Mongabay.co.id

Dorong Akses Modal UMKM Hijau

 

 

 

 

Sudah banyak usaha mikro, kecil menengah (UMKM) yang memproduksi produk ramah lingkungan maupun memperhatikan aspek lingkungan dalam beroperasi. Mereka berupaya menjalankan usaha UMKM ‘hijau.’ Survei Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada 2021 terhadap 1.073 pelaku UMKM, menemukan hampir 90% dari total responden menerapkan praktik bisnis ramah lingkungan.

Sementara akses pendanaan UMKM hijau pun mulai muncul, diperkuat dorongan perbankan swasta dan BUMN untuk menerapkan keuangan berkelanjutan melalui memberikan modal pada UMKM hijau.

Inez Stefanie, pendiri Supernova Ecosystem, mengatakan, akses modal atau investasi UMKM hijau perlu terus dibuka agar investasi berdampak dapat berkembang. Meskipun begitu, dalam ajukan bisnis hijau, perlu perhitungan dan langkah yang tepat. Pasalnya, tak semua sumber pendanaan bersedia atau cocok untuk berinvestasi pada bisnis hijau.

Sejak mulai beroperasi pada 2021, Supernova Ecosystem berusaha menciptakan ekosistem bisnis lestari. Ekosistem ini, katanya,  diharapkan mendorong pertumbuhan dan menciptakan kolaborasi antar bisnis hijau di Indonesia.

Supernova Ecosystem telah membimbing 13 badan usaha. Mayoritas dariusaha-usaha itu  berkecimpung dalam sektor fast-moving consumer goods (FMCG), terutama industri kecantikan, dan kesehatan.

“Bisnis-bisnis ini tidak hanya di kota-kota besar, juga tersebar di berbagai kabupaten di Indonesia,” katanya.

 

Batik dengan pewarna alam di Pameran Indonesia Climate Change Education Forum and Expo 2016. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

Supernova bekerja di dua sisi, UMKM dengan Konstelasi Accelerator bertujuan mempercepat perkembangan mereka agar siap menerima investasi dengan mengadakan berbagai program.

Dari kacamata investor ada Equatora Capital. Ia sebagai solusi pencocokan investor dengan pelaku usaha yang tepat, dengan dana dan tujuan sektor yang akurat.

Dengan kata lain, katanya, Equatora menghubungkan investor dengan kepedulian lingkungan pada UMKM hijau yang cocok dengan latar belakang investor itu. Selain itu, katanya, juga memastikan jumlah dana pas dengan kebutuhan pelaku usaha agar menghindari risiko investasi.

Peran lembaga keuangan negara penting dalam mendorong permodalan bisnis UMKM hijau ini. Selain dari modal ventura, pendanaan investasi UMKM hijau bisa dari perbankan dengan regulasi diatur Otoritas Jasa Keuangan.

Teguh Yudo Wicaksono, Head of Mandiri Institute berpendapat dalam beberapa tahun terakhir, para regulator pemerintah cukup menunjukkan komitmen dalam mendorong UMKM berkelanjutan.

Satu contoh, katanya, Otoritas Jasa Keuangan meresmikan kebijakan hijau seperti Peraturan OJK No. 51 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan. Bank Indonesia, katanya,  juga beberapa kali menyuarakan desakan ke bank-bank swasta maupun BUMN untuk meningkatkan pembiayaan kredit ke UMKM hijau.

Menurut Teguh, satu respons pemerintah melalui Bank Indonesia dalam menjawab tantangan perubahan iklim dan mendukung transisi UMKM ke praktik berkelanjutan dengan bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor. Kerjasama ini, katanya, untuk menyusun kajian model bisnis pengembangan UMKM hijau.

Kajian ini, katanya, berisi kerangka pengembangan dan strategi implementasi model bisnis UMKM hijau yang berfokus pada pertanian dan kerajinan dengan cakupan identifikasi, definisi, kriteria. Juga, indikator UMKM hijau, penyusunan dan analisa model bisnis UMKM hijau, serta strategi dan rekomendasi untuk implementasi program UMKM hijau.

 

 

Kedai daur ulang sampah projct B menawarkan banyak product duar ulang sampah berbasis komunitas. Foto: Tommy Apriando

 

Dia bilang, ada aspek-aspek lain masih perlu ditingkatkan dari regulator untuk mendukung UMKM hijau. Contohnya, mengubah kebijakan batas maksimum dan tenggat waktu pemberian kredit untuk pelaku usaha sektor hijau.

Teguh bilang, cara paling efektif bagi UMKM lokal bisa sukses menerapkan aspek ramah lingkungan justru bukan melalui integrasi langsung ke produk fisik karena akan memakan biaya cukup mahal.   Menurut dia, lebih memungkinkan secara biaya untuk para UMKM  lokal kalau aspek ramah lingkungan terimplementasi pada satu atau beberapa bagian di proses rantai pasokan.

