Mongabay.co.id

Sejak Lama Warga Jorong Lurah Ingu Kesulitan Air Bersih

 

 

 

 

 

Rendra, bocah 14 tahun bersandal jepit kuning membawa dua jeriken kosong dari rumahnya di Jorong Lurah Ingu, Nagari Simpang Tanjuang Nan IV, Kecamatan Danau Kembar Solok, Sumatera Barat. Dari perkampungan di perbukitan ini  dia berjalan sekitar 500 meter untuk mengambil air buat mandi dan mencuci.

Sekitar 250 meter jalanan sudah rabat beton, 200 meter lagi jalan tanah, sebelum tanjakan, dia turun melalui jenjang-jenjang tanah tak beraturan. Rerumputan memenuhi sisi-sisi jalan setapak itu.

Sumber air makin dekat dan jenjang makin curam. Rendra lantas membuka tutup jeriken dan mencorohkan leher jeriken ke pipa kecil di sumber air itu. Sumber air dari kolam kecil, entah bisa disebut kolam atau tidak. Air berasal dari cucuran akar-akar tanaman di dataran lebih tinggi.

Kalau libur sekolah dan musim kemarau, dia ambil air dua sampai lima  kali sehari.

Saat sampai di atas, ada genangan air yang jarang mengering. Letak di sudut ladang bawang. Seorang ibu mengambil air itu untuk cuci apa saja selain baju di rumah. Dia bilang, air itu tak layak untuk minum. Dia lalu pulang sambil menenteng seember air keruh.

“Tidak ada yang pakai air itu untuk minum. Orang takut airnya sudah tercampur racun,” kata Erizal.

Racun yang dimaksud adalah pestisida.  Erizal kadang membeli galon, terkadang ambil ke rumah keluarga. “Terkadang ambil di bawah (mata air) juga,” katanya.

 

Jorong Lurah Ingu, Nagari Simpang Tanjuang Nan IV, Kecamatan Danau Kembar Solok, Sumatera Barat dari ketinggian. Foto: Jaka HB? Mongabay Indonesia

 

 

Minum beli air galon

Anak lelaki yang baru saja tamat sekolah dasar itu akan bolak-balik mengangkut air kalau dalam tiga hari tidak hujan. Sebab kondisi itu menyebabkan mereka kesusahan air. Berbeda kala hujan, mereka bisa menampung air.

“Kalau air khusus untuk minum dari galon. Beli ke luar ke jalan raya. Untuk satu minggu dua galon. Kalau masak kita ambil dari mata air bawah,” kata kata Rozi Zahra, ibu Rendra.

Sembari mengupas bawang,  Rozi cerita keluarganya menghabiskan uang Rp12.000 untuk mengisi air dua galon dan setiap satu minggu. Sebelumnya,  sejak kecil dia dan keluarga mengambil air di beberapa mata air yang letaknya bisa 200-500 meter dari tempat tinggal.

Rumah tangga Rozi perlu air untuk mencuci piring sampai dua kali sehari. Kebutuhan bisa sampai empat jeriken atau 10 liter dan sekali angkut. “Kalau musim panas sekali atau kering sekali bisa empat sampai lima kali bolak-balik Rendra mengambil air,” katanya.

Kalau sampai lima kali berarti ada 10 jeriken yang diangkat anak yang duduk di SMP ini.  Ada pipa penyaluran air di nigari itu sejak 2013, tetapi tak sampai ke tempatnya tinggal.

Rozi lahir di Jorong Lurah Ingu. Sejak lahir kondisi air tak jauh berbeda.

Serupa dikatakan warga lainnya, Joni. Dia bilang, sejak kecil kondisi air di kampungnya memang sulit. “Terkadang karena air sulit dulu, wudhu aja sering terlewat,” katanya.

Untuk tempatnya tinggal hanya satu mata air yang diambil. Ada pun lokasi genangan air depan rumah Erizal sering tercampur racun pestisida. “Ini sudah berapa hari tidak hujan sudah susah air, kadang kering juga mata airnya,” kata Joni.

Jorong atau kampung itu menyambungkan pipa dari mesjid baru menuju beberapa rumah warga. Tak semua teraliri. “Ada sekitar tujuh rumah yang tidak dapat,” katanya.

 

Air dari mersjid mengalir ke rumah-rumah warga menggunakan pipa di Jorong Lurah Ingu, Nagari Simpang Tanjuang Nan IV, Kecamatan Danau Kembar Solok, Sumatera Barat. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Masyarakat swadaya mengalirkan air dari mesjid baru yang mereka bangun tak jauh dari kampung.

Supratman mendapat aliran itu. Rumah Rozi tak bisa digapai aliran ini karena posisi lebih tinggi.

Bagi Supratman, air merupakan sumber kehidupan. “Kalau air lancar untuk masa datang otomatis kampung makin ramai. Dimana pun kita berada pasti butuh air,” katanya.

Dia berharap,  kampung mereka masuk instalasi air minum daerah (PAM) maupun ada donatur lain yang bisa bantu instalasi. “Kalau sekarang saluran kami baru swadaya.”

