Mongabay.co.id

Foto: Opior Wallacea, Si Kuning Mungil Endemik Nusa Tenggara

 

 

Di Pulau Sumba, warga lokal menyebutnya “manginu kaungi” yang berarti burung kecil kuning. Istilah “manginu” pada wilayah Sumba Timur, umumnya merujuk pada burung-burung dengan ukuran kecil.

“Biasanya bertengger di sekitar kebun ataupun pekarangan rumah,” ujar Mila Pandahuki, warga Desa Kambata Wundut Kecamatan Lewa, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, awal Juni 2023 lalu.

Opior wallacea [Heleia wallacei] merupakan jenis endemik Nusa Tenggara yang sebarannya terbatas, melingkupi Pulau Sumbawa, Moyo, Komodo, Rinca, Sumba, Flores, Adonara, Solor dan Lembata.

Foto: Perilaku Unik Seriwang Nusa Tenggara

 

Seekor opior wallacea bertengger di dahan pohon. Foto: Muhammad Soleh/Sumba Wildlife

 

Jenis ini memiliki kicauan merdu dengan sekujur tubuh mungil nan jelita berwarna kuning dominan, dengan bagian perut berwarna putih. Pada sayapnya, terdapat degdarasi warna hijau dengan bercak jingga bagian kepala.

Burung ini kerap dijumpai sendiri atau berpasangan. Biasanya, aktif terbang rendah melintasi tajuk pepohonan dengan gerakan gesit, sehingga sulit untuk dipotret. Biji-biji tanaman adalah pakan favoritnya.

Ketika mereka bertengger dan berkicau, opior wallacea gemar melantunkan irama seperti bersiul khas yang indah nan merdu, mengisi senyapnya kesunyian hutan tropis.

Baca: Pungguk Wengi, Burung Hantu Endemik Sumba yang Belum Dilindungi

 

Satu individu opior wallacea tampak mengeram telurnya. Foto: Muhammad Soleh/Sumba Wildlife

 

Perilaku berbiak di alam liar

Opior wallacea sebelumnya dikenal dengan nama kacamata wallacea dalam anggota Genus Zosterops, namun saat ini dianggap sebagai anggota Genus Heleia.

James A. Eaton et al., dalam Burung-Burung Pulau Paparan Sunda dan Wallacea di Kepulauan Indonesia [2022] menuliskan, burung dengan ukuran 12 cm ini tersebar pada savana pesisir hutan tidak melebihi ketinggian 1.050 meter di atas permukaan laut [mdpl].

Pada periode berbiak, jenis ini memanfaatkan tangkai ranting kecil berbentuk huruf “V” yang menjulur horizontal sebagai gantungan dalam membangun sarangnya dengan ketinggian sekitar 1,5 meter dari tanah.

Bentuk sarangnya serupa mangkuk. Terbuat dari daun, tangkai, dan rumput ilalang mengering yang direkatkan mengikuti lingkar sarang. Setelah sarang terisi dengan telur, pejantan dan betina bergantian mencari makan serta mengerami telur.

Baca: Kakatua Sumba, Burung yang Dijuluki Kaka oleh Masyarakat Sumba

 

Menjaga sarang sekaligus memberi makan sang anak merupakan tugas sang induk opior wallacea. Foto: Muhammad Soleh/Sumba Wildlife

 

Ketika periode mengeram selesai dan telur menetas, pasangan burung ini akan bergantian memberi pakan kepada anak-anak mereka sembari waspada dengan predator sekitar. Pakan berupa biji-bijian, larva ulat, ataupun serangga kecil.

Sekitar seminggu, anakan jenis ini akan ditumbuhi bulu dengan pangkal berwarna abu gelap dan ujung kehijauan.

Puncak berbiak, terjadi sekitar Mei dengan menetaskan satu hingga dua individu.

Baca: Memantau Julang Sumba di Taman Nasional Matalawa

 

Biji-bijian merupakan pakan favorit opior wallacea. Foto: Muhammad Soleh/Sumba Wildlife

 

Ancaman dan status konservasi

Serene C. L. Chng et al. dalam In the market for extinction: the cage bird trade in Bali [2018] dalam lampirannya mencatat, opior wallacea termasuk jenis burung yang diperjualbelikan di pasar burung di Bali.

Kicaua merdu dan visual yang indah telah mengantarkannya dikirim ke pasar-pasar burung kicau untuk diperdagangkan. Sedangkan survei yang dilakukan Beni Okarda et al. dalam Categorizing the songbird market through big data and machine learning in the context of Indonesia’s online market [2022], menunjukkan jenis ini termasuk dalam daftar burung yang diperjualbelikan di pasar online.

 

 

 

Hingga saat ini, burung yang dikenal dengan nama “pleci wallacea” oleh para penghobi, masih marak ditawarkan untuk diperjualbelikan di grup media sosial Facebook.

Baca juga: Perkici Oranye, Paruh Bengkok yang Jadi Korban Penyelundupan di Sumba

 

Opior wallacea merupakan jenis satwa liar dilindungi. Foto: Muhammad Soleh/Sumba Wildlife

 

Berdasarkan International Union for Conservation of Nature [IUCN], status konservasi opior wallacea adalah Least Concern atau Berisiko Rendah.

Sementara, berdasarkan Peraturan Menteri LHK No. P106 tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi, opior wallacea merupakan jenis satwa yang dilindungi.

 

* Muhammad Solehpegiat konservasi di Sumba Wildlife. Komunitas ini merupakan kumpulan pengamat burung liar di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.

 

Exit mobile version