Mongabay.co.id

Upaya Warga Jaga Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh

Hutan, air, dan udara bersih adalah harta tak ternilai bagi masyarakat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Kebakaran lahan gambut berulang berdampak buruk bagi masyarakat yang hidup di lahan gambut. Dari tanaman rusak, aktivitas terganggu sampai pada ancaman kesehatan. Berbagai upaya dilakukan mencegah kebakaran terulang,  salah satunya dengan mendorong masyarakat mengelola lahan gambut secara lestari.

Satu contoh yang tengah diupayakan di Hutan Lindung Gambut (HLG) Sungai Buluh. Masyarakat sekitar yang hidup di kawasan gambut ini tengah mengupayakan pengelolaan lahan lestari.

Hutan gambut seluas 12.766 hektar ini berada di tiga desa di Kecamatan Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Tiga desa itu adalah Pematang Rahim, Sinarwajo dan Sungai Beras. Desa-desa ini mendapatkan izin pengelolaan kawasan lewat skema hutan desa.

“Sebuah kebanggaan luar biasa bagi desa kami karena SK Hutan Desa ini diserahkan langsung oleh Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo),” kata Suryani, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Pematang Rahim.

Dia masih memajang foto penyerahan surat keputusan itu di ruang tamu rumahnya. Berbagai usaha telah warga Desa Pematang Rahim lakukan untuk menjaga hutan. Antara lain, katanya, patroli rutin bersama KPH Tanjung Jabung Timur dan perusahaan.

 

Perambahan di Hutan Desa Pematang Rahim. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, berbagai kendala sering dihadapi tim patroli hutan desa seperti perambahan.

“Ada aktivitas pembukaan lahan dalam kawasan oleh sekelompok orang, karena jumlah mereka cukup banyak dan membawa senjata tajam kami tidak berani bertindak” kata Yandri, anggota tim patroli.

Dari pantauan tim patroli,  kelompok ini telah membuat kanal yang diduga mengangkut kayu hasil pembalakan liar sepanjang 1.300 meter. Mereka juga buka lahan yang diperkirakan mencapai 38 hektar.

“Kelompok ini mengaku telah mendapat izin dari dinas padahal ini tidak benar” kata Suryani.

Selain kabar bohong soal izin, ada juga peta tidak definitif tersebar di masyarakat yang jadi dalih merambah hutan desa mereka.

Menurut Suryani, saat ini untuk beberapa kegiatan seperti patroli dan peningkatan ekonomi masyarakat dibantu KKI-Warsi. “Kegiatan LPHD sangat terbatas karena kami tidak memiliki dana sendiri,” katanya.

LPHD Pematang Rahim pernah mengajukan permohonan untuk gunakan dana desa dalam mendukung usaha perlindungan hutan namun hingga kini tidak disetujui pemerintah desa dengan alasan bukan sektor prioritas.

 

 

Padahal, katanya,  kalau merujuk pada  lampiran Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 8/2022 soal Prioritas Penggunaan Dana Desa tahun 2023 memungkinkan untuk itu.

Selain menjaga kelestarian hutan warga desa Pematang Rahim, katanya, mereka juga mengupayakan peningkatan taraf ekonomi dengan cara memelihara ikan dalam keramba.

Tak seperti para peternak ikan keramba pada umumnya yang memelihara nila, mas atau patin, para peternak ikan di desa ini memelihara toman (Channa micropeltes).

“Kami memilih toman karena ikan ini memiliki daya tahan lebih tinggi dari jenis ikan lain. ikan ini hidup di sungai berair gambut seperti disini,” kata Syamsudin, peternak ikan.

Toman juga memiliki nilai jual cukup tinggi. “Satu toman seberat 1,5 kilogram bisa dijual Rp50.000,” kata Syamsudin.

Pakan utama yang diberikan Syamsudin dan para peternak lain di sana adalah ikan-ikan kecil yang mereka dapat di sungai.

 

Kopi Liberika Hutan Desa Sinarwajo. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

 

Namun, katanya, mereka juga hadapi kendala karena pakan ikan makin sulit didapat. Praktik tangkap ikan dengan menyetrum, katanya,  masih terjadi hingga jumlah ikan di sungai makin berkurang.

Tantangan hampir sama juga dihadapi LPHD Desa Sinarwajo. “Kami tidak memiliki dana. Sudah pernah mengajukan permohonan penggunaan dana desa untuk mengelola hutan desa tapi tidak disetujui pemerintah desa,” kata Samsu Alam, Ketua LPHD Sinarwajo.

