Mongabay.co.id

Suara Simpanse dan Manusia Sama dalam Perkara Ini

 

Simpanse (Pan troglodytes) merupakan primata yang berkerabat dengan manusia. Kera ini berbagi DNA 98,6 persen dengan manusia. Secara taksonomi, simpanse dan manusia memiliki leluhur sama sekitar 5 juta hingga 7 juta tahun lalu. Angka ini lebih cepat dari perkiraan semula yaitu 3 juta hingga 13 juta tahun lalu.

Primata lainnya yang juga berbagi kemiripan DNA dengan manusia dalam jumlah relatif sama adalah bonobo (Pan paniscus). Bonobo dan simpanse sendiri berkerabat dekat dan berpisah 2 juta tahun lalu. Simpanse dan bonobo digolongkan ke dalam 4 kera besar. Dua lainnya adalah gorila, dan orangutan. Jika simpanse, bonobo, dan gorila habitatnya di Afrika, maka orangutan adalah satu-satunya kera besar yang berasal dari Asia. Orangutan hanya ditemukan di hutan Sumatera dan Kalimantan, Indonesia.

Karena simpanse dan manusia berbagi banyak kesamaan DNA, keduanya memiliki anatomi yang mirip. Selain itu, seperti manusia, simpanse juga memiliki emosi yang kompleks, suka bermain, dan punya kecerdasan tinggi. Simpanse diketahui bisa membuat dan menggunakan alat. Jane Goodall adalah peneliti yang pertama kali melihat itu pada 1960. Simpanse menggunakan ranting untuk memancing rayap setelah daunnya dihilangkan lebih dulu menggunakan tangan atau mulutnya.

Penelitian terkait simpanse terus berkembang hingga kini, yang makin menambah khasanah pengetahuan kita atas kerabat dekat manusia ini. Salah satunya yang dilakukan sejumlah peneliti Belanda, Amerika, dan Inggris yang kemudian dipublikasikan pada 2022. Empat orang peneliti membandingkan suara atau vokalisasi yang dihasilkan simpanse dan manusia. Hasilnya, keduanya memiliki kesamaan dalam beberapa hal. Ini menguatkan kesimpulan bahwa simpanse dan manusia secara filogenetik memiliki “hubungan darah”.

baca : Orangutan Tapanuli Masuk Daftar Primata Paling Terancam Punah di Dunia 

 

Dr.Jane Goodall, ahli konservasi global yang juga anggota dewan penasehat Mongabay bersama Freud,seekor simpanse dari Gombe. Foto : Michael Neugebauer

 

Seperti diketahui, vokalisasi seperti mengaum dan mendengus menjadi ciri dari beberapa spesies. Perilaku ini menurut Charles Darwin, diturunkan secara terus menerus di seluruh mamalia. Belakangan para peneliti menambah daftar vokalisiasi pada kelas lain, misalnya vokalisasi frekuensi rendah dengan rentang frekuensi lebar dan non linier pada vertebrata saat mengancam individu lain. Mengutip laporan peneliti itu, keteraturan akustik ini dianggap mencerminkan sistem vokal yang dilestarikan secara evolusioner.

“Dalam penelitian ini, kami menguji hipotesis bahwa vokalisasi manusia dan simpanse yang dihasilkan dalam konteks perilaku yang setara secara akustik punya kesamaan,” tulis Roza G Kamiloylu dari Universitas Amsterdam mewakili timnya.

Mereka mengumpulkan vokalisasi simpanse dan manusia dalam 10 jenis perilaku. Yaitu ketika diserang, diganggu akses makanannya, dipisahkan dari induk, digelitik, saat berhubungan seks, menjumpai sumber makanan melimpah, bertemu sesuatu yang menakutkan, makan makanan favorit dan kurang favorit, serta merespon individu yang agresif.

Para peneliti mengamati 200 sampel vokalisasi dari manusia dan simpanse yang kemudian diubah ke dalam format digital untuk dianalisa. Data digital tersebut kemudian diurai ke dalam beberapa parameter. Hasilnya, ada kesamaan vokalisasi yang jelas teramati dalam empat perilaku yaitu saat diserang dan menyerang, serta respon saat menemukan makanan dalam jumlah besar dan makan makanan kurang favorit.

Para peneliti memberi catatan, sebenarnya mungkin saja ada kesamaan vokalisasi antara manusia dan simpanse pada konteks perilaku lain. Misalnya saat makan makanan favorit. Pada manusia vokalisasi saat menjumpai makanan favorit dan tidak, kurang bisa dibedakan dengan jelas. Selain itu, mungkin perlu data lebih banyak untuk menghasikan kesimpulan yang lebih kuat.

“Kami menemukan bahwa manusia dan simpanse menghasilkan vokalisasi akustik yang sama ketika mereka menyerang individu lain,” tulis laporan itu. “Hasil ini menujukkan bahwa vokalisasi ancaman manusia berasal dari sistem sinyal purba yang diwariskan secara filogenetik.”

Sebelumnya beberapa peneliti lain pernah mengkaji evolusi tawa pada kera besar dan manusia. Penelitian yang dipublikasikan pada 2010 itu menganalisis vokalisasi tawa yang keluar dari simpanse, bonobo, gorila, dan orangutan dengan cara digelitik. Hasilnya konsisten dengan kesimpulan bahwa mereka secarta filogenetik memiliki hubungan.

baca juga : Ini Foto-foto Hewan yang Unik dan Menarik

 

Dua ekor simpanse yang satu membelai dagu pasangannya. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Tiga peneliti dari Inggris, Amerika, dan Jerman itu menggunakan 21 bayi dan remaja kelompok kera besar yang diambil suara tawanya. Mereka membandingkan dengan suara tawa 3 bayi manusia. Data yang didapat lalu dikelompokan dalam beberapa variabel spektral, tempo, dan aliran udara.

Menurut mereka manusia menghasilkan tawa yang lebih jelas, vibrasi yang panjang, dan aliran udara yang lebih agresif (tertawa saat mengembuskan napas). Membandingkannya dengan kera besar, didapat temuan simpanse dan bonobo menjadi kera dengan tawa paling mirip manusia dengan acuan itu. Selanjutnya gorila, dan orangutan menjadi yang paling jauh kemiripannya.***

 

 

Exit mobile version