“Seperti pengolahan limbah, penggunaan energi lebih efisien, dan lain-lain.

Poppy Ismalina, peneliti senior dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada mengatakan, UMKM hijau mulai diminati kaum muda.

Dia melihat pertumbuhan pesat lebih terfokus pada UMKM yang mengaplikasikan praktik bisnis ramah lingkungan, dibandingkan UMKM yang menghasilkan produk hijau.

“Mengapa demikian? UMKM produk hijau biasa dipelopori anak-anak muda dan membutuhkan kreativitas serta modal stabil dari investor yang sangat peduli terhadap isu lingkungan jika ingin sustain operasionalnya.”

Untuk UMKM, katanya,  memang jauh lebih mudah mengintegrasikan prinsip ramah lingkungan dalam aktivitas produksi, seperti pengelolaan limbah tanpa sampah, tanpa harus mengganti produk menjadi barang ramah lingkungan.

Menurut dia, aplikasi prinsip ramah lingkungan dalam bisnis UMKM hijau dan produk ramah lingkungan dapat menjadi mekanisme bantal (cushion mechanism) ketika terjadi krisis ekonomi.

Hal ini, katanya,  tidak terlepas dari karakteristik bisnis UMKM yang mampu bertahan terhadap guncangan ekonomi global, mampu menyerap tenaga kerja, dan menghasilkan produk dengan harga terjangkau.

“Saat krisis ekonomi akibat pandemi, UMKM justru mampu bertahan dengan diversifikasi produk dibanding perusahaan besar, seperti membuat masker, produk kesehatan, dan makanan yang justru menjadikannya tonggak ekonomi yang tangguh,” katanya.

 

Wadah yang terbuat dari limbah atau koran bekas yang dijual di Festival Desa. Foto: Sapariah Saturi

 

Poppy mengatakan, dengan makin berkembangnya UMKM hijau, tentu akan memperkuat bantalan ekonomi mikro sekaligus permasalahan lingkungan di Indonesia. Dengan begitu, dukungan modalitas atau investasi bagi perkembangan UMKM hijau perlu terus dilakukan semua pihak.

PT Alam Siak Lestari (ASL) dari Kabupaten Siak, Riau merupakan salah tu UMKM yang dibina Supernova Ecosystem dalam program konstelasi accelerator.

Musrahmad, pendiri & direktur PT Alam Siak Lestari mengatakan, ASL merupakan UMKM hijau yang berfokus pada budidaya ikan gabus dengan metode tambak di kawasan hutan gambut di Siak.

Metode ini, katanya,  dapat melestarikan lahan gambut dengan cara memperkecil risiko kebakaran gambut dengan menjaga lahan gambut tetap basah.

“ASL mengambil keputusan bereksperimen budidaya dan ekstraksi gabus dengan fokus kepada produk turunan kesehatan lewat program program healthy ecosystem alternative livelihood fisheries,” ujar Musrahmad.

Musrahmad berharap, eksistensi budidaya gabus di Siak dapat memperkokoh motivasi dan konsistensi warga desa untuk memelihara gambut tetap basah, terutama jika ada mata pencaharian menjanjikan dari hasil olahannya.

Jajang Nurjaman, penggiat ekonomi hijau di Kampung  Tegallega, Desa Hegarmanah, Bungbulang, Garut mengatakan,  hidup di pedesaan, latar belakang keluarga adalah buruh tani, disertai lingkungan mendukung,  potensi untuk bergerak di sektor ekonomi hijau. Seperti yang dia tekuni beberapa tahun ini.

Dia menekuni usaha pertanian, perkebunan, dan peternakan, seperti hasil bumi musiman, kadang pete, jahe merah, jambu, dan yang utama adalah gula semut dan madu.

“Usaha berkelanjutan atau ekonomi hijau seperti ini  tidak akan kena inflasi. Bahkan, saat banyak orang kebingungan pasca corona, saya biasa aja. Usaha saya jalan dan aman,” katanya kepada Mongabay, Juni lalu.

Soal modal usaha, dia pakai modal  sendiri di awal, Rp500.000. Seiring waktu berjalan, usaha perlu melibatkan banyak orang, karena  dikelola dari hulu sampai hilir. Akhirnya,  dia dapat bantuan modal dari luar.

“Kami mendapatkan bantuan mesin, penepung dan vocum seller dari Transmitra. Sampai sekarang Transmitra telah jadi pembina kami.  Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Garut juga ikut terlibat dalam hal pemasaran,” katanya.

 

Gula aren, salah satu hasil  tani warga dengan menjaga hutan dan hasilkan  produk  tanpa merusak. Nira-nira jadi  tanaman aren diproses jadi gula aren.    Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

*******

 

 

 

Exit mobile version