Mongabay.co.id

Ngelaboh Pun, Kearifan Masyarakat Dayak Iban Melestarikan Varietas Padi Lokal

 

 

Dari kamar nomor 12 di rumah betang Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, terdengar suara Lidia Sumbun menyalakan api.

Perempuan yang lahir dan menetap di rumah panjang Sungai Utik ini, merupakan anggota komunitas Dayak Iban. Dia selalu menjaga budaya masyarakatnya, termasuk juga kelestarian benih-benih padi lokal dengan teknik berladang tradisional.

Mengurus dapur dan menyuguhkan kopi panas kepada anggota keluarga maupun tamu yang menginap, merupakan rutinitas perempuan Iban sejak subuh. Rumah panjang ini terdiri 28 bilik dan 18 ruamah atau rumah pisah, sebagaimana rumah masyarakat umumnya. Keseluruhan, ada 286 jiwa atau 86 KK yang tinggal di rumah tersebut.

 

Lidia bersiap memetik bunga kecalak/kecombrang untuk dijadikan bumbu masakan daging dan ikan. Foto: Hardiyanti

 

Pagi itu, Lidia dan beberapa warga mengadakan Ngelaboh Pun, ritual penghormatan benih padi. Dalam satu tahun siklus berladang, ada beberapa ritual yang dilakukan sejak awal membuka ladang hingga panen.

Seperangkat sesaji sudah disiapkan sejak malam, seperti ladong atau tas yang dianyam menggunakan rotan. Tas ini diisi pulut, telur ayam rebus, tuak, biji-bijian sayur lokal, bunga bangkit kering [Ocimum tenuiflorum L], kepayang yang sudah diasap, juga beberapa jenis tanaman pendamping padi, disebut sengkenyang. Lokasi ritual di bawah pohon buah mawang [Mangifera pajang], di kebun tempat Lidia biasa beraktivitas.

Menurut R. Masri Sareb Putra [2013], orang Dayak memiliki pandangan berladang tradisional sebagai tempat tumpuan hidup bernilai sakral. Sebab, ladang merupakan sumber penghidupan mereka. Untuk itu, mulai dari melihat lahan yang akan dijadikan ladang, hingga usai panen, selalu ada upacara adat.

 

Padi varietas lokal yang ditanam keluarga Lidia. Foto: Hardiyanti

 

Wujud melestarikan padi

Ritual Ngelaboh Pun menjadi wujud ketaatan adat orang Dayak Iban, melestarikan Padi Pun di keluarga. Dalam pengetahuan mereka, padi memiliki tatanan kehidupan. Ada Padi Tua atau Padi Pun dan Padi Sangking [padi pendamping]. Semua varietas padi bisa menjadi Padi Pun maupun Padi Sangking, kecuali Padi Pulut.

Pada masing-masing keluarga, Padi Pun sudah ditanam sejak ratusan tahun lalu. Termasuk, keluarga Lidia yang telah menanam padi bernama Padi Burung Kara’k yang diperkirakan telah berusia 200-an tahun, empat generasi diatasnya.

Tahun 2021-2022 lalu, Lidia menanam 12 jenis padi lokal. Sebut saja Padi Entemu, Padi Burung Karak, Padi Kuning, Padi Kepit, Padi Ragum, Padi Aji, Padi Kelamai, Padi Nanga Raun, Padi Tapis, Pulut Impun, Pulut Kantu, dan Pulut Lilin.

Sumber pangan warga Sungai Utik sebagian besar memang disuplai dari alam, ada yang sengaja ditanam dan ada yang tumbuh liar.

Sejak September 2021, kami tim riset Semengat Padi yang beranggotakan peneliti, akademisi dan masyarakat adat Dayak Iban, berupaya mendokumentasikan kekayaan pangan masyarakat adat Dayak Iban di Sungai Utik. Sejauh ini telah tercatat 104 varietas padi lokal, 103 jenis buah hutan tropis, 77 jenis sayur lokal, 22 jenis jamur liar, dan 22 jenis tanaman bumbu.

Tingginya keragaman jenis padi lokal dikarenakan adanya kegiatan pertukaran benih yang masih dilakukan hingga sekarang, antara warga di lingkungan Sungai Utik maupun dengan kampung luar.

“Padi-padi dan sumber pangan bisa lestari karena kami teguh mempertahankan ritual yang ada,” lanjut Lidia.

 

Jenis Padi Burung Karak yang menjadi Padi Pun bagi keluarga Lidia. Foto: Hardiyanti

 

Makna ritual

Regang, warga Sungai Utik yang turut melakukan ritual Ngelaboh Pun di ladang Lidia, membawa sintung atau bakul yang berfungsi menyimpan benih Padi Pun dan Padi Sangking.

“Tali sintung diletakkan mengarah ke matahari terbit, agar rezeki yang diperoleh sama seperti sang surya,” ungkapnya.

