara tetapi de facto masyarakat sudah mengelola lahan di sana.

 

 

Petani dari Deli Serdang menangih janji penyelesaian konflik lahan dengan PTPN II di Jakarta. Foto: KPA

 

Kondisi ini sebetulnya bisa selesai dengan skema land reform sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Bahkan, masyarakat sudah mendapat Surat Keputusan (SK) Land Reform pada 1982 sebagai bukti bahwa berhak untuk tanah yang sudah ditempati.

Alih-alih mematuhi SK Land Reform, pemerintah melalui SK Menteri Dalam Negeri justru menerbitkan hak guna usaha pada PTPN II yang dulunya bernama PTPN IX dengan wilayah kelola 1.254 hektar.

Kondisi ini, katanya,  membuat masyarakat membentuk serikat tani sebagai upaya bersatu untuk melakukan perlawanan dan kembali bercocok tanam di area itu.

Masyarakat, termasuk Nenek Sembiring, sempat sempat kembali berladang pada 1996. Pada 1997, Serikat Tani Mencirim Bersatu (STMB) mencatat tindakan represif PTPN II dengan kawalan TNI-Polri.

Kala itu, aparat dan PTPN II masuk dna menghancurkan tanaman serta pemukiman penduduk. Tidak ada penyelesaian dari pemerintah hingga akhirnya PTPN II tetap masuk dan menanami lahan tersebut dengan tebu.

Dalam data kronologi warga, pada masa reformasi, Gubernur Sumatera Utara sudah membentuk Tim B Plus untuk inventarisasi lahan dan tanah yang disinyalir tumpang tinding dengan klaim masyarakat atau sudah digarap penuh oleh masyarakat.

Hasilnya, ada rekomendasi untuk tak memperpanjang HGU di lokasi garapan masyarakat Sei Mencirim dan Simalingkar.

Perpanjangan HGU tidak bisa jalan sebelum ada penyelesaian persoalan dengan masyarakat di dalamnya. Lagi-lagi,  rekomendasi ini tak diindahkan, PTPN II mendapat izin perpanjangan HGU di Deli Serdang 854 hektar dengan sertifikat HGU Nomor 171/2009.

Masyarakat yang tak mengetahui hal itu hanya kaget ketika ada plang HGU terpasang pada 2017. Malahan, mereka dengan pengawalan ribuan aparat lagi menggusur lahan pertanian dan tanaman warga.

“Masyarakat tidak mampu lah kalau dibenturkan dengan ribuan TNI-Polri. Pemerintah sama sekali tidak membela petani,” kata Ardi Surbaki, petani Simalingkar yang juga datang ke redaksi Mongabay.

Masih terang dalam ingatan Ardi bagaimana upaya mempertahankan tanah pada 2020 justru membuatnya mendekam di penjara selama lima bulan. Padahal, tuduhan yang membuatnya dipenjara tidak pernah dia lakukan.

Waktu itu, Ardi dan petani dari Simalingkar protes ke Kantor PTPN di Medan karena okupasi yang mereka lakukan di lahan-lahan yang sudah ditinggali warga. Aksi protes tidak hanya dilakukan Ardi dan kawan-kawan, juga masyarakat dari desa sekitar yang merasa dirugikan ulah PTPN II.

Aksi ini berujung ricuh dan massa membakar Kantor PTPN. Ardi bilang, tidak ikut campur dan tahu itu saat sudah pulang. Massa yang melakukan pembakaran justru dari desa lain yang berorasi setelah Ardi dan petani Simalingkar.

Ardi justru dituduh ikut dalam pembakaran. Dia dan dua petani Simalingkar digiring ke Polrestabes Medan.

“Kami sempat membuat pembelaan dengan menghadirkan kepala desa sebagai saksi, karena sudah mereka atur, kami ditangkap.”

Atas aksinya ini, Ardi dan dua petani Simalingkar dituntut delapan bulan penjara. Putusan lebih ringan, tetapi pengalaman di balik jeruji besi sangat membekas.

“Kami sangat ketakutan. Sampai di rutan saja kami tiga kali dibogem-bogem, ditumbuki,” katanya.

 

 

 

DPR mau panggil Dirut PTPN?

Mongabay coba meminta tanggapan Kementerian BUMN terkait hal ini tetapi hingga berita ini naik, tidak ada respons sama sekali dari Wakil Menteri BUMN Kartiko Wirjoatmodjo, baik lewat telepon ataupun pesan instan WhatsApp.

Meskipun demikian, ada titik cerah dari DPR yang berjanji memanggil Dirut PTPN II untuk minta keterangan di parlemen. “Nanti akan coba panggil Dirut PTPN II, karena saya sekarang berkaitan langsung dengan BUMN,” kata Luluk Nur Hamidah, anggota Komisi VI DPR saat dihubungi lewat telepon.

Seharusnya,  kata Luluk, tak boleh ada pembiaran atas kondisi petani.

“Kalau bisa silakan petani datang langsung ke kami juga supaya bisa update situasi dari mereka,” kata politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu.

Abetnego Tarigan, Deputi II KSP saat dihubungi menyebut penyelesaian konflik ini sebenarnya tak mengalami kendala. Hanya, masih ada beberapa hal terkait verifikasi memerlukan pembenahan.

“Kemarin dilakukan di tingkat gubernur, ternyata di tingkat bupati saja sudah cukup,” katanya.

Saat ini,  KATR/BPN menjadi pihak yang memegang peranan penting dalam penyelesaian. KSP, bertugas untuk pemantauan dari tugas-tugas yang dituangkan dalam SK Nomor B-77/KSK/11/2020 itu.

“Untuk target, silakan tanya ke KATR/BPN saja, ya.”

Mongabay coba menghubungi Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto dan Humas kementerian itu tetapi tidak ada tanggapan.

Berlarutnya penyelesaian konflik dengan PTPN II ini, berlarut pula derita dan persoalan warga.

Efendi Surbakti, petani yang berkonflik mengatakan, sejak lahan kena buldoser PTPN II, harus menyewa lahan garapan.

“Banyak yang seperti saya begini. Kami petani, tidak memiliki kemampuan lain lagi,” kata bapak tiga orang anak itu.

Untuk menyewa lahan, Efendi harus merogoh kocek Rp7 juta hektar per tahun. Lahan itu dia tanami singkong dan jagung.

Dari tanaman itu, dia bisa hasilkan Rp25 juta per hektar dengan masa panen sekali setahun.

“Begitulah nasib kami sekarang. Lahan dan tempat tinggal harus kami sewa semua,” katanya.

 

Konflik berpuluh-puluh tahun antara petani di Deli Serdang dengan PTPN II. Ada aingin segar pada 2020, kala Presiden Joko Widodo perintahkan penyelesaian kasus. Hingga kini, belum ada kabar. Warga aksi lagi ke Jakarta Juni lalu. Foto: KPA

 

*******

Exit mobile version