Pipa air, katanya,  ada sejak 2013. Sebelum itu,  kalau ingin ada air angkut sama ember atau jeriken. “Ada jarak 200 meter, ada yang jauh. Kita berada di punggung bukit.”

Adil Ahmad Fauzi,  Wali Jorong Lurah Ingu mengatakan,  saat kemarau hampir semua warga mengalami kesulitan air karena rata-rata warga tinggal di atas bukit. Di jorongnya ada sekitar 280 keluarga. “Karena sumber air itu ada di bawah,” katanya.

Jorong ini, katanya, membawahi wilayah Rimbo Situmpak, Beringin, Pakan Selasa, Sibasah, Puncak Tambuak, Kampung Baru dan Perumahan Palo. Kampung terakhir berada di bawah dan punya instalasi penyaluran air.

 

Rendra, bocah 14 tahun bersandal jepit kuning membawa dua jeriken kosong dari rumahnya di Jorong Lurah Ingu, Nagari Simpang Tanjuang Nan IV, Kecamatan Danau Kembar Solok, Sumatera Barat. Dari perkampungan di perbukitan ini dia berjalan sekitar 500 meter untuk mengambil air buat mandi dan mencuci. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Dia mengatakan, ada sekitar tujuh rumah di puncak tambuak yang mengambil air ke kaki bukit, yang lain dapat aliran dari mesjid tetapi aliran kecil.

“Kalau sudah kemarau yang tinggal di bukit sumurnya kering.”

Diki Rafiqi, dari LBH Padang mengatakan,  kondisi ini cerminan negara tak hadir.”Air itu kebutuhan dasar manusia karena itu harus dipastikan terlebih dahulu baru bisa beralih ke pembangunan lain.”

Secara teknis Diki mengatakan negara punya perangkat dari pemerintah kabupaten sampai tingkat desa hingga bisa bikin program. “Dalam konteks ini bisa dalam bentuk melalui dana desa atau bisa membuat pamsimas (penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat) untuk memenuhi kebutuhan air,” katanya.

Wengky Purwanto, Direktur Eksekutif Walhi Sumbar mengatakan,  air bersih adalah hak dasar warga. “Persoalan air bersih mempengaruhi hak atas kesehatan dan bermuara pada kualitas kehidupan generasi mendatang.”

Walhi Sumbar mendorong pemerintah segera mungkin menanganinya, seperti, pertama,  mengindentifikasi hambatan dan potensi air bersih. Kedua, pendataan kebutuhan air bersih, ketiga, menyuplai air bersih darurat sesuai kebutuhan warga.

“Keempat aktif memulihkan lingkungan terutama air dan pertanian dari pencemaran dan perusakan.”

 

Warga Jorong Lurah Ingu, Nagari Simpang Tanjuang Nan IV, Kecamatan Danau Kembar, Solok, sejak lama kesulitan air bersih. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Tommy Adam,  Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Sumbar menambahkan secara topografi Nagari Tanjung Nan Ampek adalah daerah tangkapan air atau catchment area.

“Pemerintah perlu berhati-hati dalam mempertahankan fungsi lindung berupa tutupan pohon agar tetap terlindungi. Karena daerah ini menyuplai air dari sumber mata air. Bila ini rusak tentu warga akan makin sulit mengakses dan mencukupi kebutuhannya akan air.”

Sisi lain, daerah tangkapan air malah kesulitan dapatkan air bersih. Tommy menilai,  pemerintah sampai tingkat desa tidak mencermati isu strategis di wilayahnya.

“Padahal,  dana sangat banyak baik dari pemerintah provinsi sampai dana desa tapi belum menyentuh hal prioritas seperti penyediaan infrastruktur air.”

Azwar Rasyidin, pakar hidrologis Universitas Andalas mengatakan, pepohonan harus terjaga hingga dapat menjamin ketersediaan air wilayah itu. Pepohonan atau vegetasi di puncak bukit sangat penting.

Azwar bilang, yang mengatakan warga di atas perbukitan susah air karena berada di atas itu salah. Masyarakat bisa saja punya satu hektar di lahan tinggi dengan luasan tertentu dan memunculkan mata air dari sana.

“Hanya saja harus sabar,” katanya.

Sebenarnya puncak-puncak itu tidak boleh dibuka. “Haram dibuka puncak-puncak itu,” katanya.

Melalui peta pada 1800-an,  Azwar melihat banyak sumber air pada bentang alam yang dekat dengan Danau Atas dan Danau Bawah Solok. Jika lokasi itu kembali ada vegetasi atau dihijaukan maka air di Jorong Lurah Ingu akan tersedia walau di dataran tinggi.

“Setelah ditanami puncaknya, satu meter dari puncak itu, di lerengya bisa dipasang batu agar air tertahan dan tidak meluncur saja ke bawah,” katanya.

 

Rendra ambil air sekitar 500 meter pakai jerigen di Jorong Ingu. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

******

Exit mobile version