Desa ini memiliki izin pengelolaan hutan desa terluas dibandingkan dua desa lain, yaitu, 5.088 hektar. Pada kebakaran besar 2015 kawasan hutan desa mereka seluas 1.400 hektar ikut terbakar.

Setelah kebakaran,  lahan ini terlanjur ditanami masyarakat dengan sawit. Pada 2018,  lahan bekas kebakaran ini ditanami pinang dan kopi liberika termasuk lahan yang sebelumnya telah ditanami sawit.

Hutan desa yang dikelola LPHD Sungai Beras juga banyak yang terlanjur ditanami sawit masyarakat. “Sekitar 700 hektar sudah terlanjur ditanami Sawit” kata Abdul Hamid, bendahara LPHD Sungai Beras.

Kawasan yang telah ditanami sawit ini telah disisipi dengan pohon jelutung rawa (Dyera polyphylla(Miq.) Steenis). Selain tanaman kehutanan, katanya, getah jelutung Rawa  juga memiliki nilai ekonomi.

 

Hutan Desa Sungai Beras. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

 

Saat ini,  pohon jelutung rawa  di hutan desa Sungai Beras mulai menghasilkan getah. Namun, kata Abdul harga jual rendah hingga mereka belum berencana memanennya.

Saat ini,  LPHD Sungai Beras bekerja sama dengan KKI Warsi mengembangkan program adopsi pohon.

Ketiga hutan desa dalam kawasan HLG Sungai Buluh ini berada d ibawah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Tanjung Jabung Timur Unit XIV.

Muhammad Izuddin, Kepala KPHP Tanjung Jabung Timur Unit XIV mengatakan, untuk keterlanjuran sawit di kawasan hutan desa ini akan mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9/2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.

“Dalam Pasal 178  telah diatur mengenai jangka benah yang harus dilakukan pada hutan lindung atau konservasi jika terlanjur ditanami sawit, selama satu daur tanam (15 tahun). Setelah waktu jangka benah berakhir tanaman sawit harus dibongkar dan diganti pohon kehutanan,” katanya.

Adanya peran serta masyarakat melalui skema perhutanan sosial, katanya,   sangat membantu KPHP dalam menjaga kawasan. Patroli bersama dengan masyarakat dan berbagai pihak, katanya,  merupakan kegiatan rutin mereka.

Patroli ini,  setiap minggu di wilayah berbeda.  Dia benarkan ada keterbatasan sumber daya mereka. “Kami hanya ada delapan personil mengelola lahan 77.000 hektar,” kata Muhammad.

Selain patroli KPHP juga telah membangun menara pantau kebakaran lahan di desa Sinarwajo.

 

Lahan bekas terbakar di Hutan Desa Sinarwajo, mulai ditanami bermagam macam tanaman seperti pohon buah-buahan dan pinang. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

 

Kondisi gambut Jambi

Merujuk data KKI-Warsi,  terdapat 602.000 hektar kawasan gambut di Jambi,  dengan kondisi terdegradasi dan alami deforestasi. Dari kawasan gambut seluas itu,  sekitar i227.991 hektar menjadi perkebunan, hanya menyisakan tutupan hutan seluas 133.000 hektar saja.

“Permasalahan utama lahan gambut di Jambi terlalu banyak kanal” kata Ade Chandra, Koordinator Program KKI-Warsi.

Kanal-kanal ini menyebabkan kandungan air lahan gambut hilang hingga rawan terbakar.

“Jika lahan gambut sudah terdegradasi perlu proses rehabilitasi selama 30 sampai 50 tahun baru dapat dikatakan berhasil” kata Richard Napitupulu, akademisi dari Fakultas Pertanian, Universitas Jambi (UNJA).

Menurut dia, proses rehabilitasi lahan gambut dapat berhasil kalau berlangsung tanpa gangguan. Jadi, katanya, kalau melihat kondisi di lapangan sekarang proses ini sangat sulit dilakukan.

“Manfaat lahan gambut bagi tanaman perkebunan dapat diibaratkan sebagai padi di kehidupan manusia,” kata Richard.

Lahan gambut baru dapat dimanfaatkan maksimal oleh tanaman perkebunan ketika sudah dibakar. Jadi, hakikatnya hampir sama seperti padi baru dapat dimanfaatkan manusia ketika telah dimasak dan jadi nasi.

“Manfaat ini yang juga menyebabkan banyak perusahaan perkebunan ingin mendapatkan izin konsesi di lahan gambut karena [dengan membakar] dapat menghemat penggunaan pupuk.”

 

Foto banner: Ilustrasi. Hutan desa tempat hidup masyarakat, Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

******

Exit mobile version