Mongabay.co.id

Dampak Tambang Pasir Laut dan Perubahan Iklim yang Mengancam Nelayan Pulau Kodingareng

 

Jalanan Pulau Kodingareng di awal bulan Juli ini sepi. Tidak banyak warga lalu-lalang. Hanya suara musik dangdut yang diputar seorang warga terdengar jelas hingga ujung pulau.

“Ini hari Jumat, nelayan tak melaut tapi banyak ke kota [Makassar] untuk banyak keperluan,” ungkap Suwadi, salah seorang nelayan Pulau Kodingareng, (7/7/2023).

Pulau Kodingareng sendiri berada di Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Makassar, Sulawesi Selatan.

Berada tak jauh dari daratan pulau, sebuah gosong pasir yang biasa ramai dikunjungi di sore hari untuk berfoto selfie. Namun kondisinya tak sama seperti dulu. Abrasi terus terjadi.

Tanpa adanya pemecah ombak, kampung ujung bagian terluar pulau akan tergenang kala cuaca buruk. Di akhir tahun 2022 lalu bahkan terjadi banjir besar di pulau.

“Itu banjir terbesar yang pernah terjadi, ini terjadi setelah penambangan pasir. Kalau air pasang musim barat skala airnya tinggi sekali. Airnya saling menyeberang. Banjirnya dari laut bukan karena hujan tapi air laut naik ke daratan,” ungkap Suwadi.

Cuaca buruk ditambah kondisi ombak yang tak lazim membuat nelayan takut melaut, sementara hasil tangkapan juga tak seperti dulu.

Hasmawati, salah seorang istri nelayan, merasakan dampaknya. Tak seperti dulu, kini para nelayan tak setiap hari bisa dapat tangkapan ikan. Terkadang hanya 2-3 kali dalam seminggu, sementara banyak kebutuhan hidup.

 

Perempuan di Pulau Kodingareng bertahan hidup dengan berdagang, sebagai solusi mendapatkan penghasilan tambahan akibatnya kurangnya pendapatan suami dari melaut. Foto. Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Baca juga: Begini Nasib Perempuan Pulau Kodingareng Setelah Penambangan Pasir Laut Berakhir

 

“Kalau dulu masih banyak ikan bagus ki, biar Rp100 ribu tapi setiap hari ji. Kalau sekarang, kadang dua-tiga hari baru ada,” katanya.

Banyak warga kemudian merantau ke daerah lain. Sejumlah istri nelayan juga mencoba peruntungan dengan jualan, dari minuman kemasan hingga gorengan. Sebagian warga lain harus mengutang untuk penuhi kebutuhan sehari-hari.

Mengutip hasil riset yang dilakukan oleh WALHI Sulsel pada Mei 2023 lalu, Hikmawati Sabar, Kepala Divisi Riset WALHI Sulsel, menyebut dampak perubahan iklim dan tambang pasir laut nyata terhadap nelayan dan perempuan.

“Dampak mulai dirasakan warga nelayan Kodingareng, karena perubahan iklim semakin sulit memprediksi kapan waktu melaut. Ini diperparah aktivitas tambang pasir laut 3 tahun silam,” jelas Hikmawati.

“Untuk bertahan dan menutupi kebutuhan ekonomi mereka kemudian berdagang dan ada yang berutang. Ada juga beberapa dari nelayan yang bermigrasi ke luar pulau karena sumber-sumber tadi tidak lagi memberi jaminan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.”

 

Gosong Pulau Kodingareng yang mengalami abrasi yang parah, warga pulau mengharap adanya pemecah ombak. Dok: WALHI Sulsel.

Baca juga: Aksi Penolakan Nelayan dan Sengkarut Tambang Pasir Laut di Makassar

 

Masalah dengan PP Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut

Menurut Slamet Riadi, Kepala Divisi Riset dan Keterlibatan Publik, WALHI Sulsel, masyarakat pulau, -termasuk Pulau Kodingareng, sangat rentan terdampak perubahan iklim. Apalagi diperparah dengan penambangan pasir laut.

Hadirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi laut, -yang kini dalam proses menuju implementasi, sebutnya jadi masalah.

“Hasil kajian yang kami lakukan PP ini sangat berpotensi merusak ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. PP ini melegalkan adanya aktivitas tambang pasir laut di perairan Indonesia atas dasar sedimentasi,” jelas Riadi.

“PP ini jika diperhatikan secara kritis akan membuka peluang adanya kerusakan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Contohnya di Pulau Kodingareng akibat aktivitas tambang pasir laut.”

Jika merujuk pada Pasal 1 Angka 4 dan Pasal 10 pada PP tersebut, Riadi menilai ada akal-akalan penambangan bebas Izin Usaha Pertambangan (IUP) di balik istilah pemanfaatan sedimentasi laut.

“Jika mencermati frasa pemanfaatan sedimentasi laut sebenarnya merupakan ‘penambangan pasir laut’ yang ditujukan untuk reklamasi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Pelintiran frasa kata ‘pemanfaatan’ dalam PP tersebut jelas menabrak proses mekanisme di dalam UU pertambangan mineral dan batubara,” jelasnya.

Hal tersebut menyusul dengan pemanfaatan sedimentasi pasir laut yang dapat dilakukan oleh siapa pun, tanpa harus mengajukan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Dia menilai mekanisme demikian dapat menimbulkan masalah di kemudian hari yang mengesampingkan administrasi dan pengawasan fungsi IUP.

“Jika mengacu pada Pasal 10 Ayat (2) yang mengatur tahap apa saja yang berada dalam koridor IUP ini jadi bertabrakan dengan Pasal 35 UU 3/2020 tentang minerba.”

Pada UU tentang Minerba Pasal 35, aturan ini mengatur bahwa izin pengangkutan dan penjualan adalah izin usaha yang diberikan kepada perusahaan untuk membeli, mengangkut dan menjual komoditas tambang mineral atau batubara.”

Riadi juga menilai pengawasan penambangan pasir laut yang sentralistik seperti pada Pasal 22 pada PP tersebut, juga beresiko.

Tidak adanya fungsi AMDAL dan persetujuan lingkungan dalam izin pemanfaatan pasir laut ini dinilai bakal menghilangkan fungsi pengawasan dari pemerintah daerah, yaitu provinsi, kota dan/atau kabupaten untuk pengendalian kerusakan lingkungan hidup.

“Pelaksanaan dari pengawasan aktivitas pemilik izin pemanfaatan pasir laut ini ada hanya pada kementerian, tanpa ada unit khusus yang membidangi fungsi pemantauannya. Menteri yang menjadi pengawas pun tidak jelas dalam PP ini,” pungkasnya.

 

Exit mobile version