Penian atau rak terbuat dari kayu dalam jumlah ganjil disusun beserta penancapan bendera merah putih [tambae]. Jumlah ganjil itu beserta piring sesaji sebagai simbol permohonan pada Petara [Tuhan dalam keyakinan orang Iban] dan leluhur, agar apa yang menjadi hajat mereka disempurnakan. Melalui bendera tambae masyarakat mengetahui kehadiran Petara

“Kalau tambae sudah kelipat maka dipercayai Petara telah pulang ke tempat asalnya,” jelas Regang.

Regang harus berangkat subuh untuk melakukan ritual ini, agar tidak mendengar kicau burung ketupung [Sasia abnormis], yang dianggap pembawa kabar buruk. Pengetahuan membaca situasi dari tanda-tanda alam masih begitu kental di komunitas adat Dayak Iban, Sungai Utik. Inilah alasan utama mereka begitu kuat mempertahankan kelestarian lingkungannya.

Kudapan yang wajib disajikan saat Ngelaboh Pun adalah selukung, terbuat dari beras ketan yang dibungkus daun pelad [Licuala  petiolulata] atau sejenis daun palem kipas yang masih berlimpah di hutan adat Sungai utik. Seluruh orang yang terlibat dalam ritual ini akan mendapat selukung dalam jumlah yang sama.

 

Lidia memimpin sampi [doa] saat ritual Ngelaboh Pun. Foto: Hardiyanti

 

Sejak awal menanam padi, tepatnya setelah melakukan ritual Mungkal Tegalan [ritual menanam padi pulut], masyarakat Dayak Iban menjalankan pantangan yang berlaku untuk semua warga. Ada  larangan menempa besi yang dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan Padi.

Larangan mencukur rambut dan kumis, yang diibaratkan dapat membuat batang padi patah.  Larangan menenun hingga padi musat [padi berumur 3-4 minggu], serta pantangan membuat gelang simpai, yang dikhawatirkan membuat pertumbuhan padi tidak serentak.

Semua pantangan akan berakhir saat ritual Basuh Arang dilakukan. Yaitu, ritual mendoakan alat pertanian yang telah dipakai agar menghasilkan padi dengan baik, sekaligus saling bermaafan bila terjadi kesalahan selama menanam padi. Untuk menebus kesalahan, biasanya harus membayar denda adat [pemali] berupa satu ekor ayam atau besi.

Sesaji ritual Basuh Arang yang digunakan sama dengan ritual lainnya seperti pulut, rendai, tuak, tumpe, pinang, sirih, dan kapur. Namun, ada bahan tambahan berupa; arang, ampas beram, daun pak bu, jali [lingkau lesit], padi pun, air tuak, dan air kudus.

Esoknya, bahan-bahan tersebut ditabur di ladang yang diiringi besampi [doa], pertanda pemilik ladang telah melepas masa pantangannya.

 

Susunan sesaji yang digunakan saat ritual Ngelaboh Pun. Foto: Hardiyanti

 

Mengapa Ngelaboh Pun?

Ritual Ngelaboh Pun berkaitan erat dengan pandangan masyarakat Dayak Iban terhadap dunia. Sebagaimana masyarakat indigenous lain, orang Iban di Sungai Utik melihat dunia sebagai tempat yang juga dihuni the other than human being. Pandangan yang menunjukkan bahwa manusia bukan satu-satunya subjek dalam kosmologi mereka.

Manusia hanya bagian dari dunia, bukan aktor utama. Posisi manusia dan subjek lainnya sama. Dalam perspektif inilah mereka memahami Padi Pun sebagai subjek yang memiliki peranan dan tanggung jawab kepada manusia dan subjek lainnya. Pengakuan manusia atas peranan Padi Pun, mereka sematkan dengan menyerukan “semengat padi”.

Istilah “semengat” sangat sentral dalam kosmologi Iban. Istilah ini sering diartikan oleh orang Iban dengan menyebutnya roh. Semengat itu ada pada manusia dan subjek lainya.

Menurut Noerid Haloei Radam, masyarakat Dayak berkeyakinan bahwa padi itu sifatnya sakral dan harus diperlakukan sesuai dengan martabatnya. Sejak ditanam hingga dimasukkan ke lumbung, harus diperhatikan selalu, dengan baik.

 

*  Hardiyanti dan Subandri Simbolon, Tim Riset Semengat Padi yang mendalami budaya dan kearifan masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, terhadap alam dan lingkungan.

 

Daftar Pustaka

Sareb, Masri R. 2013. Berladang dan Kearifan Lokal Manusia Dayak. Jurnal Ultima Humaniora. Vol 1[2]: 51-59.

Noerid Haloei Radam. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Yayasan Semesta, 2001, hlm. 38. 

 

Exit mobile version